Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: mendamaikan kakak tertua
Hari-hari terus berjalan tanpa henti, dan semua orang menapaki jalannya masing-masing. Begitu pula dengan Minjoon—pebisnis muda yang belakangan ini begitu disibukkan oleh undangan acara, pertemuan investor, hingga agenda pribadi yang tak bisa ia hindari. Dalam sepekan terakhir, waktunya habis di balik kemudi dan ruang-ruang rapat, membuatnya bahkan harus menyerahkan urusan kepindahan Areum kepada tangan kanan kepercayaannya, Tae-hwan.
Empat hari sudah sejak Areum mulai bekerja di salah satu cabang Café Min Pour L'Amour yang terletak di kawasan Cheongdam-dong, Gangnam—daerah elite yang dikenal sebagai rumah bagi butik-butik mewah dan deretan restoran berkelas di Seoul. Sebenarnya, itu bukan satu-satunya café milik Minjoon di Gangnam. Namun, sejak pembukaan cabang pertama di area itu menunjukkan pertumbuhan signifikan, ia memutuskan untuk memperluas jangkauan.
Dalam satu distrik pun kini berdiri beberapa outlet dengan konsep berbeda—mulai dari café berdesain industrial hingga yang lebih elegan dengan sentuhan interior ala galeri seni.
Minjoon memang tidak pernah main-main jika menyangkut estetika dan konsep. Ia menyukai sesuatu yang tidak hanya enak dipandang, tetapi juga meninggalkan kesan. Dan seperti namanya—Min Pour L'Amour—semua hal ia bangun demi cinta. Cinta pada seni. Cinta pada detail. Cinta pada sesuatu yang tak semua orang bisa lihat, tapi bisa dirasakan.
Namun, di tengah semua kesibukannya, Minjoon masih memikirkan satu hal yang tak bisa ia abaikan—perang dingin antara kedua kakak tertuanya yang telah berlangsung hampir dua bulan. Memang, mereka tak melampiaskan kemarahan pada dirinya, tetapi Jihoon dan Yoonjae benar-benar tidak berbicara lagi sejak insiden itu. Sikap keduanya yang sama-sama keras kepala membuat Minjoon kesulitan menyatukan mereka kembali.
Hari itu, saat langit Seoul tampak cerah dengan angin musim semi yang lembut berembus di antara gedung tinggi, Minjoon memutuskan untuk mendatangi apartemen Yoonjae yang terletak di Samseong-dong, Gangnam-gu.
Beberapa hari terakhir, ia memilih tinggal di rumah utama keluarga—sebuah hunian besar bergaya modern Korea dengan sentuhan arsitektur Eropa yang elegan. Rumah itu berada di kawasan elit Seonjeongneung-ro, Cheongdam-dong, Gangnam-gu, tak jauh dari Taman Seonjeongneung yang tenang.
Minjoon sengaja tidak menginap di apartemen Jihoon yang berada di Apgujeong-dong, karena ia ingin memberi waktu bagi kedua kakaknya itu untuk menenangkan diri. Tapi semakin ia diam, hubungan keduanya justru semakin menjauh.
Ia sudah kehilangan kedua orang tuanya—juga adik bungsunya yang tak pernah sempat tumbuh besar bersama mereka. Ia tak ingin kehilangan Jihoon-hyung dan Yoonjae-hyung juga.
Perjalanan dari Seonjeongneung-ro, Cheongdam-dong ke Samseong-dong hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit dengan mobil. Hari itu, Minjoon memilih menyetir sendiri. Ia ingin menikmati suasana tenang tanpa gangguan atau obrolan dari sopir pribadi.
Begitu mobilnya memasuki area apartemen mewah tempat tinggal Yoonjae, ia menjalani pemeriksaan singkat di gerbang keamanan. Namun karena telah memiliki akses dan terdaftar sebagai keluarga, Minjoon langsung diizinkan masuk. Ia menghela napas pelan.
Setelah melewati pemeriksaan, mobilnya kembali melaju menuju area parkir di basement dua bangunan menara kaca mewah itu. Suasana kompleks hunian tersebut begitu tenang dan teratur, dikelilingi lanskap yang tertata rapi dan penjagaan ketat yang hampir tak terlihat. Minjoon memutar setir ke kiri, lalu memarkir mobil di tempat khusus yang biasanya digunakan Yoonjae untuk tamu keluarga.
