NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:572
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halusinasi

Part 19

Mirai bergegas kembali ke Nero. Pakaiannya sudah basah oleh darah, wajahnya pucat pasi, giginya terkatup rapat menahan sakit. Dilepas tas ransel dari punggungnya, lalu membantu melepas kaitan ransel Nero di pinggang dan di bahu perlahan tapi membiarkannya tetap berada di punggung agar ia bisa bersandar.

Mirai menahan napas, menyiapkan hati untuk segala kemungkinan terburuk kala  menyingkap jaketnya. Warna merah gelap masih merembes dari luka di bahu kanan—tepat di atas otot deltoid, menembus dalam, bentuknya tak rapi, seperti sobekan yang disayat dan ditusuk sekaligus. Bibirnya tergigit kecil. Darahnya udah banyak banget yang keluar. Kalo gini terus, bisa masuk tahap syok perdarahan.

Tangannya gemetar, tapi pikirannya mencoba tetap jernih. Ia cepat memeriksa nadi di bagian pergelangan Nero yang masih terasa, meski lemah dan cepat. Kulitnya pucat, dingin, keringat tipis mulai muncul di pelipis. Matanya sayu tapi masih fokus, menandakan belum kehilangan kesadaran total.

“Bertahan sebentar yaaa. Aku bisa tangani ini. Jangan tidur,” bisik Mirai. Dirogoh isi tas ranselnya, membuka mini kit kecil hasil rampok dari klinik, dan sebagian besar telah habis persediaan. Hanya tersisa beberapa lembar kasa. Bahkan jarum jahit dan benangnya saja sudah taka da sisa. Terpaksa ia memasukkan kembali kotak itu ke dalam tasnya dan menghadap satu-satunya rekan yang ia punya. Tak boleh putus asa. Itu tekadnya.

Nero yang wajah cemasnya tersenyum tipis. “Parah banget ya?” Mirai menggeleng pelan namun Nero tahu itu kebohongan.

Dirobek kain jaket Nero, lalu mencari peralatan di sekitar gudang. Sebuah kotak perkakas berdebu memberinya beberapa benda berupa gulungan kain lap kotor, sebuah obeng, dan pita plastik yang biasa dipakai mengikat barang. Mirai buru-buru memilih lap paling bersih, melipatnya tebal, lalu menekannya kuat-kuat ke luka.

Nero meringis keras, giginya terkatup, tapi tidak menolak. “Sakit, gilaaaa.” Suaranya serak, tapi matanya tetap menatap Mirai, seolah itu cukup untuk membuatnya bertahan.

Satu tangan Mirai menahan tekanan, lalu mencari cara menghentikan aliran darah. Tanpa alat jahit, hanya bisa membuat balutan tekan. Lap itu ia ikat pakai potongan kain sobekan kaosnya sendiri, melilit kencang di bahu Nero sampai menahan napasnya sendiri karena takut terlalu longgar.

Darah masih merembes keluar, tapi tidak lagi menyembur deras. Setidaknya ia berhasil memperlambatnya. “Oke, ini cukup. Cukup untuk sekarang,” desisnya, keringat dingin ikut bercucuran di dahinya.

Nero mencoba tersenyum samar. “Makasih. Aku gak tau gimana jadinya kalo gak ada kamu.”

Mirai menggeleng. “Aku gak ngelakuin apa pun. Aku masih harus cari alat buat ngelakuin operasi kecil. Apa golongan darah kamu?”

“A.”

Mirai tertunduk lesu. Golongan darahnya sendiri B, jadi ia tidak bisa melakukan transfusi darah ke Nero bila seandainya ia menemukan cara.

“Udah gak ada harapan?”

Airmata Mirai mengalir. “Ini pertama kalinya aku ngerasa gak berguna.”

“Siapa yang bilang gitu?”

“Gak di pertarungan, gak di pertolongan. Aku cuma bisa nonton.”

“Aku pernah bilang gitu?”

Mirai menggeleng. “Aku yang bilang,” lirihnya.

“Itu gak bener. Kalo kamu gak ada-“

“Kalo aku gak ada kamu bisa lebih cepat keluar dari kota ini. Setidaknya bisa lari lebih cepat dari kejaran zombie,” potong Mirai.

“Bener. Trus kalo aku luka siapa yang ngobatin? Dokter zombie?” Dan kali ini Mirai hanya terdiam. Nero mengerang, menahan rasa sakit, tapi masih sempat menatap lembut Mirai. "Kalo kamu gak ada, aku lebih cepat mati.” Itu benar. Entah sejak kapan gadis ini menjadi sumber kekuatannya. Tekadnya untuk hidup lebih kuat dari biasanya.

