Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Ayesha tidak peduli dengan kemewahan ruangan itu lagi. Baginya, dinding-dinding marmer dan lampu kristal di ruang VIP ini hanyalah ornamen bisu yang tidak mampu meredam gemuruh di dadanya.
Suara pintu yang terbuka seolah menjadi gong yang memecah keheningan mencekam di kepalanya. Begitu sosok tinggi tegap itu muncul dengan aura dingin namun meneduhkan, membuat pertahanan Ayesha runtuh total.
Langkah kakinya bergerak sebelum otaknya sempat memberi perintah. Ia berlari, melintasi karpet tebal yang meredam langkahnya, dan langsung menubruk dada bidang Arsha. Lengan Ayesha melingkar erat di pinggang pria itu, wajahnya terbenam di balik kemeja mahal yang aroma parfumnya bercampur dengan wangi gaharu tipis, aroma khas seorang Gus yang baru saja menyelesaikan tadarusnya.
"Terima kasih... Terima kasih banyak," isak Ayesha, bahunya berguncang hebat. "Terima kasih sudah menyelamatkan hidupku, Arsha. Terima kasih..."
Arsha membeku. Tubuhnya menegang kaku seperti alif yang tegak lurus, sentuhan fisik yang mendadak ini adalah sebuah kejutan yang mengguncang prinsipnya.
Kedua tangannya yang semula hendak masuk ke saku celana tergantung canggung di udara. Ada gejolak batin antara dorongan untuk menenangkan dan kewajiban untuk menjaga adab.
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik yang terasa sangat lama. Ayesha bisa merasakan panas tubuh Arsha yang stabil, namun pria itu tetap diam, tidak membalas, bahkan tidak menyentuh punggungnya demi menjaga kehormatan wanita itu sendiri.
Ehem.
Arsha berdehem keras. Sebuah suara bariton yang tajam, penuh wibawa, namun tetap lembut di pendengaran. Suara itu adalah jangkar yang sengaja dilemparkan untuk menarik Ayesha kembali ke realitas.
Ayesha tersentak. Kesadarannya kembali pulih secepat kilat. Ia segera melepaskan pelukannya dan melangkah mundur beberapa langkah, wajahnya kini merah padam karena malu yang luar biasa. Ia menunduk dalam-dalam, menatap ujung sepatunya, tidak berani menatap mata tajam namun teduh milik pria di depannya.
"Maaf... aku... aku hanya terlalu lega," bisik Ayesha sambil menyeka sisa air mata dengan kikuk.
Arsha merapikan letak kemejanya yang sedikit kusut akibat pelukan tadi. Wajahnya kembali santai namun tanpa ekspresi, seolah kejadian barusan adalah sebuah kekhilafan yang sudah dimaafkannya sebelum diminta.
Namun, jika Ayesha jeli, ia bisa melihat jakun pria muda itu naik-turun saat ia menelan ludah dengan susah payah, mencoba menata kembali detak jantungnya yang sempat berantakan.
"Tidak masalah, Ayesha," suara Arsha terdengar rendah dan sedikit bergetar, meski ia berusaha keras menutupi kegugupannya dengan wibawa. "Kau sudah menandatangani kontraknya? Mulai detik ini, kau bukan lagi warga sipil yang bebas berkeliaran tanpa arah. Kau adalah tanggung jawabku. Dalam bahasa kami, kau adalah amanah yang harus kujaga."
Arsha tidak segera berpaling. Ia justru tetap berdiri di sana, mengamati Ayesha yang masih sibuk menunduk sambil meremas ujung bajunya. Pemandangan itu entah mengapa membuat sudut bibirnya tertarik tipis. Sebuah senyum yang jarang terlihat, bukan senyum formalitas saat menyambut tamu pesantren, melainkan sesuatu yang lebih manusiawi dan hangat.
"Kau tahu, Ayesha," Arsha memulai, suaranya kini kehilangan nada kaku yang tadi sempat mendominasi. "Kemeja ini harganya setara dengan tiga bulan gaji asisten seniormu nanti. Dan kau baru saja menggunakannya sebagai tisu untuk air mata dan sisa maskara."
Ayesha mendongak cepat, matanya membelalak kaget antara takut dan tidak percaya. "Apa? Oh, ya Tuhan... aku... aku benar-benar minta maaf, Arsha! Aku akan menggantinya, maksudku... aku akan mencucinya atau mencari cara untuk menebusnya..."
Arsha terkekeh pelan. Sebuah suara renyah yang sempat membuat Ayesha tertegun sejenak. Ternyata, di balik pakaian dan kitab-kitab yang biasa ia pelajari, Arsha memiliki sisi humor yang segar. "Tenanglah. Aku hanya bercanda. Jangan terlalu tegang. Kau terlihat seperti sedang bersiap menghadapi sidang di akhirat, padahal kita hanya berada di ruang tunggu rumah sakit."
