--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 Romantis
Luna terdiam. Matanya beralih ke arah gerbang kampus, seolah mencari Lisa, lalu kembali ke mobil di depannya. Ada keraguan jelas di wajahnya. malam tadi belum sepenuhnya pergi dari ingatannya. “Aku…” Luna menggenggam tali tasnya. “Aku tidak ingin dipaksa lagi.”
“Saya mengerti, Nona,” kata Jhon lembut. “Keputusan sepenuhnya ada di tangan Anda.” Hening sejenak. Luna menarik napas dalam-dalam. “Baik.” ucapnya akhirnya, suaranya pelan. “Aku ikut. Tapi… hanya sebentar.”
Jhon membuka pintu mobil dengan sopan. “Tentu, Nona.” Luna melangkah masuk, hatinya berdebar, bukan karena takut semata, melainkan karena tak tahu apa yang menantinya kali ini. Mobil berhenti di depan gedung kantor milik Bryan. Luna dan Jhon langsung menuju ke dalam, melintasi lobi yang luas dan berkilau. Beberapa karyawan perempuan menoleh, menatap Luna dengan sorot penuh rasa ingin tahu. “Dia sebenarnya siapa sih?” bisik salah satu dari mereka.
“Jangan bilang… dia asistennya Pak Jhon,” sahut yang lain dengan nada tak suka. “Aku takut sekali dia akan menggoda calon suamiku, Bryan.” Bisik-bisik itu terdengar samar, namun Luna menangkap sebagian kata-kata mereka. Ia menunduk sedikit, mempercepat langkah, memilih tak menggubris. Jhon tetap berjalan tenang di sampingnya hingga lift membawa mereka ke lantai teratas.
Sesampainya di ruang CEO, Jhon membuka pintu. Luna melangkah masuk dan langsung melihat meja kecil dengan beberapa hidangan tertata rapi. Di balik meja kerjanya, Bryan duduk menunggu. Begitu pandangan mereka bertemu, Luna refleks menundukkan kepala, menghindari tatapan suaminya. jantungnya berdegup kencang, takut dan canggung bercampur jadi satu.
“Jhon, kau boleh pergi,” ujar Bryan pelan.
Jhon mengangguk, melirik Luna sebentar dengan tatapan meyakinkan, lalu keluar dan menutup pintu dengan tenang, meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Keheningan menyelimuti. Bryan bangkit perlahan dari kursinya. Suaranya kali ini lebih lembut dari yang Luna ingat.
“Kemari, Mia Cara.” Luna tetap berdiri di tempatnya sejenak, jemarinya saling menggenggam erat. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia melangkah pelan mendekat dengan hati hati, seolah setiap langkah adalah keberanian yang ia kumpulkan satu per satu.
Luna kini berdiri di dekat suaminya, kepalanya masih tertunduk. “Tatap aku,” ucap Bryan dengan suara rendah, bukan memerintah, melainkan memohon.
Perlahan, Luna mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu, ada sisa takut di sana, namun juga kejujuran. Bryan menggenggam tangan Luna dengan erat, hangat dan menenangkan. “Aku minta maaf,” katanya sungguh-sungguh. “Atas semua yang membuatmu terluka. Aku tidak ingin menjadi alasan ketakutanmu.” “Mia Cara…” panggilnya lirih, suaranya bergetar menahan emosi.
Luna menatap suaminya, tatapannya masih menyimpan sisa ragu, namun tidak lagi sepenuhnya tertutup. Bryan menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Aku tidak pandai meminta maaf,” katanya jujur. “Tapi aku ingin belajar. Demi kamu.” Jemari Luna sedikit mengencang di genggaman itu. “Aku hanya ingin kamu percaya padaku” ucap Luna pelan. “Tanpa rasa takut.” Bryan mengangguk, matanya redup oleh penyesalan. “Aku percaya. Dan kalau aku lupa… ingatkan aku. Jangan memendamnya sendirian.”
Di ruangan itu, dengan jarak yang kembali terjaga, mereka berdiri berhadapan. Tidak ada janji besar, hanya kesepakatan sederhana berjalan pelan, dengan kejujuran, dan tanpa menyakiti lagi. Bryan memeluk Luna dengan erat, namun kali ini pelukannya berbeda. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Hanya kehangatan yang jujur, seolah ia sedang memastikan bahwa Luna benar-benar ada di sana, dan baik-baik saja.
Luna sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membalas pelukan itu. Tangannya naik perlahan, mencengkeram ringan punggung Bryan. “Jangan lepaskan aku dengan cara yang menyakitkan lagi,” bisiknya lirih.
Bryan memejamkan mata. “Tidak akan." Mereka berdiam cukup lama dalam pelukan itu. Di luar ruangan, hiruk pikuk kantor tetap berjalan, namun di dalam, waktu seolah melambat. Tidak ada kata-kata berlebihan, cukup detak jantung yang perlahan kembali selaras, dan perasaan aman yang pelan-pelan tumbuh kembali. Bryan terdiam. Ada sesuatu yang terlintas di ingatannya, layar retak, suara benturan, dan wajah Luna yang pucat. Ia menghela napas, lalu merogoh laci meja. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kotak ponsel mewah dan menyodorkan nya perlahan ke arah Luna.
“Ponselmu rusak, kan,” katanya lirih. “Aku membelikannya yang baru .”
