Deskripsi Novel: Batu Rang Bunian
"Batu Rang Bunian" adalah sebuah petualangan seru yang membongkar batas antara dunia kita yang penuh cicilan dan deadline dengan alam Bunian yang misterius, katanya penuh keindahan, tapi faktanya penuh drama.
Sinopsis Singkat:
Ketika seorang pemuda bernama Sutan secara tidak sengaja menemukan sebongkah batu aneh di dekat pohon beringin keramat—yang seharusnya ia hindari, tapi namanya juga anak muda, rasa penasaran lebih tinggi dari harga diri—ia pun terperosok ke dunia Bunian. Bukan, ini bukan Bunian yang cuma bisa menyanyi merdu dan menari indah. Ini adalah Bunian modern yang juga punya masalah birokrasi, tetangga cerewet, dan tuntutan untuk menjaga agar permata mereka tidak dicuri.
Sutan, yang di dunia asalnya hanya jago scroll media sosial, kini harus beradaptasi. Ia harus belajar etika Bunian (ternyata dilarang keras mengomentari jubah mereka yang berkilauan) sambil berusaha mencari jalan pulang. Belum lagi ia terlibat misi mustahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Melintasi Batas Geografis dan Dunia Gaib Bagian 1
BAB 8: Melintasi Batas Geografis dan Dunia Gaib
Bagian I: Trauma Penerbangan Kelas Satu
Keputusan Sutan untuk membeli tiket pesawat First Class untuk Raja Pualam Harahap terbukti sangat tepat. Pualam sudah nyaris pingsan hanya karena lampu neon bandara dan suara pengumuman yang menggelegar.
"Sutan, jelaskan padaku," bisik Pualam, matanya melebar saat mereka memasuki kabin First Class yang mewah. "Mengapa kotak terbang ini harus bergerak begitu cepat? Dan mengapa para manusia ini mau berada di dalam kotak logam sempit tanpa jaminan Keseimbangan?"
"Namanya penerbangan, Mas Pualam. Ini cara tercepat ke Sulawesi. Dan ini First Class. Lebih tenang, kursi lebih besar, dan makanannya... Lumayan," jawab Sutan, sambil dengan cepat memesan segelas jus jeruk untuk Pualam.
Pualam duduk di kursi besar, tapi ia mencengkeram sandaran tangan seperti nyawa bergantung di sana. Sutan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya, menjaga Batu Putih di ranselnya.
"Apakah batu itu baik-baik saja?" tanya Pualam.
"Masih hangat, Pualam. Itu artinya Ratu masih hidup dan berada dalam jarak yang terdeteksi," jawab Sutan.
"Fokus sekarang adalah melewati landasan pacu. Jangan kaget kalau ada getaran."
Saat pesawat mulai bergerak, Pualam menutup matanya erat-erat. Ketika pesawat lepas landas, Pualam mengeluarkan desisan Bunian yang menahan rasa takut.
"Ini bukan terbang, Sutan! Ini adalah pelanggaran total terhadap Hukum Angin! Kita akan terjatuh dan menjadi makanan Arwah!"
"Tenang, Pualam. Itu cuma turbulensi. Lihat, ada bantal dan selimut gratis," Sutan mencoba menenangkan.
Untungnya, penerbangan itu relatif mulus. Pualam menghabiskan sebagian besar waktu dengan menatap keluar jendela, tidak percaya melihat dunia manusia dari ketinggian.
Trauma #4: Makanan Kelas Satu. Ketika Pramugari
menyajikan makanan, Pualam menolak dengan sopan namun jijik. "Ini makanan yang dimasak dengan api! Di mana embun pagi dan buah-buahan kristal? Dan mengapa manusia memotong daging ini dengan pisau yang begitu tumpul?"
Sutan hanya tersenyum dan memakan steaknya. "Ini namanya culture shock, Mas. Nanti di Wentira, kau akan merindukan makanan ini."
Petunjuk di Udara dan Perjanjian Kuno
Di tengah penerbangan, Sutan memutuskan untuk membuka Batu Rang Bunian yang asli (Jantung Kedaulatan), yang ia bawa demi keamanan. Ia membuka ranselnya perlahan. Batu itu memancarkan cahaya putih pucat dan samar.
