NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:782
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: Sebuah kesepakatan

Setelah kepergian Dira, Nayara tetap diam dalam posisi tidurnya—pura-pura terlelap dengan napas yang diatur sedemikian rupa. Selama beberapa menit ia menipu situasi, hanya demi menghindari percakapan atau tatapan yang mungkin terlontar dari Dira. Begitu suara langkah kaki itu tak lagi terdengar, Nayara membuka matanya perlahan. Ia menarik napas panjang seolah baru saja melepaskan beban, lalu bangkit dari ranjang dengan gerakan hati-hati. Tanpa melirik sedikit pun ke arah Zevian yang duduk di sofa, ia mengambil ponsel di atas nakas dan langsung melangkah masuk ke kamar mandi, menutup pintu di belakangnya dengan bunyi klik yang pelan namun jelas.

Lima belas menit berlalu.

Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Nayara muncul dengan rambut panjang yang kini digerai bebas, berkilau sedikit lembap karena uap hangat di dalam kamar mandi. Gaun tidurnya masih sama—lembut dan sederhana—namun penampilannya tampak berbeda. Wajahnya tanpa riasan tapi segar, dan matanya lebih tenang, meskipun sorot dingin masih menyelimuti iris cokelatnya. Tanpa berkata apa pun, ia bergegas mengambil tas selempang kecil di atas meja rias, lalu berjalan melewati Zevian yang masih menatapnya dengan pandangan tak terbaca.

Tidak ada satu pun kata keluar dari mulutnya.

“Mau ke mana lagi?” suara Zevian terdengar rendah namun tegas, memecah keheningan kamar. Nayara tetap melangkah, seolah tak mendengar. Ia bahkan tidak melirik sedikit pun.

“Mau ke mana, nona Harrison?” suara Zevian terdengar lebih berat kali ini, dan dalam sekejap tangan Nayara sudah berada dalam genggamannya.

Langkah Nayara terhenti. Ia menunduk, menatap tangan mereka yang saling bersentuhan—hangat, namun menusuk. Sejenak dia membeku, lalu menarik napas panjang dengan mata yang tertutup sesaat, berusaha menenangkan gejolak dalam dadanya.

Perlahan, Nayara mengangkat wajahnya dan menatap Zevian lurus-lurus. Tatapan itu tidak tajam, tapi juga tidak lembut. Ia tampak lelah, jenuh, namun tetap menyimpan kekuatan dalam diamnya.

"Aku lelah, Tuan. Tolong, jangan seperti ini," ucap Nayara lirih, suaranya nyaris bergetar. Ia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Zevian yang hangat namun menekan, seperti tak ingin melepaskannya sama sekali. Zevian mematung sejenak, wajahnya seketika redup.

"Kamu... lelah?" tanyanya pelan, nada sedih mengalir dari bibirnya yang biasanya kaku dan tegas.

Tanpa aba-aba, Zevian menarik tangan Nayara, membuat tubuh mungil itu menabrak dadanya yang bidang. Napas Nayara tercekat oleh gerakan mendadak itu. Tubuhnya tertahan dalam pelukan yang erat—erat sekali, seperti seorang pria yang takut kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.

"Kamu lelah, Nayara?" ulang Zevian, suaranya lirih, bergetar seperti benang yang hendak putus. "Saya memang salah... tapi jangan bilang seperti itu. Maaf... sungguh, saya tidak sengaja melakukannya." Ia menunduk, menyandarkan dagunya di atas kepala Nayara. Pelukannya menguat. "Setiap kali melihatmu, saya selalu terbawa oleh hasrat. Tapi, sungguh... jangan pernah katakan kamu lelah pada saya." Lanjut nya dengan tangan bergetar saat mengeratkan pelukan. Untuk pertama kalinya, Nayara merasakan dada Zevian bergetar.