Ia mematikan mesin, bersandar sejenak di kursi sambil menatap langit-langit mobil. Helaan napasnya berat—bukan karena ia enggan datang, tetapi karena ia tahu betul seperti apa karakter kakak keduanya itu. Yoonjae-hyung bukan tipe yang mudah membuka diri, apalagi setelah apa yang terjadi di antara mereka.
Perlahan, Minjoon keluar dari mobil, mengenakan jaketnya kembali, dan merapikan masker yang sempat ia tarik ke dagu. Langkahnya tenang, berirama dengan suara tapak sepatunya yang bergema lembut di lorong parkiran. Ia berjalan menuju lift pribadi yang langsung mengarah ke lantai tempat unit milik Yoonjae berada.
Fasilitas eksklusif apartemen itu hanya bisa digunakan oleh penghuni dan orang-orang tertentu yang telah terdaftar, dan Minjoon tentu termasuk di dalamnya.
Di dalam lift, pantulan wajahnya tampak jelas di dinding kaca. Mata itu terlihat lelah, tapi tekadnya tetap kuat. Ia tidak akan membiarkan jarak antara kedua kakaknya semakin melebar.
“Aigoo... kenapa kalian berdua keras kepala sekali, huh?” gumamnya pelan sambil mengusap tengkuk sendiri.
Bagi Minjoon, keluarga adalah satu-satunya hal yang tersisa—dan ia tak akan membiarkan apa pun merusaknya. Meski harus terus menjadi penengah di antara dua batu besar yang tak mau bergeser, ia akan tetap di sana, berdiri di tengah-tengah mereka.
Beberapa menit kemudian, lift berhenti dengan bunyi ding lembut. Minjoon melangkah keluar dengan santai, lalu berjalan ke arah unit milik Yoonjae. Tanpa menunggu dibukakan, ia langsung menempelkan kartu akses pada panel pintu. Suara klik terdengar, dan pintu terbuka.
Sudah menjadi kebiasaan di keluarga mereka—baik Minjoon maupun Jihoon memiliki akses ke apartemen Yoonjae. Begitu juga sebaliknya. Mereka dulu sering saling berkunjung, terutama ketika ingin menghindari hiruk-pikuk rumah utama. Tapi kini… semua terasa kosong. Tak ada yang datang. Tak ada yang mengetuk lebih dulu.
Begitu Minjoon melangkah masuk, aroma khas apartemen Yoonjae langsung menyambutnya—campuran antara kopi hitam dan wangi kayu cedar. Interiornya masih sama seperti terakhir kali ia datang: elegan, rapi, dan dingin.
Apartemen Yoonjae memang berbeda dari milik Jihoon. Yoonjae menyukai nuansa gelap seperti hitam, abu-abu, dan navy. Sementara Jihoon lebih menyukai warna netral seperti putih dan beige. Berbeda lagi dengan Minjoon, pecinta seni yang gemar bereksperimen dengan warna-warna berani—asal tetap seimbang dan berkelas.
Ia menaruh tas serta beberapa buku yang tadi dibawanya di atas meja kaca, lalu menjatuhkan diri di sofa besar yang menghadap langsung ke pemandangan kota Seoul dari balik jendela lebar.
“Apa Yoonjae-hyung tidak ada di sini?” gumamnya sambil membuka ponsel dan menekan kontak sang kakak.
Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban. Minjoon menghela napas pelan, menatap layar ponsel yang tetap gelap. Padahal semalam ia sudah bilang akan datang.
“Jinjja... jangan bilang Hyung malah ke rumah sakit di hari libur seperti ini,” ujarnya lirih dengan nada setengah kesal, setengah khawatir.
Minjoon menghela napas pelan. Suasana apartemen yang sepi membuatnya semakin sadar betapa renggangnya hubungan mereka akhir-akhir ini. Biasanya, ia akan disambut suara langkah Yoonjae yang keluar dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi hitam hangat. Tapi hari ini… hanya denting jam dinding dan desiran angin dari celah ventilasi yang terdengar.
Ia berdiri perlahan, melangkah ke arah dapur, dan membuka lemari pendingin. Masih penuh seperti biasa—teratur, steril, tanpa sentuhan hangat manusia. Kulkas Yoonjae selalu terlihat seperti milik dokter atau ilmuwan, tidak seperti kulkas Minjoon yang berisi bahan makanan, wine, dan camilan asing yang kadang ia bahkan lupa pernah membelinya.
