"Kalian siapa? Kenapa perut kalian kecil sekali? Apa kalian tidak makan?" tanya seorang perempuan dengan tatapan bingungnya, dia adalah Margaretha Arisya.
"Matanan tami dimatan cama cacing," ucap seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya.
"Memang tami ndak dikacih matan cama ibu," ceplos seorang bocah laki-laki satunya yang berwajah sama, namun tatapannya sangat tajam dan ucapannya sangat pedas.
"Astaga..."
Seorang perempuan yang baru bangun dari tidurnya itu kebingungan. Ia yang semalam menyelamatkan seorang wanita paruh baya dari pencopet dan berakhir pingsan atau mungkin meninggal dunia.
Ternyata ia baru sadar jika masuk ke dalam tubuh seorang perempuan dengan status janda bernama Naura Arisya Maure. Setelah menerima keadaan, ia berupaya mengubah semuanya. Namun kedatangan orang-orang di masa lalu pemilik tubuh ini membuat semuanya semakin rumit.
Bagaimakah Arisya bertahan pada tubuh seorang janda dengan dua orang anak? Apakah Arisya bisa kembali ke tubuh aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eli_wi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Selanjutnya
"Ini sertifikat rumah, ruko, tanah, kebun, dan sawah milik Ibu kalian. Ibu sudah mengambilnya dari rumah lama kalian. Ini harus disimpan baik-baik untuk melawan Bapak dan Nenek kalian. Jangan sampai sertifikat ini jatuh di tangan dua orang serakah itu,"
Arisya menyerahkan sertifikat yang diambilnya dari rumah lama kepada Theo dan Gheo. Ia tak berhak atas harta milik Arisya yang asli. Theo dan Gheo berhak tahu hal ini kalau suatu saat nanti jiwa pemilik tubuh asli Ibunya kembali. Untuk saat ini, fokusnya untuk menghidupkan kembali usaha sembako dan furniture milik Arisya. Tak lupa memberi pelajaran pada Seno dan Ibu Anjani.
"Nantinya semua ini akan Ibu alihkan atas nama kalian dibantu Opa Michael. Ibu juga akan membangun kembali usaha sembako dan furniture yang kemarin bangkrut," ucap Arisya sambil tersenyum ke arah dua anak kecil di depannya.
"Cimpan caja, Bu. Anak sekecil kami, ndak ngelti hal begituan. Kami pelcaya sama Ibu," Theo memalingkan wajahnya karena menahan tangis. Usia yang masih kecil, sudah diberikan beban berat menyimpan harta. Ia tak mengerti tentang begitu, apalagi perebutan harta dengan Seno dan Ibu Anjani.
"Baiklah, Ibu akan bantu simpan di kantornya Opa Michael. Tapi kalian harus tahu tentang ini dan dimana menyimpannya. Biar suatu hari nanti, kalian tidak bingung jika membutuhkan." Arisya tersenyum tipis menatap ke arah Theo.
"Mana tau kita tentang halta dan celtifikat? Tauna cuma matan naci dan jajan doang talo kita," ucap Gheo dengan polosnya.
Arisya menganggukkan kepalanya mengerti. Anak seusia Theo dan Gheo harus dihadapkan pada perebutan warisan, sangat aneh dan tidak umum. Seharusnya mereka hanya akan dihadapkan dengan urusan bermain, sekolah, dan jajan. Bukan urusan orang dewasa seperti ini.
"Ini juga bisa buat makan dan beli jajan, Gheo. Hanya saja harus dijual dulu dan membutuhkan waktu yang cukup lama," Arisya menjelaskan dengan lembut.
"Ndak mau ulus Gheo. Pucingna ulusan olang dewasa. Keltas bica dijual, ah apa itu. Cudahlah, Gheo pucing. Mau tidul caja," gumam Gheo yang tak mau ambil pusing. Bahkan Gheo kini langsung merebahkan kepalanya di atas paha Theo.
"Elus, Theo. Bial Gheo cepat tidul," suruhnya sambil mengambil tangan Theo agar mengelus rambutnya.
"Lalu apa lencana Ibu selanjutna? Theo akan ikuti cemua, asalkan kami ndak dibuang ke lawa-lawa." tanya Theo sambil mengelus lembut rambut Gheo.
Melihat bagaimana lembutnya sikap Theo pada Gheo, membuat Arisya begitu terharu. Bahkan beberapa kali Arisya melihat Gheo mau mengalah dengan kembarannya itu. Walaupun tak jarang keduanya berdebat.
"Nggaklah. Ibu tidak akan membuang kalian. Mana tega Ibu membuang kalian yang imut dan baik ini. Aneh-aneh saja pikiran kalian itu," ucap Arisya sambil menggelengkan kepalanya.
"Toko sembako dan furniture itu harus maju dulu. Setidaknya bisa nambah cabang di kota. Habis itu, kita usir Seno dan Ibu Anjani dari rumah lama orangtua Ibu kalian." lanjutnya mengatakan rencana selanjutnya.