Nayara terkejut—pria yang selalu bersikap dingin dan arogan itu... menangis? Air mata Zevian jatuh satu per satu, membasahi rambut Nayara yang terurai. Suaranya pecah saat kembali berbicara, nyaris tak terdengar.

"Jangan lelah dulu, Nayara... kamu belum selesai dengan tugasmu...hati saya masih jauh. Kamu belum selesai mengobatinya. Hati saya ini rusak, Nayara. Dan tak ada satu pun yang mampu menyembuhkannya sampai kamu datang." Napasnya terdengar berat, seperti menahan tangis yang terlalu lama dipendam. "Kehadiranmu mengisi kekosongan yang sudah lama saya pelihara. Jadi, saya mohon... jangan pergi, jangan merasa lelah dulu. Bantu saya jadi pria baik—seperti yang selalu kamu inginkan." Lanjut nya yang membuat Nayara diam. Pupil matanya membesar, dadanya naik turun tak teratur. Kata-kata Zevian menancap begitu dalam, membuatnya terdiam tak mampu berkata apa-apa. Ia tidak membalas pelukan itu, tidak menggerakkan tangannya sedikit pun... tapi juga tidak mendorongnya pergi.

Nayara bisa merasakan luka dari pria yang memeluknya sekarang. Ada kesedihan, keputusasaan, dan pengakuan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Zevian, pria penuh obsesi dan keangkuhan, kini bergetar dalam pelukannya—mengiba dengan nada penuh luka.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Nayara, ia merasa... iba.

Selama ini banyak pria mencoba mendekatinya, tapi semuanya pergi ketika ditolak. Tidak ada yang bertahan, tidak ada yang memperjuangkan. Tapi Zevian... berulang kali ia menolaknya, dan berulang kali pula pria itu datang kembali.

Tetap berdiri di sana.

Tetap memeluknya seperti ini.

"Saya mohon... tetaplah di samping saya," ucap Zevian lirih, suaranya nyaris tercekat oleh tangis yang tertahan. Isakannya mulai terdengar, menggema pelan di antara keheningan ruangan itu. Tubuhnya sedikit berguncang, menggambarkan betapa rapuhnya pria yang selama ini tampak begitu kokoh dan tak tersentuh.

Nayara perlahan memberi jarak, hanya beberapa langkah, cukup untuk melihat wajah Zevian dengan lebih jelas. Matanya menatap lekat wajah pria itu yang kini basah oleh air mata. Rambut Zevian sedikit berantakan, matanya memerah, dan ada gurat luka yang begitu nyata di sana. Luka yang tidak bisa ditutupi oleh jas mahal atau sikap angkuh. Nayara menatap lebih dalam, berusaha mencari kebohongan di balik sorot mata itu. Tapi nihil. Ia tidak menemukannya.

"Kenapa, Tuan? Kenapa Tuan ingin aku ada di samping Tuan?" tanya Nayara pelan, tapi tegas. Zevian menatap balik, tak berkedip. Napasnya sedikit terengah sebelum ia menjawab dengan suara pelan namun jujur.

"Saya... tidak tahu ini cinta atau obsesi. Tapi yang pasti, saya nyaman saat bersamamu. Setelah kejadian beberapa tahun lalu—ketika saya dikhianati oleh mantan kekasih saya... Saya tidak pernah membiarkan wanita mana pun mendekat." Zevian mengusap wajahnya, berusaha menahan tangis yang tak sepenuhnya bisa ia redam. "Saya tidak peduli meskipun orang tua saya mencoba menjodohkan saya dengan banyak wanita. Saya bahkan tidak peduli saat Mommy menangis dan memohon agar saya segera menikah. Tapi malam itu... saat saya melihatmu, entah kenapa hati saya seolah berkata: aku ingin dia. Aku ingin dia tetap di sisiku.” Ucapannya begitu jujur, tanpa balutan rayuan atau kepalsuan. Sebuah pengakuan dari seorang pria yang sebelumnya tak pernah tahu bagaimana caranya membuka diri.