Minjoon kembali ke sofa, mengambil remote, dan menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan. Suara berita pagi yang mengalun samar menjadi latar, tapi tidak cukup mengalihkan pikirannya.
Akhirnya, ia membuka aplikasi pesan dan mengetik cepat:
"Aku sudah ada di apartemenmu, Hyung. Kau di mana?"
Pesan itu centang satu.
Minjoon menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit apartemen dengan perasaan campur aduk—rindu, kesal, dan khawatir sekaligus.
Karena bosan menonton saluran berita yang hanya memutar ulang hal-hal monoton, ia mematikan televisi besar di hadapannya. Ia meraih buku yang tadi dibawanya—sebuah novel tebal berbahasa Inggris dengan sampul minimalis bertuliskan The Ties That Bind, karya seorang penulis Amerika yang tidak terlalu dikenal di Korea, namun punya ulasan kuat di komunitas sastra.
Ia membaca perlahan. Cerita keluarga yang rumit dan terpecah itu entah kenapa terasa begitu dekat dengan dirinya. Membaca dalam bahasa asing bukan hal sulit bagi Minjoon—ia sudah terbiasa dengan bahasa Inggris, Jepang, bahkan Prancis. Dulu itu pelariannya: membaca buku-buku asing yang tidak diketahui kakak-kakaknya, seolah punya dunia sendiri yang tak bisa mereka ganggu.
Halaman demi halaman dilahapnya. Matanya bergerak tenang, tapi pikirannya terus memutar bayangan masa kecil dan peristiwa yang terjadi setelah Areum menghilang. Rasa bersalah yang tak pernah selesai menghantui dada.
Tanpa sadar, kelopak matanya terasa berat. Buku itu jatuh perlahan, mendarat di dadanya.
Minjoon tertidur di sofa, tubuh miring ke samping, tangan kirinya masih menggenggam kacamata baca. Wajahnya menampilkan ekspresi letih yang belum hilang sejak malam pertengkaran di rumah utama.
Tepat saat itu, suara pintu apartemen terbuka dari arah depan.
Langkah kaki pelan terdengar memasuki ruangan. Seseorang baru saja masuk. Yoonjae melirik ke arah adiknya, pria dewasa berumur 31 tahun itu, dan tampak tidak nyaman. Ia menghela napas pelan, lalu berjalan ke kamar mengambil selimut untuk Minjoon. Meskipun bukan anak kecil lagi, Yoonjae masih merasa adiknya seperti anak kecil yang dulu menangis karena tak diizinkan meminjam sepedanya.
Ia mengambil buku dan kacamata baca Minjoon, menaruhnya di meja, membiarkan adiknya tidur, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah pulang dari rumah sakit.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Yoonjae kembali ke ruang tengah dengan rambut yang masih sedikit basah. Ia membawa secangkir teh herbal hangat, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Minjoon ketika nanti terbangun. Duduk di kursi seberang, ia memandangi wajah adiknya yang tertidur dengan napas berat namun teratur.
“Selalu seperti ini…” gumamnya pelan, matanya menatap Minjoon dengan lembut namun penuh kekhawatiran.
Pikirannya melayang. Tentang kasus darurat hari ini, pasien yang hampir kehilangan anak karena kelalaian keluarga, tentang seorang ayah yang menangis merasa tak cukup cepat menyelamatkan. Dan entah kenapa, semua itu mengingatkannya pada sosok ayah, ibu mereka—dan kehilangan Ara.
Tatapannya kembali pada Minjoon. Yoonjae sempat berpikir untuk membangunkannya, tapi mengurungkan niat itu. Bukan saatnya. Bukan saat ini. Minjoon jelas lelah, dan Yoonjae tahu—mereka semua menyimpan luka yang sama, hanya saja memprosesnya dengan cara berbeda. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, mendesah pelan, lalu membuka ponsel untuk melihat galeri. Selama ini ia tak henti-hentinya mencari bukti tentang kakek mereka, yang selama ini diyakininya terlibat dengan hilangnya adik bungsu mereka.
