Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelap, Matahari
…dan kegelapan yang melahap kesadarannya terasa begitu mutlak, begitu dingin. Namun, bahkan di dalam jurang hitam itu, satu nama bergema, menjadi sauh terakhirnya pada dunia yang berputar liar sebelum lenyap seluruhnya.
Suara jeritan Lila adalah hal pertama yang menembus selubung pekat itu, terdengar jauh dan terdistorsi, seolah dari seberang lautan. Lalu disusul oleh suara panik Gilang yang memanggil-manggil namanya, dan derap langkah kaki yang berlari di lantai linoleum. Kesadaran datang dan pergi dalam kilasan-kilasan buram: cahaya senter yang menyorot matanya, sensasi dingin stetoskop di dadanya, dan tekanan lembut tangan Lila yang tak pernah lepas dari genggamannya, bahkan saat perawat lain sibuk memasang selang oksigen di hidungnya.
Ketika dunia akhirnya berhenti berputar dan menetap menjadi sebuah gambar yang stabil, Angkasa mendapati dirinya kembali terbaring di ranjangnya. Langit-langit putih yang steril menyambutnya, sama seperti ribuan kali sebelumnya. Namun, kali ini terasa berbeda. Ada kelelahan yang meresap hingga ke sumsum tulangnya, kelelahan yang bukan lagi sekadar fisik. Jiwanya lelah.
Dokter Adrian berdiri di samping ranjangnya, wajahnya serius. “Kamu membuat kami semua takut, Mas.”
Angkasa mencoba menjawab, tetapi kerongkongannya kering. Ia hanya bisa menatap dokter itu.
“Tekanan darahmu sempat turun drastis. Pendarahannya sudah berhenti, tapi ini peringatan keras,” lanjut Dokter Adrian, suaranya pelan namun tegas. “Stres emosional yang ekstrem adalah pemicu. Sumsum tulangmu itu seperti tanah yang rapuh. Guncangan sedikit saja bisa menyebabkan longsor. Kamu harus menjaga dirimu, bukan hanya secara fisik.”
Lila berdiri di belakang dokter, wajahnya pucat pasi. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya meremas jemarinya sendiri.
Setelah Dokter Adrian pergi, menyisakan keheningan yang berat di dalam kamar, Gilang-lah yang pertama kali memecahnya. Ia menyeret tiang infusnya, mendekati ranjang Angkasa. Tirai pemisah sudah terbuka lebar.
“Lo beneran mau mati, ya?” tanya Gilang, nadanya berusaha terdengar ketus seperti biasa, tetapi matanya yang cemas mengkhianatinya. “Ngapain, sih, Kak? Ada masalah apa?”
Angkasa hanya menggeleng lemah, memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Lang, udah,” tegur Lila lembut. “Biar Mas Angkasa istirahat dulu.”
“Istirahat gimana, Kak? Dia bukan kelihatan capek, dia kelihatan hancur!” balas Gilang, frustrasinya tumpah.
“Aku lihat matanya tadi sebelum dia pingsan. Kosong. Kayak… kayak nggak ada apa-apa lagi di dalemnya. Itu bukan gara-gara penyakitnya, kan? Jawab Kak?!” Gilang menatap Angkasa dengan kecewa yang berbaur dengan rasa takut.
Lila terdiam, tak bisa menjawab.
“Udah, deh. Terserah,” Gilang menghela napas kalah, lalu kembali ke ranjangnya.
“Kalau mau mati, jangan di sebelah gue. Ntar arwah lo gentayangan, gue yang repot,” ketusnya sebelum menutup tubuhnya dengan selimut.
Candaan itu terasa hambar, melayang di udara tanpa ada yang menangkapnya. Gilang hanya ingin Angkasa berbagi cerita dengan dia atau Lila, agar tidak begitu menekan hatinya.
Lila menarik kursi dan duduk di samping ranjang Angkasa. Selama beberapa menit yang terasa seperti jam, ia tidak melakukan apa-apa. Ia tidak bertanya. Ia tidak mencoba menghibur. Ia hanya duduk di sana, napasnya yang teratur menjadi satu-satunya irama di dalam ruangan yang sunyi itu. Kehadirannya adalah sebuah jangkar, sebuah kepastian di tengah badai yang baru saja mereda di dalam diri Angkasa.
Angkasa perlahan membalikkan badannya, menatap wanita itu. Mata Lila sembap, tetapi sorotnya begitu tenang, begitu dalam. Di sana tidak ada penghakiman, tidak ada rasa kasihan yang merendahkan. Hanya ada pemahaman.
“Aku kira…,” suara Angkasa keluar serak, seperti gesekan daun kering. Ia berhenti, menelan ludah yang terasa seperti pasir.
“Aku kira aku menemukan sebuah oasis.”
Lila tetap diam, memberinya ruang untuk melanjutkan. Matanya seolah berkata, Aku di sini. Aku mendengarkan.
“Airnya jernih, sejuk… rasanya menyembuhkan semua dahaga yang aku rasain seumur hidupku,” lanjut Angkasa, matanya menatap kosong ke kejauhan, kembali ke neraka pribadinya beberapa jam yang lalu.
“Aku mulai percaya kalau aku bisa selamat. Aku mulai percaya kalau aku pantas dapat kesejukan itu.”
Ia menarik napas yang bergetar.