Nayara masih berdiri diam, menyimak setiap kata. Namun pikirannya berputar. Ada sesuatu yang belum tuntas.

"Bukan karena Tuan takut kehilangan sesuatu?" tanyanya lagi, kali ini matanya sedikit menyipit, menguji. Zevian menggeleng pelan dengan cepat.

"Jika saya melakukan ini karena takut kehilangan sesuatu, saya pasti akan menerima siapa pun yang datang, meskipun hati saya menolak. Tapi kenyataannya, saya tidak melakukan itu." Ia menatap dalam ke mata Nayara, suaranya lebih tenang tapi penuh keyakinan. "Itu karena saya tidak percaya pada wanita mana pun. Sampai kamu datang." Lanjut nya yang membuat Nayara menghela napas panjang. Udara terasa begitu berat saat masuk ke paru-parunya. Kata-kata Zevian mengendap, menampar sisi hatinya yang paling sensitif.

"Aku bisa mengobati luka anda, Tuan. Tapi anda tahu, aku tidak mudah percaya pada anda. Jadi, seperti yang aku bilang saat di villa, aku juga punya trauma terhadap laki-laki. Ibu ku meninggal karena orang yang dia cintai, dan itu membuat aku takut menjalin hubungan dengan pria manapun. Jadi, tolong yakinkan aku. Aku butuh kepercayaan itu," suara Nayara lembut tapi tegas, matanya menatap dalam ke arah Zevian. Tatapannya penuh harap tapi juga waspada, seolah sedang bernegosiasi dengan seseorang yang bisa menyembuhkan sekaligus melukai hatinya.

"Saya akan berusaha.." ujar Zevian yang membuat Nayara menatap lekat.

"Tapi dua kali anda sudah mengecewakan aku dengan sikap itu tuan, anda membuat ku takut," ujar Nayara yang membuat zevian menatap Nayara dengan serius, seolah benar-benar memahami kedalaman luka yang tersembunyi di balik kata-katanya.

"Apa yang harus saya lakukan agar kamu percaya?" tanyanya perlahan, nadanya penuh perhatian dan sabar. Nayara menarik napas panjang, menatap manik biru terang Zevian yang seolah bisa menembus jiwanya.

"Buktikan kalau anda bisa membuat aku jatuh cinta. Yakinkan aku bahwa tidak semua pria itu sama, aku bersedia menikah dengan anda, tapi hanya selama 2400 jam saja. Dan itu harus tertulis jelas, hitam di atas putih. Aku ingin anda menyetujui itu, Tuan. Kalau anda setuju, aku juga akan menerima syarat dari anda. Tapi jika setelah 2400 jam itu berakhir, dan anda belum bisa membuat aku jatuh cinta, maka jasaku untuk anda pada hari itu selesai. Anda harus menceraikanku tanpa menuntut apapun dariku. Setuju?" Ujar Nayara dengan mata tak beranjak dari Zevian, penuh tantangan dan keraguan yang terselip di balik ketegasan.

Zevian terdiam sejenak, menimbang setiap kata dan beban yang harus dia pikul. Wajahnya yang biasanya dingin berubah menjadi serius, menandakan bahwa ini bukan sekadar janji kosong baginya. Setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan dan berkata.

"Saya setuju. 2400 jam akan dimulai setelah kita resmi menikah. Saya menerima kontrak pernikahan ini. Tapi saya ingatkan, jika sebelum 2400 jam itu berakhir kamu sudah jatuh cinta pada saya, maka surat itu harus dimusnahkan. Saya tidak akan pernah menceraikanmu." Ujar nya yang mana kata-kata itu meluncur dari bibir Zevian dengan keyakinan penuh, dan sorot matanya yang tajam membuat Nayara terdiam seribu bahasa. Hatinya berdebar, terpesona oleh keberanian pria ini. Ada sesuatu dalam tatapan Zevian yang menantang, seperti mengundang Nayara untuk membuka diri dan menerima sesuatu yang selama ini ia takutkan.