Tiba-tiba, suara batuk kecil dari sofa membuatnya menoleh. Minjoon menggeliat pelan, lalu mengucek matanya sebelum menatap Yoonjae.
"...Hyung?" gumamnya serak, setengah sadar.
Yoonjae mengalihkan pandangan dari ponsel, tersenyum tipis.
"Minum ini dulu, baru tidur lagi," ucapnya datar, tapi ada perhatian yang terselip di antara kata-katanya. Minjoon menerima cangkir teh itu dengan alis terangkat.
"Kapan hyung pulang?" tanyanya, matanya menatap jam yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang.
"Baru saja. Kamu tidak bangun meski aku masuk. Dasar tidur seperti batu. Kalau apartemen ini runtuh atau terbakar, kamu juga tidak akan tahu," sindir Yoonjae, membuat Minjoon mengangkat bahu lemas, lalu menyesap teh perlahan. Hangatnya sedikit mengurangi beban di dadanya. Mereka tidak banyak bicara, tapi kehadiran satu sama lain sudah cukup membuat ruangan terasa lebih ringan.
"Hyung, sore nanti ayo pergi ke sauna," ajak Minjoon, nada suaranya ringan tapi penuh harap. Tapi Yoonjae langsung menggeleng cepat.
"Untuk apa? Tidak… aku lebih baik menghabiskan waktu libur untuk tidur," jawabnya tegas.
"Ayolah, Hyung. Kita sudah lama tidak pergi bersama," rayu Minjoon, suaranya lebih lembut. Bukan tanpa alasan—ia ingin membuat Yoonjae bertemu Jihoon di sana. Minjoon sudah berhasil membujuk Jihoon datang sore ini, jadi langkah selanjutnya adalah membawa Yoonjae agar keduanya bisa berbaikan.
"Tidak…" tolak Yoonjae tegas.
Minjoon meletakkan cangkirnya perlahan, matanya sedikit sembab tapi mulai jernih. Ia menatap Yoonjae yang duduk di sofa di depannya, membuka kembali ponselnya seolah ingin mengabaikan percakapan tadi. Tapi Minjoon tak menyerah.
“Hyung…” panggilnya pelan. Yoonjae tidak menjawab, tapi Minjoon tahu kakaknya mendengar.
"Aku… hanya ingin kita pergi sebentar. Tidak perlu lama, satu jam saja." Suaranya nyaris seperti bisikan.
Yoonjae tetap diam. Minjoon menghela napas, lalu bergeser mendekat, menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak. Yoonjae sedikit kaku, tapi tidak menolak. Ia jarang melihat tingkah manja Minjoon—bukan hanya karena mereka sudah dewasa, tapi karena Minjoon memang jarang sehangat itu pada keluarga.
Minjoon, yang biasanya ekstrovert di depan umum, justru pendiam dan lembut di rumah. Berbeda dengan Yoonjae dan Jihoon yang terkenal introvert dan dingin di luar, tapi di rumah mereka bisa humoris, ceria, dan hangat—terutama untuk keluarga.
“Aku tahu kamu lelah, tapi sekali saja, Hyung. Temani aku sebentar. Anggap saja… aku butuh kakakku hari ini,” ujar Minjoon menatap Yoonjae penuh harap.
Yoonjae menurunkan ponselnya perlahan, matanya menatap adiknya yang tiba-tiba menjadi sangat lembut. Ada jeda panjang sebelum ia menggeleng pelan, masih bertahan dengan prinsipnya… tapi hatinya sudah mulai mencair.
“Minjoon, kenapa harus sekarang?” tanyanya pelan, suara berat tapi terselip rasa penasaran.
“Lalu harus kapan? Apa aku harus membuat jadwal hanya untuk menghabiskan waktu bersama kakakku sendiri?” jawab Minjoon, suaranya lembut, menatap Yoonjae dengan tatapan jujur yang diselipkan kepura-puraan lugu.
Keheningan memenuhi ruangan. Yoonjae memejamkan mata sejenak, seolah menimbang antara rasa enggan dan permintaan tulus yang jarang ia dengar dari adiknya.
"Baiklah… tapi masak sesuatu sebelumnya, aku ingin tidur dulu," ujar Yoonjae, nadanya datar tapi memberi kesempatan. Minjoon mengangguk bahagia, seakan menang dalam pertukaran halus itu.