Ia berjalan mendekat, namun kali ini ia menjaga jarak yang sangat sopan agar Ayesha tidak merasa terintimidasi. Arsha mendudukkan dirinya di sofa kulit yang lebar, lalu menepuk ruang kosong di ujung sofa yang berlawanan.
"Duduklah. Menunggu operasi selama empat jam sambil berdiri hanya akan membuatmu pingsan sebelum ibumu keluar. Tubuhmu punya hak untuk istirahat, Ayesha."
Ayesha ragu sejenak, namun akhirnya ia duduk di ujung sofa, meski masih tampak tegang seperti busur panah.
"Terima kasih atas apartemennya, Arsha. Dan pekerjaan itu..." bisik Ayesha pelan. "Tapi, apakah aku benar-benar layak menjadi asistenmu? Aku tidak yakin aku bisa mengikuti ritme hidupmu yang mungkin penuh dengan aturan dan jadwal yang padat."
Arsha menyandarkan punggungnya dengan santai, melirik jam tangannya yang melingkar elegan. "Tugas pertamamu sangat berat, Ayesha. Kau harus memastikan aku tidak meminum kopi lebih dari lima cangkir sehari. Aku ini pecandu kafein saat sedang menelaah kitab atau laporan perusahaan. Kau sepertinya terlihat punya nyali untuk melarangku, bukan?"
Ayesha sedikit tersenyum mendengar itu. Ketegangan di bahunya perlahan mulai mengendur, digantikan oleh rasa nyaman yang aneh. "Hanya itu? Melarang Anda minum kopi?"
"Dan mungkin mengingatkanku untuk makan siang tepat waktu. Terkadang aku lupa kalau manusia itu terdiri dari jasad yang butuh nutrisi, bukan hanya ruh yang butuh ilmu," tambah Arsha dengan nada sarkastik yang jenaka. "Lagipula, Jefry tidak akan bisa lagi menyentuhmu. Selama kau berada di bawah perlindunganku, kau seaman benda cagar budaya yang dijaga ketat."
Ayesha menoleh, menatap profil samping wajah Arsha yang tegas. Hidungnya yang bangir dan garis rahang yang kuat menunjukkan keturunan ningrat pesantren yang kental. Pria ini sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Di balik tembok uang dan kekuasaan keluarga besarnya, ada sisi yang sangat peduli.
"Kenapa kau melakukan ini semua, Arsha?" tanya Ayesha tulus. "Kau bisa saja mengabaikanku waktu itu. Aku bukan siapa-siapa bagimu."
Arsha terdiam sejenak. Tatapannya tertuju pada pintu ruang operasi yang tertutup rapat di ujung koridor, seolah sedang menembus dimensi lain.
"Dalam keyakinanku, menolong satu nyawa sama dengan menolong seluruh umat manusia," jawabnya tanpa menoleh, namun suaranya melembut, dalam dan penuh makna. "Aku benci melihat sesuatu yang berharga, contohnya seperti martabat seorang wanita yang dirusak karena orang-orang yang tidak mengenal adab seperti Jefry. Dan ibumu... dia butuh kesempatan kedua untuk melihatmu sukses dengan jalan yang benar. Semua orang butuh pintu taubat dan kesempatan kedua."
Ia kemudian menoleh ke arah Ayesha, matanya yang teduh namun tajam mengunci mata wanita itu. "Jadi, berhentilah menangis. Kau terlihat lebih buruk daripada pasien di dalam sana kalau terus sesenggukan. Mau cokelat panas? Aku dengar mesin di kantin VIP ini kualitasnya cukup baik, meski tidak senikmat kopi buatanku sendiri."
Ayesha tertawa kecil, sebuah tawa pertama yang tulus sejak badai emosi melandanya semalam. "Boleh. Terima kasih, Arsha."
Arsha dan Ayesha baru saja hendak melangkah menuju mesin minuman ketika langkah Gus muda itu terhenti seketika. Intuisi tajamnya menangkap sesuatu yang tidak beres. Suasana tenang di koridor VIP itu pecah dalam sekejap, seperti kaca yang dilempar batu besar.
Pintu ganda ruang operasi terbuka dengan sentakan kasar, menimbulkan bunyi benturan yang menggema di lorong sepi. Beberapa perawat berlari keluar dengan wajah tegang yang tidak bisa disembunyikan.
Salah satunya membawa kantong darah tambahan dengan tergesa-gesa, sementara yang lain memberikan instruksi cepat melalui interkom di dinding dengan suara yang bergetar. Suara langkah kaki yang berderap di atas lantai porselen bergema, menciptakan ritme yang memacu adrenalin dan menyebarkan aura kepanikan.