"Dan satu lagi, aku ingin terlibat dalam proses pembuatannya. Aku tidak mau ada sedikit pun poin dalam kontrak itu yang merugikan diriku." suara Nayara kembali menguat, penuh ketegasan. Matanya menatap tajam, menuntut kejelasan dan keadilan, seolah setiap kata yang diucapkannya adalah benteng untuk melindungi hatinya yang rapuh.

Zevian menghela napas, lalu menatap Nayara dengan ekspresi sedikit arogan, setengah tersenyum namun tegas.

"Saya akan mengurus surat-surat itu bersama pengacara saya. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu: saya tidak pernah suka apapun yang sudah menjadi milik saya disentuh, dilihat, atau sekadar dilirik pun saya tidak sudi. Jadi, saya harap kamu bisa mematuhi peraturan itu?" Nada suaranya seperti perintah terselubung yang tak memberi ruang untuk keberatan, membuat suasana seketika menjadi tegang. Nayara mulai membuka mulut hendak membantah.

"Itu tak ad..." Namun ucapannya terpotong tajam oleh interupsi Zevian.

"Bagian mana yang tidak adil menurutmu? Semua ini adil, lagipula hanya 2400 jam, bukan selamanya. Jika saya memang tidak berhasil tidak akan terjadi apapun, lagipula bukankah seharusnya memang seperti itu? Wanita yang sudah bersuami harus menuruti apa perintah suaminya." Ujar nya.

Tatapan Zevian membakar, penuh dominasi dan kepercayaan diri yang menyulitkan Nayara untuk menolak lebih jauh. Kalimat itu seperti tembok yang menghentikan seluruh keberatannya. Setelah hening sejenak, Nayara mengangguk pelan, menelan keengganannya.

"Baiklah, aku setuju, Tuan. Tapi tidak ada kata menyentuh, berciuman, apalagi sampai meminta hak sebagai seorang suami. Bagaimana?" Tanya nya lagi matanya menantang, menunggu reaksi Zevian yang tak terduga. Zevian mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum dengan senyum aneh yang sulit ditebak maksudnya.

"Kalau untuk yang selain itu, mungkin saya bisa menepatinya. Tapi saya tidak janji untuk menepati kata pada bagian tidak menyentuh, tidak berhubungan suami istri, atau pun meminta hak sebagai suami. Saya tidak bisa berjanji untuk itu." Ujar nya yang membuat hawa di ruangan itu berubah, menimbulkan getar tegang yang sulit diabaikan. Nayara mengerutkan dahi, suara hatinya penuh keberatan.

"Jika begitu, aku tidak setuju. Aku keberatan karena aku akan dirugikan pada akhirnya." Ujar Nayara yang membuat Zevian menatap dalam, suaranya menenangkan namun tegas.

"Kita tidak bisa melakukan ini tanpa cinta. Saya hanya tidak bisa berjanji, bukan tidak mau menahan diri." Kata-kata zevian membuat Nayara menatapnya kembali, kali ini dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan.

"Aku harap anda bisa memenuhi janji itu, Tuan. Aku berharap anda seperti itu," ucap Nayara dengan suara lembut, penuh kepercayaan yang mulai tumbuh.

Zevian hanya tersenyum, mengangguk pelan. Dalam senyum itu, ada kepuasan tersembunyi karena akhirnya dia berhasil menembus sedikit demi sedikit pertahanan yang selama ini kokoh membentengi hati wanita di hadapannya.

"Ya, saya juga berharap seperti itu," ucap Zevian dengan suara lembut, matanya menatap dalam ke arah Nayara, seakan ingin meyakinkan bahwa kata-katanya bukan sekadar janji kosong. Nayara menatap balik dengan tatapan penuh harap, namun tetap ada sedikit keraguan yang tersisa di sudut matanya.