“Okay, Hyung… rest up. I’ll make something later, and I promise… Chef Minjoon won’t disappoint you. (Baiklah, Hyung… istirahat dulu. Nanti aku akan masak sesuatu, dan aku janji… Chef Minjoon tidak akan mengecewakanmu.)" ucapnya sambil memberi hormat kecil, penuh canda tapi manis.
Yoonjae hanya tersenyum tipis, kemudian berlalu tanpa memperdulikan Minjoon, meninggalkan aroma ketegangan yang mulai lumer menjadi hangat.
..
Setelah membujuk Yoonjae dengan penuh usaha, kini Minjoon dan kakaknya itu sudah berada di salah satu sauna terkenal di kawasan Gangnam. Tempat itu tidak hanya populer karena fasilitasnya mewah, tetapi juga karena ruang privatnya yang eksklusif—cocok bagi mereka yang ingin menyendiri atau… menyusun rencana rahasia seperti yang dilakukan Minjoon saat ini.
Minjoon duduk di sisi ruangan dengan gelisah, sesekali melirik pintu. Handuk besar tergantung di bahunya, rambutnya masih lembap karena uap hangat yang memenuhi ruang. Keringat mulai menetes di pelipisnya, tapi yang membuatnya lebih canggung adalah kenyataan bahwa seseorang belum juga datang. Aigoo, pikirnya dalam hati, kenapa semua terasa ribet begini.
Sementara itu, Yoonjae tampak tenang, nyaris terlalu tenang. Ia duduk bersandar dengan mata setengah terpejam, tangannya memainkan botol air mineral dingin di sebelah. Uap panas tidak membuatnya terganggu—justru memberikan alasan sempurna untuk diam dalam ketenangan. Sesekali ia menghela napas panjang, seolah membiarkan udara hangat membersihkan pikirannya dari segala kekesalan yang tersisa.
Namun, ketenangan itu seketika runtuh.
Bunyi gesekan pintu geser terdengar. Minjoon langsung menoleh cepat, jantungnya berdebar seperti anak kecil yang ketahuan berbuat curang. Yoonjae, yang awalnya hanya membuka mata sekilas, kini menoleh penuh. Kedua pria itu, dalam balutan handuk dan kulit yang mengilap karena keringat, saling menatap. Wajah mereka sama-sama terkejut, tapi ekspresi tetap kaku—kecuali ketegangan yang memenuhi udara. Jinjja… gumam Minjoon dalam hati, malu sendiri.
"Hyung..." Minjoon berdiri perlahan sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kau datang juga." Lanjut nya dan Jihoon hanya mengangguk pelan.
"Kau memintaku, jadi aku datang, tapi apa ini? Kau bilang hanya kita berdua," jawab Jihoon pendek, lalu pandangannya beralih ke Yoonjae. Yoonjae tidak berkata apa pun. Ia menatap Jihoon sekejap, lalu mengalihkan pandangannya seolah langit-langit sauna lebih menarik untuk dipikirkan.
Keheningan itu tebal, sampai suara tetesan keringat dari dahi mereka terasa seperti detak jarum jam di ruangan sepi. Minjoon menggigit bibir, merasa seperti anak kecil yang mempertemukan dua orang tua bercerai. Tapi dia tahu ini langkah awal yang penting.
"Eum… Se… sebenarnya aku… akh iya… aku… ke luar dulu sebentar. Ambil minuman, kalian bicara saja dulu, aku akan segera kembali," ujar Minjoon cepat, meski botol air miliknya hampir penuh. Ia bangkit dan melangkah keluar, meninggalkan dua kakaknya yang duduk berseberangan tanpa kata, di ruang sauna yang mendadak terasa lebih panas dari sebelumnya.
Jihoon menarik napas pelan, lalu bersandar ke dinding kayu di belakangnya. Yoonjae duduk dengan postur nyaris sempurna—tangan bertaut di pangkuan, pandangan lurus ke depan tapi seolah tidak benar-benar melihat apa pun.
Tak ada yang bicara.
Suasana di dalam ruang sauna privat itu begitu hening, hanya terdengar desah lembut uap panas. Waktu seolah melambat, menyesuaikan diri dengan kebekuan dua kakak beradik yang enggan saling menatap.
“Aku tidak tahu kau akan ada di sini,” ujar Jihoon akhirnya, suaranya dalam tapi datar.