Mata Mirai terangkat menatap wajah pucat Nero. “Pliiis, jangan mati.” Tapi Nero hanya menatapnya sambil tersenyum. Itu membuatnya jadi panik. "Kamu jangan matiiii. Kamu udah janjiiii. Kata kamu kita Adam dan Hawa. Kalo kamu gak ada nanti aku malah jadi Bunda Mariaaaa," isaknya.

Mendengarnya Nero malah tertawa, tapi tersendat-sendat karena kesakitan. "Kamu jangan bikin ketawa dong. Hahaha ini sakiiiit tauuuuu. Hahaha"

"Aku seriiiuuuuuus! Hiks! Gak mungkin di sini ada mukjizat bisa hamil sendiri. Hik hiks. Kalo kamu gak ada aku sendiriaaaaan."

"Ya kalo kamu yang gak ada aku jadi apa dong? Amoba? Membelah diri gitu? Apa jadi Piccolo dari planet Namec yang bisa muntah telor?"

Mendengarnya itu Mirai sontak tertawa dalam tangisnya. "Kamu jangan bercanda doooong. Sekarang aku jadi bingung mau nangis apa mau ketawa."

"Hahaha, ya kamu duluan yang mulai."

"Sekarang aku jadi keseeeeel!"

"Udah jangan nangis, kamu lebih cantik waktu ketawa." Bukannya diam tangisan Mirai malah menjadi-jadi. Nero pun mendesah pendek lalu menarik Mirai dalam pelukannya. Gadis itu menyembunyikan wajah di dadanya. "Katanya lebih tua, tapi sekarang tingkahnya kayak bocah."

"Bodoook!" geram Mirai sambil terisak.

Nero jadi tertawa lagi di tengah rasa sakitnya. “Iya, iya, aku gak bakal mati. Nanti siapa yang nemenin kamu bikin anak.”

Wajah Mirai merah padam, tapi ia tak peduli. Yang terpenting pemuda ini tidak meninggalkannya.

Pada akhirnya Nero tertidur karena kelelahan dibanding hilang kesadaran setelah tiga puluh menit menahan sakit. Tidak ada obat pereda nyeri, demam, bahkan antibiotik. Apalagi darah. Mengingat itu air mata Mirai semakin deras.

Setelah dicek pada map kota lokasi ini jauh dari mana pun, terutama rumah sakit, klinik atau sekadar apotik. Satu-satunya rumah sakit yang dia ingat hanya St. Angel yang memiliki banyak persediaan darah dan obat-obatan.

Tapi bagaimana caranya bisa ke sana dengan Nero yang dalam kondisi seperti itu? Wajah Mirai pun tertutup telapak tangannya, menahan suara tangis agar Nero tidak terganggu. Dalam keputusasaan terjadi sesuatu yang mengejutkan.

"Mirai. Miraaaai," panggil seseorang.

Suara anak kecil? Mirai tersentak sendiri. Mirai? Itu ID gamenya di sini. Dan tak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu. Dari mana ia tahu ID game gue?

Ia pun celingukan mencari sumber suara yang masih memanggilnya. Memastikan sedang tidak berhalusinasi. Lalu menemukan siluet anak kecil di tepi jendela dekat pintu masuk yang seolah sedang mengintip. Sontak ia bangkit menghampiri tetapi sosok itu malah berlari menjauh.

Mirai kebingungan saat mencari-cari dari balik jendela. Sosok anak yang samar itu tampak berdiri di tengah kabut dekat sebuah kontainer seolah memancingnya keluar. Bibir Mirai bergetar. Apakah ia harus mengikutinya atau tidak. Sejenak ia menoleh kebelakang pada Nero yang sedang terbaring lelap. Gimana ini? Kalo gak disamperin keknya salah. Soalnya aneh banget. Lagian mungkin aja anak itu terpisah dari orang tuanya. Yang jelas dia bukan zombie secara bisa manggil gue.

Setelah merenung sejenak dan memastikan tidak ada zombie yang berkeliaran di luar, Mirai memutuskan untuk keluar. Dikejar sosok yang kembali berlari menjauh, membuatnya semakin yakin kalau anak itu tidak sedang membutuhkan bantuan tetapi seolah mengajaknya ke suatu tempat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!