"Bicalah ucil meleka cekalang juga? Butanna cemua sulat sudah ada di tangan kita?" tanya Theo.
"Jangan dulu. Kita buat mereka senam jantung dulu. Kita akan terus meneror mereka dengan keberhasilan kita. Iri, pasti mereka tidak senang dengan keberhasilan kita. Terus kita buat seolah-olah mereka yang menyerang kita duluan. Biar tangan oranglain saja yang bekerja dengan sanksi sosial. Dapat hujatan seperti yang Ibu kalian dulu dapatkan," Arisya mendapatkan ingatan tentang beberapa orang yang menghujatnya karena ucapan dari Ibu Anjani. Hal itu nanti yang akan ia balikkan keadaannya. Biar mereka juga merasakannya.
"Ya cudahlah, telselah Ibu caja."
"Ibu, ndak ada niat menitah cama Om Licko?" tanyanya pada Arisya.
"Tidak ada. Ini tubuh Ibumu. Belum tentu Ibumu akan setuju tubuhnya digunakan untuk menikah lagi," Arisya menolak dengan tegas usulan dari Theo.
"Lagian dia itu orang kaya, mana mau sama Ibu yang kismin ini. Yang ada dia cuma penasaran aja, habis itu dibuang. Udahlah... Dunianya orang dewasa itu ribet, nggak usah kamu ikut mikir." lanjutnya.
Theo hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Benar juga kata Arisya, belum tentu jiwa asli Ibunya setuju jika raganya dipakai untuk menikah lagi. Bagaimana kalau jiwa Ibunya kembali dan tiba-tiba sudah menikah dengan oranglain? Pasti akan terkejut dan terjadi hal tak diinginkan.
***
"Kamu mau kemana, Ricko?" tanya Mama Nayra pada anaknya yang akan keluar dari rumah. Hari ini kebetulan Ricko menginap di rumah kedua orangtuanya setelah Papa Tama diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
"Mau pacaran dulu, Ma. Ini kan malam minggu. Nanti Ricko balik ke rumah sini kok buat menginap," jawab Ricko dengan santainya.
"Pacaran? Sama siapa? Memangnya Kak Ricko punya pacar?" seru seorang perempuan yang tak lain adalah adik Ricko, Cahaya Marisca Nares. Ia terlihat sangat antusias mendengar sang kakak mempunyai pacar.
"Belum jadi pacar, kayanya. Kakakmu itu hanya ngaku-ngaku aja. Ceweknya belum mau," Bukan Ricko yang menjawab, melainkan Mama Nayra.
Ia tahu apa yang dilakukan Ricko kemarin. Ia diberitahu Andhika mengenai Ricko yang mulai mendekati Arisya. Kedua orangtua Ricko sama sekali tak keberatan jika anaknya mendekati Arisya. Status janda dan sosial, tak membuat mereka menolak kehadiran Arisya.
"Astaga... Seorang Ricko, pengusaha sukses begini bisa-bisanya ditolak cewek." Cahaya tertawa meledek Kakaknya yang ternyata hanya mengaku sudah punya pacar.
"Enggak ditolak ya. Orang aku belum nembak tuh cewek kok. Tapi aku yakin sih, dia nggak akan nolak Kakak. Pesona seorang Ricko gitu, tidak ada yang bisa menolaknya." Ricko menyugar rambutnya ke belakang seakan tengah menunjukkan pesonanya.
"Heleh... Aku nggak terpesona tuh sama Kak Ricko. Muka Kak Ricko tuh standar aja, tengah-tengahlah ya. Nggak ganteng dan tidak terlalu jelek juga. Apa ya namanya? Nanggung gitu," Ucapan Cahaya itu sontak membuat Ricko memelototkan matanya.
"Nah benar, gantengan juga Papa kalian." Mama Nayra kini malah memuji suaminya dibandingkan Ricko.
Baginya yang paling tampan adalah suaminya. Cahaya dan Ricko yang mendengar itu hanya bisa memutar bola matanya malas. Kedua orangtuanya itu memang selalu saling puji di depan anaknya. Walaupun sedikit geli dan menjengkelkan, namun keduanya juga bahagia. Kedua orangtua mereka sangat harmonis sampai hari ini.
"Sudahlah, Ricko mau pergi. Keburu malam," pamit Ricko pada Mama Nayra.
Jangan berbuat macam-macam sama Arisya, Ricko.
Iya, Ma. Nggak akan macam-macam kok. Cuma satu macam aja,
Ricko, awas ya kalau kamu sampai berbuat macam-macam.
Gimana mau macam-macam, Ma? Udah ada dua buntut yang jadi pengawal,
Hahaha...
Oh... Kak Ricko dekat sama janda dua anak?
Wah... Asyik, dapat kakak ipar sekaligus keponakan.