“Aku juga tidak tahu kau akan datang,” balas Yoonjae, tanpa menoleh, nadanya ringan namun tak hangat. Jihoon mengangguk kecil, lebih untuk dirinya sendiri.
“Minjoon... selalu punya ide seperti ini,” gumam Jihoon, membuat Yoonjae hanya menghela napas.
“Seharusnya dia bekerja di bidang diplomasi,” jawabnya pendek. Sekadar lelucon—atau setidaknya upaya gagal—untuk mencairkan suasana. Jihoon hanya mengangkat alis, nyaris tak terlihat, dan keduanya kembali terdiam.
Yoonjae menutup mata sejenak, bersandar ringan, membiarkan uap sauna menutupi kegugupannya. Namun pikirannya sibuk, ada begitu banyak yang ingin ia sampaikan, terlalu banyak hingga tak satu pun terdengar tepat.
Jihoon sendiri menatap lantai kayu yang sedikit berembun, pikirannya melayang pada momen-momen yang tak selesai—pertengkaran terakhir mereka, kata-kata yang tak sempat ia tarik kembali.
Beberapa menit berlalu. Hening. Gengsi. Amarah yang sudah lama mengendap.
Hingga tiba-tiba, keduanya mengucapkan sesuatu hampir bersamaan.
“Yoon—”
“Hyung—”
Mereka berhenti, saling melirik sekilas, lalu buru-buru menunduk lagi. Jika bukan karena Minjoon, tidak satu pun dari mereka akan berada dalam ruangan ini bersama.
“Kau duluan saja,” ujar Jihoon. Yoonjae berdehem, lalu mulai berbicara.
“Aku... Aku minta maaf, Hyung. Maaf atas ketidaksopanku padamu. Aku tahu kau pasti kecewa karena aku bicara tinggi, tapi saat itu aku terbawa emosi, apalagi ketika kau tetap tidak percaya padaku tentang Harabeoji… Aku terlalu emosional. Dan saat kau menamparku, aku sadar sudah melewati batas. Aku tidak tahu bagaimana minta maaf, sampai sekarang… Aku minta maaf karena nada bicaraku yang tidak sopan, dan cara aku menilaimu.”
Ucapan Yoonjae menggantung di udara seperti uap panas sauna. Jihoon terdiam sejenak, memproses setiap kata.
“Aku tahu… aku juga mungkin salah menanggapi ucapanmu sebelumnya. Aku tersinggung saat kau bilang aku tidak merasakan apa yang kalian rasakan. Aku kecewa padamu, karena kau tidak sabar dan tidak berpikir rasional,” gumam Jihoon, lebih lembut dari biasanya. Yoonjae menatapnya, masih menahan diri untuk tidak menyela.
“Kau tahu aku membenci konflik keluarga. Setelah Appa dan Eomma pergi… hanya kita yang tersisa. Meski kita tumbuh dengan beban masing-masing, aku selalu berusaha menjaga semuanya tetap utuh. Tapi saat kau menuduh Harabeoji… rasanya seperti kau menghancurkan pondasi yang aku pertahankan. Bukan karena aku tidak percaya, tapi setelah kepergian mereka, Harabeoji lah yang merawat kita. Rasanya… seperti ditusuk oleh orang yang selama ini memeluk kita. Itu sebabnya aku masih menimbang langkah selanjutnya.”
Yoonjae menunduk perlahan, mengangguk.
“Aku mengerti… dan aku minta maaf karena memaksamu menghadapi sesuatu yang belum siap kau hadapi. Aku tidak bermaksud menghancurkan apa pun, Hyung. Aku hanya ingin kita tahu kebenaran, agar bisa menyelamatkan yang tersisa. Aku ingin Ara kembali seperti yang Appa dan Eomma harapkan. Aku ingin keluarga kita lengkap. Aku tahu pengorbananmu besar… tapi aku tidak mau kehilangan Ara lebih jauh. Jika kita tidak tanyakan pada Harabeoji, kita tidak akan tahu di mana Ara selamanya, apalagi jika Tuhan lebih dulu mengambilnya… semua fakta akan terkubur bersamanya.”
Jihoon menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak. Uap sauna membuat keringat menetes, tapi nada tulus Yoonjae akhirnya meluluhkan tembok keras di dalam hatinya.