"Dan satu lagi, Tuan," suara Nayara turun menjadi lebih pelan, hampir seperti bisikan, penuh beban dan kejujuran, "ingatlah, jangan salah paham dengan apa yang aku ucapkan sekarang. Aku melakukan ini karena dua alasan. Yang pertama, karena aku tidak tega melihat ibu anda yang sudah terlalu banyak berharap dengan kebohongan anda itu. Dan yang kedua, sebagai balas janji atas pertolongan anda padaku malam itu." Ujarnya tenang namun matanya sedikit redup, mengandung kegetiran. Zevian mengangguk perlahan, senyum tipis merekah di bibirnya. Tanpa aba-aba, dia memeluk tubuh kecil Nayara dengan penuh kelembutan. Tangan sebelahnya yang lain mengecup pucuk kepala calon istrinya itu dengan penuh kasih sayang.

"Selamat datang di hatiku yang rumit, Nyonya Nayara Steel," ucap Zevian halus, suaranya seperti bisikan lembut yang hanya didengar oleh Nayara.

Namun, tiba-tiba... kring.. kring.. kring..

Suara dering ponsel yang sejak tadi dipegang Zevian memecah keheningan, merusak momen hangat dan penuh arti itu.

Zevian menatap ponselnya dengan sedikit enggan, tahu bahwa ia harus menghentikan perbincangan serius ini. Ia melihat layar, ternyata yang menelpon adalah Aditya, sahabatnya, yang menghubunginya pagi-pagi sekali.

Dengan satu tangan, Zevian mengangkat telepon itu, sementara tangan satunya masih memeluk Nayara erat, seolah enggan melepas hangatnya pelukan yang baru saja terjalin.

“Lepaskan dulu, Tuan,” ujar Nayara pelan, sedikit mendorong tubuh Zevian dengan kedua tangannya. Namun, Zevian hanya melirik sekilas ke arahnya—acuh dan enggan menuruti.

“Halo, ada apa, Dit?” tanyanya santai, masih terdengar malas, seolah tak terjadi apa-apa. Terdengar suara Aditya dari seberang, nadanya panik dan dibuat-buat dramatis.

“Zevian! Kamu di mana ? Sudah lupa kalau punya perusahaan, ya? Aku tahu kamu depresi karena perjodohan itu, tapi jangan bawa seluruh karyawanmu ke dalam kesengsaraan juga!” Nada bicara Aditya terdengar seperti sedang berpidato di atas panggung, padahal kenyataannya, keadaan perusahaan baik-baik saja meski Zevian tak muncul selama dua hari terakhir. Zevian mendesah ringan, sedikit tersenyum menyadari betapa berlebihannya sahabatnya itu.

“Ada masalah serius?” tanyanya santai, seolah tahu bahwa Aditya tak mungkin sampai teledor walau tanpa pengawasan langsung.

"Kamu itu CEO! Bagaimana bisa kamu bersantai di rumah, sedangkan aku menderita sendirian harus meng-handle semua pekerjaanmu?! Kejam sekali pada sahabat sendiri,” keluh Aditya dengan nada memelas, seakan dia yang paling tersiksa di dunia.

Zevian hanya menggeleng kecil, senyumnya mengembang samar, menahan tawa yang mulai menggelitik di dada. Matanya menatap layar ponsel sejenak sebelum jemarinya lincah menelusuri daftar kontak. Setelah menemukan nama Mega—sekretaris sekaligus sahabat lamanya—ia menekan tombol sambung tanpa memberi tahu Aditya bahwa percakapan mereka kini akan didengar orang ketiga. Dengan nada serius yang menyimpan jebakan halus, Zevian bertanya,

“Sekali lagi kutanya, Dit. Kamu menderita bekerja di perusahaanku?” tanya nya yang membuat Aditya yang masih tenggelam dalam keluhannya, menjawab penuh semangat tanpa curiga,

“Tentu saja! Sangat menderita! Aku juga harus menangani anak cabang perusahaan ayahku. Bagaimana aku bisa membagi waktu? Semua beban ini tak mungkin aku tangani sendirian!” katanya dengan nada sombong dan puas, merasa telah memenangkan simpati.