“Tapi ternyata… air itu beracun, La. Racun yang paling mematikan. Karena racunnya nggak langsung membunuh. Racunnya membuatmu bahagia dulu, membuatmu berharap, baru kemudian menggerogotimu dari dalam sampai nggak ada yang tersisa.”
Lila akhirnya bergerak. Tangannya yang hangat terulur, dengan hati-hati menyentuh punggung tangan Angkasa yang tertancap jarum infus. Sentuhannya ringan, tetapi terasa menembus hingga ke pusat rasa sakitnya.
“Siapa pun yang memberimu racun itu,” bisik Lila, suaranya begitu lembut.
“Dia nggak lebih kuat dari kamu, Mas.”
Angkasa tertawa lirih, tawa yang sama sekali tidak bernyawa.
“Masalahnya bukan itu, La. Masalahnya… aku sendiri yang terus-menerus meminum racun itu. Aku yang salah karena berharap.”
“Berharap itu bukan kesalahan,” sahut Lila cepat, tatapannya kini mengunci mata Angkasa.
“Itu hak semua orang. Termasuk kamu.”
“Bukan buat aku,” desis Angkasa, keputusasaan merayap kembali ke dalam suaranya.
“Aku ini… kutukan. Semua yang aku sentuh, semua yang aku sayangi… pada akhirnya akan hancur atau pergi. Aku sudah terima takdirku soal penyakit ini. Tapi aku nggak siap… aku nggak siap dihancurkan oleh harapanku sendiri.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angkasa memejamkan matanya, lelah. Ia ingin menyerah. Ia ingin tidur dan tidak pernah bangun lagi. Kabar tentang donor itu kini terasa seperti lelucon paling kejam dari semesta. Untuk apa berjuang? Untuk apa bertahan hidup di dunia yang terus-menerus menunjukkan bahwa ia adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya ada?
“Mas,” panggil Lila pelan.
Angkasa membuka matanya.
“Kamu bukan kutukan,” kata Lila, setiap katanya diucapkan dengan penekanan yang mantap.
“Kamu cuma… sangat, sangat terluka. Dan orang yang terluka itu butuh tempat untuk beristirahat, butuh waktu untuk sembuh. Bukan untuk diabaikan.”
Bukan untuk diabaikan.
Dua kata itu menghantam Angkasa seperti sambaran petir. Gema dari luka terbesarnya, ketakutan tergelapnya, kini dibantah dengan begitu tulus oleh wanita di hadapannya.
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya menggenang di pelupuk matanya. Bukan air mata kesedihan, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti kelegaan yang menyakitkan. Dan untuk pertama kalinya Angkasa meluruhkan bulir bening itu didepan orang lain.
Ia menatap wajah Lila, wajah yang lelah karena kurang tidur, wajah yang cemas karena mengkhawatirkannya, wajah yang tegar meski menanggung bebannya sendiri. Di sinilah oase itu. Bukan Mia. Bukan harapan palsu akan keluarga yang utuh. Oase yang sesungguhnya ada di sini, di sampingnya selama ini, menawarkan keteduhan tanpa syarat.
Donor itu. Kesempatan untuk transplantasi. Tiba-tiba semua itu memiliki arti yang baru. Bukan lagi tentang bertahan hidup untuk dirinya sendiri yang sudah patah. Ini tentang berjuang demi sesuatu yang nyata, demi seseorang yang melihatnya bukan sebagai orang asing yang sakit, bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai manusia yang terluka dan pantas disembuhkan.
“Aku…,” Angkasa memulai, suaranya bergetar hebat.
“Aku nggak punya apa-apa lagi, La. Semua harapanku… semuanya udah hancur.”
Lila tersenyum tipis, senyum yang paling indah yang pernah Angkasa lihat. Tangannya bergerak dari punggung tangan Angkasa, kini jemarinya terjalin dengan jemari pria itu, menggenggamnya erat.
“Kamu punya aku.”
Tiga kata itu. Begitu sederhana, tetapi bobotnya mampu menopang seluruh dunianya yang nyaris runtuh. Angkasa menatap tautan tangan mereka, lalu kembali menatap mata Lila, mencari keraguan, mencari kebohongan, tetapi yang ia temukan hanyalah ketulusan yang membanjiri hatinya yang kering kerontang.
Sebuah isak kecil lolos dari bibirnya. Ia membalas genggaman Lila sekuat yang ia bisa. Angkasa ingin percaya sekali lagi. Dan ia yakin, Lila adalah orang yang tepat yang membawa matahari di kelam takdirnya.
“Kalau begitu…,” bisiknya, napasnya tersengal oleh emosi yang meluap.
“Itu cukup.”
Ia menarik napas dalam-dalam, sebuah keputusan terbentuk di tengah reruntuhan jiwanya, sejelas kristal. Tekad yang dingin dan membara kini menggantikan keputusasaan.
“La,” panggilnya lagi, suaranya kini lebih tegas.
Lila menatapnya, menunggu.
“Bisa tolong panggil perawat jaga,” kata Angkasa.
Alis Lila berkerut bingung.
“Kenapa, Mas? Kamu ngerasa sakit lagi? Mau aku panggilin dokter?”
Angkasa menggeleng pelan. Matanya berkilat dengan cahaya baru yang belum pernah Lila lihat sebelumnya, cahaya seorang pejuang yang telah menemukan alasan untuk kembali ke medan perang.
“Aku mau minta formulir persetujuan tindakan transplantasi,” katanya, suaranya mantap tanpa sedikit pun keraguan.
“Aku mau tanda tangan. Sekarang juga.”