Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".
(Setiap hari update 3 chapter/bab)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19: Di Balik Tirai Emas
Aula Konser Stockholm adalah tempat yang dibangun untuk para dewa, bukan untuk anak yatim piatu dari Zona-D.
Langit-langitnya melengkung tinggi, dihiasi lukisan dinding emas yang berkilauan di bawah cahaya lampu kristal raksasa. Udara berbau samar seperti parfum mahal, debu beludru tua, dan antisipasi kolektif dari seribu orang paling berpengaruh di dunia.
Di luar sana, di aula utama, Raja Swedia duduk di kursinya. Para pemenang Nobel lainnya—ahli biologi, kimiawan, sastrawan—berbaris dengan gugup. Kamera-kamera dunia menyiarkan setiap kedipan mata mereka.
Tapi Ethan Pradana tidak berada di luar sana. Belum.
Dia berada di belakang panggung, di labirin koridor yang dilapisi karpet merah tebal dan dinding beludru. Tempat ini seharusnya terasa megah, tetapi bagi Ethan, rasanya menyesakkan.
Dia merasa seperti penipu dalam setelan jas *tailcoat* hitam yang kaku dan dasi putih—pakaian pinjaman yang membuatnya merasa seperti penguin yang canggung. Dia terus-menerus menarik kerahnya yang mencekik.
"Pak, tolong berdiri tegak," kata Kenji, asistennya, untuk kelima kalinya dalam sepuluh menit. Kenji tampak lebih gugup daripada Ethan, mondar-mandir sambil memegang data-pad berisi naskah pidato yang telah disetujui oleh kantor Senator Rostova. "Tim rias wajah akan segera tiba untuk *touch-up* terakhir."
"Aku tidak butuh *touch-up*," gumam Ethan, bersandar di dinding beludru yang dingin. "Aku butuh udara."
"Udara di sini dikontrol suhu dan difilter, Pak. Kualitas optimal."
Ethan memejamkan mata. Dia merindukan bau ozon dan oli mesin di koridor layanan Zona-S. Dia bahkan merindukan bau sampah di Zona-C. Apa pun selain udara steril yang pengap ini.
Dia memikirkan pidato itu. Pidato yang ditulis oleh komite. Pidato yang aman, sopan, penuh dengan ucapan terima kasih kepada "para dermawan" (Rostova) dan janji-janji samar tentang "masa depan energi yang bertanggung jawab."
Itu adalah kebohongan yang dibungkus dengan indah.
Dia seharusnya merasa gembira. Dia berada di puncak pencapaian manusia. Tapi yang dia rasakan hanyalah rasa mual yang dingin di perutnya. Peringatan Nate bergema di kepalanya. *Dia menggunakanmu.*
Dia merasakan sentuhan lembut di lengannya.
Dia membuka matanya. Luna Carpenter berdiri di depannya.
Dia tampak... menakjubkan. Dia mengenakan gaun malam sederhana berwarna biru tua yang serasi dengan matanya. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Dia tidak mengenakan perhiasan mencolok, hanya anting-anting mutiara kecil. Dia tampak seperti dirinya sendiri, hanya saja... lebih bersinar.
"Hei," katanya lembut. Senyumnya adalah satu-satunya hal yang terasa nyata di ruangan palsu ini.
"Hei," balas Ethan. Dia tiba-tiba merasa lebih gugup berhadapan dengannya daripada berhadapan dengan Raja Swedia.
Kenji segera membungkuk. "Dr. Carpenter. Maaf, area ini..."
"Dia bersamaku," kata Ethan, suaranya lebih tegas dari biasanya. Dia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Luna. "Dia satu-satunya orang yang kuizinkan di sini."
Kenji tampak ingin memprotes, tetapi tatapan Ethan membuatnya terdiam. Dia mundur beberapa langkah, kembali menatap data-pad pidatonya dengan cemas.
"Kau tampak pucat," kata Luna, mengabaikan Kenji. Dia menempelkan punggung tangannya ke dahi Ethan, sama seperti yang dia lakukan di apartemen Nate. "Kau tidak demam. Hanya... tegang. Sangat tegang."
"Aku dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan topeng emas dan berbicara dalam bisikan," kata Ethan. "Rasanya seperti berada di dalam mimpi buruk yang sangat sopan."
Luna terkekeh. "Selamat datang di dunia politik tingkat tinggi." Dia merapikan dasi putih Ethan yang sedikit miring. "Tapi kau tidak perlu memakai topeng, Eth. Jadilah dirimu sendiri."
"Diriku sendiri?" Ethan tertawa kecil tanpa humor. "Diriku sendiri adalah anak panti asuhan yang seharusnya tidak ada di sini. Diriku sendiri adalah pria yang baru saja menciptakan sesuatu yang mungkin akan menghancurkan dunia atau menyelamatkannya, dan aku bahkan tidak tahu yang mana."
"Kau tahu," kata Luna lembut. Dia menatap lurus ke matanya. "Jauh di lubuk hatimu, kau tahu mengapa kau melakukan ini. Kau tahu ini benar."
"Apakah begitu?" tanya Ethan. "Atau aku hanya naif? Seperti yang Nate bilang?"
"Nate hanya melindungimu. Itu tugasnya." Luna menghela napas. "Tapi dia juga percaya padamu. Dia tidak akan berada di sini jika tidak."