“Kalau kau ingin kita tetap utuh… kau seharusnya tidak berteriak padaku. Bujuk aku seperti dulu… seperti saat kau meminjam komputerkku!” kata Jihoon, nada ringan seperti mengolok-olok. Yoonjae menghela napas lega, tersenyum kecil.
“Kau harus tahu, seberapa besar kontrol diri yang kupunya agar tidak melempar botol ke arahmu waktu itu. Jujur, aku ingin balas menamparmu…” ujarnya sambil tersenyum, sadar ketegangan akhirnya berakhir. Jihoon terkekeh pelan seolah menantang adiknya itu.
“Kau ingin lakukan itu?”
“Ya… tapi tidak berani,” jawab Yoonjae, dan keduanya tertawa pelan—untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Es yang menutupi sauna dan hubungan mereka perlahan meleleh.
“Apa Minjoon mengatur semua ini hanya supaya kita bisa saling lempar handuk di sauna?” gumam Jihoon geli.
“Aku yakin dia nguping di luar, siap menangis kalau kita tidak berbaikan. Kau tahu, tadi dia membujukku sambil menyenderkan kepala nya ke pundak ku seperti anak kecil,” timpal Yoonjae, dan mereka tertawa lagi.
“Padaku dia mengancam akan pergi ke luar negeri kalau aku tidak datang menemaninya di sauna,” ujar Jihoon, membuat Yoonjae terkekeh.
Tak lama, pintu sauna terbuka perlahan. Minjoon menyodokkan kepala, ekspresinya ragu.
“Eh… sudah saling bunuh, belum?” tanyanya. Jihoon dan Yoonjae saling pandang, lalu bersamaan melempar handuk ke arah Minjoon.
“YA! KENAPA AKU YANG KENA?!” teriak Minjoon kaget, tapi melihat kakak-kakaknya tersenyum bersamaan, ia ikut tersenyum lega. Setidaknya malam ini, dua potongan keluarga yang sempat retak akhirnya bersatu kembali.
“Berani ya kamu membodohi kedua kakakmu sekarang,” ujar Jihoon menatap kesal tapi bangga.
“Kalau tidak begitu, kalian akan tetap diam dan acuh satu sama lain. Aku akan kehilangan kedua hyungku,” jawab Minjoon.
Tiga pria dewasa itu saling kejar, seolah lupa mereka bukan lagi anak-anak. Tawa mereka menggema di ruang sauna yang hangat, bercampur uap dan sisa ketegangan yang perlahan menguap. Minjoon berlari keluar duluan, dibalut handuk di pinggang, sementara dua kakaknya mengejarnya setengah serius, setengah main-main.
“Hei! Aku tidak membawa baju ganti, jangan tarik handukku!” teriak Minjoon panik saat Yoonjae hampir saja menjambak handuknya dari belakang.
“Kau pantas dapat pelajaran karena mengatur konspirasi seperti ini!” Jihoon tertawa keras, mengejarnya. Mereka akhirnya berhenti di ruang santai luar sauna, terengah-engah. Minjoon menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan napas ngos-ngosan.
“Lain kali aku akan pura-pura sakit saja… jauh lebih gampang daripada menjebak kalian masuk sauna bersama,” ujar Minjoon sembari melirik Jihoon yang duduk di sampingnya, mengambil air dingin dan menyerahkannya ke Minjoon.
“Tapi terima kasih… meskipun caramu seperti anak-anak, setidaknya berhasil.” ujar nya yang membuat Yoonjae ikut duduk. Suaranya pelan, tapi jujur.
“Aku rindu kalian. Dan aku… rindu keluarga kita seperti dulu. Mungkin aku terlalu keras kepala untuk mengakuinya.” ujar nya yang membuat Jihoon menatap adik-adiknya, matanya sedikit memerah tapi ia berusaha menyembunyikannya dengan batuk kecil.
“Kita semua keras kepala. Mungkin itu bawaan gen dari Appa.” ujar Yoonjae yang membuat mereka tertawa pelan.
“Setidaknya… mulai malam ini, kita bisa mulai lagi,” ujar Jihoon, nadanya tenang. “Aku tidak akan menutup telinga lagi, Yoonjae. Kalau kau punya sesuatu yang ingin kau bicarakan tentang Harabeoji atau masa lalu, aku akan mendengarkan. Aku akan bantu untuk mencari tahu semua nya sekarang, aku akan mulai bicara pada Harabeoji,” lanjut jihoon yang membuat Yoonjae mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, Hyung…” ujar nya.
