Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!” Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—19
Joel baru saja pergi setelah mengucapkan kalimat yang terdengar ambigu di telinga Cassia. Ia tak tahu harus menafsirkannya—ucapan itu terdengar begitu ringan untuk dianggap serius, tapi juga terlalu aneh untuk diabaikan?
Seperginya Joel, suasana kamar menjadi sunyi. Hujan perlahan turun di luar, disertai deru angin yang menampar kaca jendela. Cassia duduk di tepi ranjang, diam, menenangkan pikirannya. Akan tetapi bayangan yang Joel ucapkan terus berputar di kepala—membuat dada Cassia terasa sesak tanpa alasan yang jelas.
‘Apa maksudnya tadi? Mungkinkah ia…’ Saat benak Cassia sedang berspekulasi, lampu tiba-tiba saja padam. Bersamaan dengan suara petir yang menggelegar.
Praaanggg!
Gelap menelan ruangan. Dentuman petir yang begitu keras memekakkan telinga. Cassia terlonjak dari tempatnya. Napasnya memburu, kemudian berteriak.
“Aakkkkhhh!!”
Kegelapan juga suara petir merupakan kenangan buruk untuknya. Mengingatkan pada malam yang dulu hampir merenggut nyawanya. Cassia gemetar, ia meringkuk di lantai.
Sementara Joel yang baru beberapa langkah meninggalkan kamar, kembali berbalik saat mendengar teriakan Cassia.
“Cassia!” Serunya panik. Ia kembali masuk dengan sorot mata menjelajah di tengah kegelapan, mencari keberadaan Cassia.
Cassia tak menjawab. Tubuhnya kaku dengan bahu naik turun cepat. Sementara kedua tangannya menutupi telinganya erat-erat, tak ingin mendengar dentuman petir yang seolah sedang bersahutan di luar sana.
Ketika Joel sudah mendapati Cassia, pria itu perlahan mendekat. “Cassia, ini aku,” ucapnya pelan, berusaha menenangkan. “Tidak apa-apa. Cuma mati lampu.”
Joel meraih kedua bahu Cassia. Kemudian merangkulnya. Gemeretak gigi terdengar dari mulut Cassia, wanita itu menggigit bibirnya. “J-jangan… jangan dekat-dekat,” ujar Cassia tergagap dengan suara bergetar.
Joel mengerutkan dahi. Tapi ia tidak melepas rangkulannya, karena merasa apa yang barusan keluar dari mulut Cassia bukan sebuah amarah—melainkan ketakutan?
“Tidak apa-apa, Cassia, ada aku di sini.” Joel terus berusaha menenangkan. Kali ini dengan wajah menunduk, menatap mata Cassia di tengah kegelapan dengan kilatan petir yang samar sebagai penerang.
Di luar hujan makin deras. Perlahan, Cassia menurunkan tangannya dari telinga. Napasnya mulai teratur, tapi ketakutannya belum sepenuhnya hilang.
Joel tak menyerah. Ia terus menenangkan Cassia. “Cassia… bisakah kau lihat aku?” ujarnya lembut. Tapi wanita itu tak lantas mengangguk. “Aku janji akan di sini sepanjang malam untuk menjagamu.”
Entah mengapa, suara tangis Cassia yang tertahan membuat ketakutan itu seolah menular ke dada Joel. Dan Cassia perlahan melunak, mengangkat wajahnya, menatap mata Joel.
Namun, petir kembali menyambar. Cassia menjerit kecil dan menunduk lagi, tangannya kembali menutup telinga. “Sudah… sudah, tidak perlu takut. Ada aku di sini.” Dengan sabar Joel terus menenangkan Cassia. Merperdalam pelukannya. “Tidak akan ada yang terjadi padamu, selama aku ada disisimu.” Kali ini suara Joel lebih lembut, lebih dalam, juga tegas. Kemudian meraih kedua tangan Cassia, menurunkan dari telinga.
Cassia kembali menatap Joel. Wajah keduanya hanya berjarak satu jengkal, sehingga Cassia bisa merasakan hangat napas disetiap helaan Joel.
“K- kenapa… anda di sini?” tanya Cassia, suaranya bergetar dan serak. “B- bukankah anda… seharusnya sudah pergi?”
Joel tak langsung menjawab. Ia terus menatap Cassia, sembari mencari jawaban yang tepat agar tak melukai hatinya. “Aku dengan suara teriakanmu. Aku kira… terjadi sesuatu?”
“Dan anda pikir itu urusan anda?” Cassia menahan genangan air matanya. Berusaha terlihat kuat di tengah ketakutannya.
Joel tersenyum kecil, samar, nyaris seperti helaan napas. “Kalau aku biarkan kau ketakutan sendirian, itu baru bukan urusanku.”
Dahi Cassia berkerut. Ia terdiam. Ucapan Joel barusan terdengar begitu lembut, sulit untuk diabaikan. “Barusan saya hanya takut,” ujarnya pelan sembari memalingkan wajah.
Joel mengangguk perlahan. “Aku tahu.”
Ia masih menatapnya, sorot matanya beitu lembut tapi sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang tidak seharusnya terlihat—perhatian yang terlalu dalam untuk hubungan sekadar atasan dan bawahan.
Beberapa detik berlalu hanya diisi suara hujan. Sebelum akhirnya Joel bicara lagi, dengan suara berubah tenang namun dingin, seperti mencoba menutupi sesuatu.
“Ini semua karena kau sekretarisku. Segala kebutuhanku harus kau siapkan besok pagi. Jadi… aku merasa harus melindungimu.”
Kalimat itu membuat dada Cassia mencelos. “Ohh… b-begitu ya?” Entah mengapa ada kerapuhan dihelaan kalimat Cassia. Ia mengepalkan tangannya, lantas kembali memalingkan wajah.
“Ah… kenapa saya bisa lupa jika sekarang saya merupakan sekretaris anda,” lontarnya lagi, lirih dengan senyum samar. Ucapan itu terdengar seperti perisai—yang ia pakai untuk menutupi kerapuhannya.
Joel diam. Tak langsung menjawab. Pandangannya menurun ke tangan Cassia yang masih sedikit gemetar. “Jangan salah paham,” katanya pelan, namun entah mengapa begitu menusuk.
Cassia tertawa pelan, nadanya terdengar getir. “Anda yang membuat saya salah paham.”
Ya, kepedulian Joel barusan, sempat ia anggap sebagai bentuk ketulusan. Tak hanya sebatas atasan dan bawahan. “Cara anda menatap saya… cara bicara anda, cara anda menggenggam tangan saya. Tidak ada yang lebih profesional dari itu.”
Cassia menarik napas dalam. Kemudian tersentak. Apa yang barusan diucapkannya? Apakah ia sudah gila? Bisa-bisanya ia berujar seperti itu di depan Joel yang merupakan atasannya?
‘Aaaaaah… barusan aku mikirin apa sih?!’
Cassia ketakutan. Bisa-bisanya ia merasakan hal yang seharusnya tak ia rasakan. Larut dalam suasana, berharap lebih pada kepedulian Joel? Tak ingin semakin menambah kebingungan dalam hatinya, juga pada Joel karena sikapnya. Wanita cantik itu buru-buru melepas kedua tangan Joel yang masih merangkulnya, lantas gegas berhambur ke ranjang.
Di luar masih hujan. Cassia menarik selimut tebal itu sampai menutupi wajahnya. Ia berkata, “S-saya ingin tidur.”
Joel tak menjawab. Akan tetapi Cassia bisa mendengar derap langkahnya yang perlahan menjauh, lalu menghilang di balik pintu kamar.
Bersambung.