"ini...untukku? "
Bryan mengangguk pelan. “Iya. Untukmu,” jawabnya singkat, namun nadanya penuh kesungguhan. Luna menatap kotak itu beberapa detik, seolah memastikan bahwa semua ini nyata. Lalu ia menerimanya dengan kedua tangan. “Terima kasih,” ucapnya tulus, suaranya nyaris berbisik. Senyum kecil terbit di wajahnya, bukan karena ponsel itu, melainkan karena sikap Bryan yang berbeda kali ini. Bryan memperhatikannya dengan saksama. “Aku akan memperbaiki apa yang sudah rusak,” katanya pelan. “Bukan hanya ponsel itu… tapi juga kepercayaanmu. Perlahan.”
Luna mengangguk kecil. “Aku percaya… selama kamu menepati kata-katamu.” Bryan tersenyum tipis. Ia tidak lagi berkata apa-apa, hanya menatap Luna dengan ketenangan yang jarang terlihat sebelumnya. Di antara mereka, ada awal yang sederhana, bukan hadiah, bukan janji besar, melainkan niat untuk berubah dan menjaga, dengan cara yang lebih lembut.
Bryan kembali memeluk tubuh istrinya, kali ini lebih lama. Ia menyandarkan wajahnya di lekuk leher Luna, menarik napas dalam seolah mencari ketenangan di sana. Namun saat menyadari pelukannya mengencang tanpa sadar, ia segera mengendorkan dekapan itu. “Maaf…” gumamnya pelan. “Aku tidak ingin membuatmu merasa terkurung.” Luna mengusap lembut rambut suaminya "Tak apa, lupakan saja" Bryan mengeratkan pelukannya dan bersandar sedikit pada Luna.
“Malam ini acaranya,” bisik Bryan di dekat telinga Luna, suaranya rendah namun hangat. “Jangan lupakan bakatmu, Mia Cara…” Luna tersenyum. Senyum yang kali ini tidak ragu, tidak dipaksakan. “Iya” jawabnya singkat, namun penuh keyakinan. Bryan melepas pelukannya perlahan, menatap Luna dengan kebanggaan yang tidak ia sembunyikan. “Aku akan ada di sana,” katanya. “Bukan untuk mengawasi tapi untuk mendukung.” Luna mengangguk kecil. “Itu sudah cukup.” Mereka saling menatap sejenak. Ada ketenangan baru di antara mereka. rapuh, namun nyata.
“Aku tidak yakin… apakah desainku akan diterima di acara sebesar itu,” ucap Luna jujur, matanya berbinar namun juga dipenuhi gugup. “Aku sudah tidak bisa membayangkan sebagus apa acara itu.”
Bryan tersenyum kecil mendengarnya. Ia melangkah mendekat, berhenti tepat di hadapan Luna tanpa menyentuhnya terlebih dahulu. “Justru karena itu kamu pantas ada di sana,” katanya tenang. “Bakatmu tidak diukur dari seberapa besar acaranya, tapi dari seberapa tulus kamu mencurahkan dirimu ke dalam karyamu.”
“Terima kasih sudah mendukungku,” ucap Luna tulus.
Bryan menatapnya lembut, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak sedang mendukungmu,” katanya tenang. “Aku hanya berdiri di tempat yang seharusnya di sisimu.”
Luna tersenyum, hangat dan yakin. Untuk sesaat, semua keraguan terasa lebih ringan. Bryan pun tersenyum balik, bangga tanpa perlu kata-kata berlebihan. Di antara mereka, ada kepercayaan yang perlahan tumbuh, cukup kuat untuk menemani langkah Luna malam nanti.
Luna terkekeh kecil. “Bisa aja gombalnya,” katanya sambil menggeleng pelan.
Bryan ikut tertawa, tawa ringan yang jarang terdengar darinya. “Kalau berhasil membuatmu tersenyum, berarti tidak sia-sia,” ujarnya santai.
Suasana di ruangan itu pun menghangat. Tidak ada lagi ketegangan, hanya dua orang yang tertawa bersama, namun berarti. Luna merasa dadanya ringan, seolah beban yang sejak semalam menekan perlahan terangkat.
“Kalau begitu,” lanjut Bryan sambil melirik jam tangannya, “kamu butuh istirahat sebelum malam ini.”
Luna mengangguk setuju, belum sempat berkata apa-apa ketika tiba-tiba Bryan membungkuk dan menggendong tubuh mungil istrinya dengan bridal style. Refleks Luna memegang bahu jas suaminya, terkejut namun tidak menolak.
“C-Caro...” gumamnya pelan.
“Hanya sebentar,” jawab Bryan tenang. “Kau terlihat lelah.” Ia melangkah mantap menuju kamar khusus yang memang disediakan di dalam ruang CEO, sebuah ruangan yang jarang digunakan, kecuali saat ia harus lembur dan menghabiskan malam di kantor. Bryan membuka pintu dengan satu tangan, lalu membaringkan Luna perlahan di atas ranjang besar dengan seprai rapi.
Ia merapikan posisi Luna, menarik selimut tipis menutupi tubuhnya. “Tidurlah,” ucapnya lembut. “Aku akan di luar. Kalau butuh apa pun, panggil aku.”
Luna menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih.” Bryan mengangguk, matanya penuh perhatian. Ia melangkah keluar dengan hati-hati, menutup pintu tanpa suara meninggalkan Luna dalam keheningan yang nyaman, dengan rasa aman yang akhirnya kembali ia rasakan.