Ayesha membeku. Gelas plastik kosong yang masih dipegangnya remuk dalam kepalan tangannya, mengeluarkan bunyi gemertak yang pilu.
"Ibu..." bisik Ayesha lirih, suaranya nyaris hilang ditelan hiruk-pikuk.
Ia menoleh ke arah Arsha, dan untuk pertama kalinya, ia melihat gurat kecemasan yang nyata di wajah pria yang biasanya sedingin es itu. Senyum santai yang tadi sempat menghiasi bibir Arsha lenyap seketika, digantikan oleh rahang yang mengeras dan tatapan tajam yang fokus pada kekacauan di depan mereka. Sebagai seorang pemimpin, Arsha tahu persis arti dari gerak-gerik darurat tersebut.
Arsha menangkap pandangan Ayesha yang mulai nanar. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangan, meraih lengan Ayesha, kali ini dengan pegangan yang lebih kuat untuk menahannya agar tidak nekat berlari mendekati pintu operasi yang kini dijaga ketat oleh staf keamanan rumah sakit.
"Tetap di sini," perintah Arsha. Suaranya rendah namun penuh otoritas yang tak terbantah, meski ada getaran halus di sana yang menunjukkan bahwa hatinya pun sedang bergemuruh hebat.
"Tapi mereka... mereka berlarian, Arsha! Sesuatu yang buruk pasti terjadi di dalam! Kenapa mereka membawa darah sebanyak itu?!" Suara Ayesha mulai meninggi, napasnya memburu tak beraturan. Ketakutan yang tadi sempat reda kini menghantamnya kembali dengan kekuatan ganda, lebih dahsyat dari sebelumnya. "Ibu tidak apa-apa, kan? Tadi Dokter Satya bilang kondisinya stabil! Dia berjanji padaku!"
Arsha tidak segera menjawab. Matanya terus mengikuti pergerakan seorang suster yang masuk kembali membawa peralatan defibrilator tambahan. Ia tahu situasi ini sangat kritis. Operasi yang seharusnya berjalan tenang kini berubah menjadi medan tempur antara hidup dan mati. Sebagai manusia, Arsha merasa kecil, namun sebagai seorang Gus, ia tahu di mana harus bersandar.
"Ayesha, lihat aku." Arsha memutar tubuh wanita itu agar menghadapnya sepenuhnya. Ia ingin memegang kedua bahu Ayesha dengan mantap namun tidak jadi karena ingin tetap menjaga kehormatannya. Ia mencoba menyalurkan ketenangan yang ia sendiri mulai sulit pertahankan melalui tatapan matanya.
"Jangan membuat spekulasi yang mendahului takdir. Jangan biarkan hal buruk menguasai pikiranmu dengan ketakutan. Rumah sakit ini punya tim terbaik di negeri ini. Mereka sedang berjuang, dan kita pun harus berjuang dengan cara kita."
Namun, ucapan Arsha seolah tenggelam oleh bunyi alarm yang samar-samar terdengar dari dalam ruang operasi. Bunyi panjang yang monoton dan menyayat hati
Beeeeeeep
sebuah suara yang paling ditakuti di dunia medis. Itu adalah tanda bahwa ada detak jantung yang sedang berhenti, sebuah jiwa yang sedang berada di ambang batas antara dunia dan keabadian.
Wajah Ayesha memucat pasi, seputih kapas. Dunianya seolah berhenti berputar, oksigen di sekitarnya terasa lenyap. Ia melepaskan diri dari pegangan Arsha dengan tenaga yang tak terduga, melangkah mendekat ke arah kaca pembatas dengan kaki yang terasa seperti jeli, lemas tak bertulang.
"Tolong, Tuhan... jangan sekarang. Jangan ambil Ibu sekarang. Aku belum sempat membahagiakannya," rintihnya, menyandarkan keningnya pada kaca yang dingin, membiarkan uap napasnya memburamkan pandangannya ke dalam ruangan yang penuh dengan orang-orang berbaju hijau itu.
Arsha berdiri tepat di belakangnya, bayangannya yang tinggi dan kokoh seolah membungkus tubuh kecil Ayesha yang rapuh. Ia tidak memeluknya, karena ia tahu batasannya sebagai seorang Gus, namun kehadirannya terasa seperti benteng terakhir yang menjaga Ayesha agar tidak rubuh ke lantai.
Arsha merosohkan tangan ke saku celananya, bukan untuk mengambil ponsel, melainkan menggenggam tasbih kecil yang selalu ia bawa. Jemarinya bergerak cepat di atas butiran kayu gaharu itu, bibirnya komat-kamit melafalkan doa-doa keselamatan dengan intensitas yang luar biasa. Ia bersiap untuk hal terburuk, namun hatinya terus mengetuk pintu langit, memohon keajaiban bagi wanita tua di dalam sana.
...----------------...
Next Episode.....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.