Ethan melirik ke seberang koridor. Di ujung sana, di antara kerumunan pejabat dan staf, dia bisa melihat Nate Reyes. Dia tidak menyamar kali ini. Dia mengenakan setelan jas (yang jelas disewa), kartu pers resminya tergantung di lehernya. Dia tidak sedang memotret. Dia hanya berdiri di sana, bersandar di dinding, mengawasinya.
Saat mata mereka bertemu, Nate memberinya anggukan kecil. Anggukan yang mengatakan, *Aku di sini. Jangan mengacaukannya.*
Ethan balas mengangguk.
Dia kembali menatap Luna. "Pidato yang mereka tulis untukku... itu salah, Lun."
"Aku tahu," katanya.
"Itu tidak mengatakan apa pun. Itu hanya... kata-kata kosong."
"Kalau begitu, jangan katakan itu."
Ethan menatapnya. "Aku tidak bisa. Rostova..."
"Rostova tidak ada di atas panggung itu bersamamu," potong Luna. "Ini hidupmu, Eth. Ini penemuanmu. Ini *momenmu*. Katakan apa yang perlu kau katakan. Katakan kebenaranmu."
Dia menggenggam tangannya lebih erat. "Ingat apa yang kau katakan di panti asuhan? Kepada Leo? Kau berjanji padanya. Ingat janjimu."
*Aku janji.* Janji tentang lampu, tentang pemanas, tentang harapan. Janji yang dia buat bukan sebagai Direktur Pradana, tetapi sebagai Ethan.
Sesuatu di dalam dirinya mengeras. Keraguannya memudar, digantikan oleh kejelasan yang dingin.
Dia tahu apa yang harus dia lakukan.
"Lima menit, Direktur Pradana!"
Suara Kenji memecah keheningan di antara mereka. Asisten itu tampak seperti akan muntah karena gugup. Dia menyodorkan data-pad pidato itu lagi. "Pak, Anda harus meninjau poin-poin utamanya sekali lagi. Senator Rostova secara khusus meminta Anda menekankan..."
Ethan mengambil data-pad itu dari tangan Kenji.
Dia menatap layar sejenak, pada kata-kata kosong yang telah disiapkan untuknya.
Lalu, dia menekan tombol 'Hapus'.
Layar menjadi kosong.
"Pak?!" pekik Kenji, matanya melebar ngeri. "Apa yang Anda lakukan?!"
"Aku akan berimprovisasi," kata Ethan tenang. Dia mengembalikan data-pad kosong itu kepada asistennya yang gemetar. "Kau bisa pergi sekarang, Kenji. Terima kasih atas bantuanmu."
"Tapi... tapi Senator..."
"Aku akan menanganinya," kata Ethan.
Kenji tampak seperti ingin menangis, tetapi dia tidak berani membantah. Dia membungkuk kaku dan bergegas pergi, mungkin untuk menelepon kantor Rostova.
Ethan kini sendirian lagi bersama Luna di koridor yang remang-remang itu.
"Kau yakin?" tanya Luna pelan.
"Tidak," Ethan mengakui. "Tapi aku tahu ini benar."
Dia menatap ke arah panggung. Dia bisa mendengar suara pembawa acara dari pengeras suara tersembunyi, memperkenalkan bagian Fisika. Jantungnya mulai berdebar lebih kencang.
"Mereka akan membenciku karena ini," katanya. "Rostova. Thorne. Para Elit. Mereka memberiku segalanya... dan aku akan mengkhianati mereka di depan seluruh dunia."
"Kau tidak mengkhianati mereka," kata Luna. "Kau setia pada dirimu sendiri. Pada janjimu."
"Mudah-mudahan itu cukup."
"Itu akan cukup." Luna berjinjit dan memberinya ciuman lagi, kali ini di pipi. "Sekarang, pergilah. Buat keributan."
Seorang petugas panggung berseragam mendekati mereka. "Direktur Pradana? Waktunya."
Ethan menarik napas dalam-dalam. Dia merapikan dasinya—bukan karena kesombongan, tetapi untuk menenangkan tangannya yang sedikit gemetar.
Dia menatap Luna sekali lagi. "Tunggu aku?"
"Selalu," bisiknya.
Dia berbalik dan mengikuti petugas panggung itu menyusuri koridor pendek menuju sebuah celah di tirai beludru emas yang berat. Dia bisa mendengar tepuk tangan meriah dari sisi lain saat namanya diumumkan lagi.
Dia berhenti tepat di ambang pintu masuk. Cahaya dari panggung menyilaukannya. Dia bisa merasakan kehangatan dari lampu sorot, mencium bau debu panggung yang samar.
Dia melirik ke kerumunan di belakang panggung. Nate masih di sana, kini dengan kamera terangkat, siap mengabadikan momen itu. Nate memberinya anggukan lagi, kali ini dengan senyum tipis yang mengatakan, *Lakukan.*
Di kejauhan, di dekat pintu keluar VIP, dia melihat sekilas gaun biru tua. Senator Rostova berdiri di sana, dikelilingi oleh para ajudannya. Dia tidak tersenyum. Dia hanya menatap lurus ke arah Ethan, matanya sedingin es Swedia di luar.
Tidak ada jalan untuk kembali sekarang.
Petugas panggung memberi isyarat.
Ethan Pradana menarik napas terakhir dari udara belakang panggung yang pengap.
Dia melangkah maju, keluar dari bayang-bayang, menuju cahaya.