“Baik. Mega, kau dengar itu?” tanyanya tenang namun bernada penuh makna. Suara Mega terdengar dari seberang, jernih dan datar seperti biasanya.

“Ya, aku mendengarnya. Apa yang harus kulakukan, Ze?” tanya nya yang membuat Zevian melirik ke arah Nayara yang masih bersandar tenang dalam pelukannya, lalu menjawab santai namun penuh sindiran,

“Tolong carikan wakil CEO baru, asisten pribadi baru, dan... sahabat baru. Kurasa aku mulai bosan dengan yang ini.” ujar nya yang membuat Nayara menatap wajah Zevian sejenak. Matanya tampak bingung, karena tidak mengerti dengan pembicaraan itu. Sedangkan Mega tertawa pelan sebelum menjawab.

“Baiklah. Kau ingin yang pria atau wanita?” tanya nya.

“Pria saja. Supaya cocok jadi partnermu nantinya,” sahut Zevian tenang, tatapannya kembali tertuju pada Nayara. Ia merengkuhnya sedikit lebih erat, seolah ingin memastikan kehangatan itu tak pergi kemana pun.

“Baik, akan segera kuurus. Mulai besok, wakil CEO, asisten pribadi, dan sahabat lama akan diganti semuanya,” ucap Mega santai namun penuh tekanan, menahan tawa yang hampir pecah.

Terdengar suara gaduh dari seberang. Aditya—yang baru menyadari jebakan itu—bangkit dari duduknya, panik dan terburu-buru.

“Ze... Zevian! Apa-apaan ini?! Aku hanya bercanda! Jangan serius begitu!” ujarnya namun Zevian tak langsung menjawab. Ia menatap layar ponsel dengan ekspresi datar, seolah tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada putus asa sahabatnya. Sementara itu, Nayara menggeliat pelan dalam pelukannya.

“Tuan... bisa anda lepaskan sekarang? Telepon nya sudah selesai?” ucapnya setengah berbisik, mencoba melepaskan diri dengan hati-hati. Namun Zevian hanya menoleh sebentar, menurunkan dagunya sedikit hingga hampir menyentuh rambut Nayara.

“Sebentar saja lagi,” bisiknya ringan, sebelum kembali menatap ke depan, menanggapi suara Aditya yang makin cemas.

“Ze! Aku sungguh tidak berniat... kau tahu aku hanya main-main tadi, bukan?!” Ujar nya dan dengan tenang dan datar, Zevian menjawab.

“Aku tahu. Tapi perusahaan ini bukan tempat bermain-main. Apalagi jabatan strategis sepertimu. Bukan hanya kamu yang bisa jadi wakil ku Aditya,”ujar Zevian yang membuat suasana hening sejenak, karena Aditya nyaris kehabisan napas.

“Ze... Ayolah. Jangan begini. Kau benar-benar tega!” ujar nya setengah merengek. Mega yang masih terhubung di panggilan itu akhirnya menyelipkan suara, dengan nada ringan namun jelas-jelas mengompori.

“Sudah kubilang berkali-kali, Dit. Kalau bercanda dengan Zevian, harus siap menerima konsekuensi. Kau yang cari masalah sendiri.” ujar nya dari sebrang sana.

“Mega! Harusnya kau membelaku, bukan malah...” balas Aditya tidak terima.

“Justru karena aku sahabatmu, aku mendukung keputusan ini. Siapa tahu dengan wakil CEO baru, suasana perusahaan lebih segar. Bukankah begitu, Ze?” sahut Mega dengan tawa kecil Zevian mengangguk kecil, meski tahu mereka tak bisa melihat.