Mereka duduk diam sejenak, menikmati kehangatan yang bukan lagi berasal dari sauna—melainkan dari kelegaan dan kasih sayang yang akhirnya menemukan jalannya kembali. Minjoon bersandar, menutup matanya sejenak.
“Akhirnya... keluarga Kim kembali utuh. Tapi… kalian tetap harus traktir aku makan besar karena aku yang membuat ini semua terjadi!” ujar Minjoon masih dengan mata terpejam, Jihoon dan Yoonjae melirik ke arahnya bersamaan.
“Makan besar?” tanya Jihoon.
“Kau yakin bukan sauna sesi kedua yang kau minta?” tambah Yoonjae, menyeringai.
“YA!! AKU MAU BBQ, BUKAN DIKUKUS LAGI!!” teriak Minjoon sambil lompat berdiri, membuat kedua kakaknya kembali tertawa keras—kali ini tanpa beban. Malam itu ditutup dengan tawa, peluh, dan secercah harapan… bahwa keluarga Kim masih bisa disembuhkan, satu sauna dan satu kejujuran dalam satu waktu.
Akhirnya setelah mereka pulang dari sauna mereka langsung mampir ke restoran BBQ. Restoran yang mereka datangi tampak hangat dan ramai, dinding kayunya memantulkan cahaya lampu kuning temaram yang menenangkan. Asap panggangan tipis melayang di udara, bercampur aroma daging yang menggoda.
“Ini tempat favoritku, tahu?” ujar Minjoon sambil duduk, menyambar menu tanpa sungkan.
“Kau pasti sering ke sini sendiri, ya?” sindir Jihoon, melirik tajam. Yoonjae duduk di seberang mereka, melipat lengan di dada.
“Bukan tipe tempat yang kupilih… tapi untuk malam ini, aku akan buat pengecualian.” ujar nya yang membuat Minjoon menyeringai, memanggil pelayan dan memesankan banyak sekali—terlalu banyak—menu tanpa bertanya lebih dulu.
Saat nota tagihan tiba, Yoonjae menyandarkan punggung ke kursi dengan tenang, Jihoon mengambil minumannya lagi, dan Minjoon menatap keduanya dengan kening berkerut.
“…Kenapa kalian berdua mendadak tenang?” tanyanya, curiga.
“Kau yang mengajak, kau yang bayar. Bukankah itu aturan yang tak tertulis?” sahut Jihoon santai, tanpa mengalihkan pandangan dari daging panggangannya. Minjoon menganga seolah tak percaya mendengar penuturan kakak tertua nya.
“Yang lebih tua seharusnya mentraktir yang muda, bukan sebaliknya!” ujar Minjoon jelas tidak mau tapi Yoonjae mengangkat bahu.
“Kami sudah tua. Kau harus menghormati kami. Itu juga tak tertulis, tapi berlaku universal.” ujar nya yang membuat Minjoon berdiri siap membela dirinya sendiri.
“Kalian memanfaatkan aku!” seru Minjoon sambil menepuk meja. “Kenapa waktu baikan tadi aku merasa seperti pahlawan, dan sekarang jadi korban?” lanjut nya yang membuat Jihoon tersenyum kecil ada rasa puas melihat wajah kesal Minjoon yang seperti tidak di buat buat.
“Karena dalam keluarga, peran bisa berubah secepat lemparan handuk.” jawab nya tenang, dan Yoonjae menambahkan.
“Dan karena kita bertiga akhirnya duduk di meja yang sama tanpa adu argumen… rasanya semua mahalnya makanan ini layak dibayar oleh yang paling cerewet.” ujar nya yang membuat Minjoon kembali protes.
“YA! Kalian memang menyebalkan!” Minjoon protes, tapi tak bisa menahan tawa. Mereka tertawa bersama—untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti seumur hidup.
Malam itu, daging panggang terasa lebih lezat, bukan karena kualitasnya, tapi karena untuk pertama kalinya, mereka menyantapnya bukan sebagai tiga individu dengan luka masing-masing, melainkan sebagai saudara.
Dan itu cukup untuk membuat dunia terasa sedikit lebih utuh.