“Benar. Lagipula, sudah lama aku ingin coba bekerja dengan orang yang tidak terlalu banyak mengeluh.” jawab nya lagi.

“Tega sekali... Aku korban di sini,” keluh Aditya, nadanya seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Nayara yang sejak tadi hanya menyimak, kembali berusaha menjauh.

“Tuan, sungguh... Aku tidak nyaman dipeluk terus seperti ini.” ujar nya yang membuat Zevian benar-benar menoleh. Ia menatap wajah Nayara yang merona, lalu tersenyum tipis, seolah baru sadar kehadiran dunianya yang lain di pelukannya.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya, lalu perlahan melepaskan pelukannya, memberikan ruang bagi Nayara untuk duduk lebih nyaman. Meski begitu, tangan kirinya masih menyentuh punggungnya pelan, seakan enggan benar-benar melepaskan.

Suara dari ponsel kembali terdengar, kali ini lebih pelan, seperti seseorang yang mulai kehabisan akal.

“Ze, ayolah... aku berjanji tidak akan mengeluh lagi. Kau tahu aku bisa diandalkan,” ujar Aditya, mulai terdengar putus asa dari seberang.

Zevian memutar bola matanya perlahan, lalu menghela napas pendek. Ia berusaha menahan senyum yang hampir muncul di wajahnya, bahagia karena berhasil menjebak sahabatnya sendiri. Namun, nada suaranya tetap dibuat datar dan terdengar dingin.

“Terserah. Aku tidak suka orang sepertimu,” sahutnya tegas, seolah benar-benar serius.

“Kau tahu, aku terlalu tampan untuk menganggur,” ucap Aditya kemudian, suaranya terdengar hampir seperti mengiba.

“Kau terlalu banyak bicara untuk disebut tampan,” balas Zevian datar. Suara Mega tiba-tiba terdengar dari seberang, tenang namun tajam.

“Kalian terlalu berisik untuk disebut manusia,” balasnya, membuat Zevian terkekeh kecil. Ia cepat-cepat menekannya, berusaha mempertahankan kesan seriusnya.

"Zevian, don’t joke about things like this. I’m not amused. (Zevian, jangan bercanda soal hal-hal seperti ini. Aku tidak suka.)” ujar Aditya dengan nada panik, bahasa Inggrisnya terdengar kacau karena gugup. Zevian mengangkat alis, menanggapi dengan nada dingin yang dibuat-buat.

"Then what do you enjoy? Complaining? Protesting? Talking too much? (Lalu apa yang kamu suka? Mengeluh? Protes? Dan bicara terlalu banyak?)" Ujar zevian lagi.

“Bukan seperti itu maksudku!” seru Aditya, jelas-jelas sedang panik, karena tidak tahu dirinya tengah jadi bahan candaan. Tapi zevian dengan santai mematikan sambungan telponnya dari sebelah pihak tanoa menunggu ucapan selanjutnya dari Aditya.

“Akan saya buat hati baru yang akan menemanimu di setiap harimu. Saya akan buat kamu yakin bahwa saya berbeda dari pria lain—itu janji saya, janji yang bisa kamu pegang.” Ucap Zevian lirih namun mantap, masih enggan melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Nayara.

Zevian memejamkan mata sejenak, menghirup aroma samar sampo di rambut Nayara, seakan ingin mengabadikan momen itu dalam memorinya. Pelukan itu bukan sekadar bentuk kedekatan fisik, tapi seolah menjadi pernyataan tak bersuara bahwa ia sungguh-sungguh.

Sementara Nayara hanya diam, tidak membalas, namun juga tidak berusaha menghindar lagi. Matanya menerawang kosong, tapi detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam suara dan sikap Zevian yang perlahan menggoyahkan benteng yang selama ini ia bangun.

Dan untuk pertama kalinya, langit yang semula mendung perlahan memperlihatkan celah cahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!