Sutan mengaitkan Batu Rang Bunian yang asli dengan Batu Putih cenderamata Ratu di telapak tangannya.
KRING!
Sebuah resonansi energi yang sangat kuat terjadi. Sutan merasakan otaknya dibanjiri oleh informasi yang bukan miliknya.
Ia melihat sebuah adegan kilat: Ratu Puspa Sari yang sedang diculik oleh dua sosok Bunian tinggi. Salah satunya memegang Kunci Akses D-Gate berwarna hijau neon yang sama. Mereka membawa Ratu ke sebuah kota yang diselimuti kabut tebal dan bangunan yang tampak kuno, tapi anehnya bercampur dengan antena komunikasi yang tersembunyi.
Sutan juga melihat sepucuk kertas kuno, yang ditarik oleh penculik itu dari laci Ratu. Kertas itu bertuliskan aksara Bunian kuno, tetapi di bagian bawah terdapat cap stempel yang aneh: gambar Ular yang melilit Komputer.
"Perjanjian!" bisik Sutan.
"Ada apa, Sutan?" tanya Pualam.
"Perjanjian itu adalah kode rahasia. Itu bukan perjanjian diplomatik biasa. Itu adalah Perjanjian Simbiosis Dimensi yang dibuat ratusan tahun lalu antara Bunian dan... Jin."
Sutan menjelaskan bahwa legenda kuno mengatakan bahwa Bunian dan Jin di Wentira pernah membuat perjanjian untuk berbagi energi dan menjaga batas dimensi.
"Simbol Ular yang melilit Komputer itu berarti Organisasi Peretas Dimensi (OPD). Mereka adalah Bunian yang menyimpang, yang berkolaborasi dengan Jin Wentira yang haus teknologi dimensi. Mereka menculik Ratu untuk mendapatkan formula Keseimbangan dan Permata, lalu mereka akan menggunakannya untuk membuka portal besar dan merampok energi dari semua dimensi!"
Pualam menghela napas. "Jadi, kita tidak hanya melawan Suku Gembira dan Tetua Kelam lagi. Kita melawan Bunian pengkhianat dan Jin yang terobsesi pada gadget?"
"Tepat," kata Sutan. "Dan mereka ada di Wentira, Kota Tanpa Sinyal."
Menjejak Wentira
Setelah mendarat di Sulawesi dan melakukan perjalanan darat yang melelahkan (dan penuh trauma klakson mobil bagi Pualam), mereka akhirnya mencapai kaki pegunungan yang menuju ke Wentira.
Daerah ini terasa berbeda. Udaranya sangat dingin, tetapi bukan dingin Bunian. Ini adalah dingin yang menyedot. Pohon-pohonnya tampak lebih lebat, dan sinyal ponsel Sutan benar-benar hilang—sesuai dengan julukannya.
"Di mana kotanya?" tanya Pualam, memandang sekeliling. Yang terlihat hanyalah hutan yang sangat lebat.
Sutan mengeluarkan Batu Putihnya. Batu itu berdenyut dan mengarahkan mereka ke sebuah jalan setapak kecil yang ditutupi kabut.
"Ratu menyembunyikan portalnya di balik ilusi kabut," kata Sutan. "Wentira tidak bisa dilihat dengan mata biasa, Pualam. Kita harus berjalan dengan intuisi dan kekuatan batu ini."
Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak. Semakin dalam, semakin tebal kabutnya. Tidak ada suara burung, tidak ada suara serangga. Hanya keheningan yang total.
Pualam, meski awalnya trauma dengan dunia manusia, kini kembali ke elemennya. Ia berjalan dengan anggun dan waspada, matanya mengawasi bayangan.
"Ada yang mengawasi kita, Sutan," bisik Pualam.
"Mereka bukan Bunian. Mereka lebih besar, lebih tua, dan mereka... terlalu sunyi."
Sutan mencengkeram Batu Putihnya. Ia tahu. Mereka telah memasuki wilayah Jin Wentira.
Tiba-tiba, kabut di depan mereka terangkat seperti tirai panggung.
Di hadapan mereka, muncul pemandangan yang mustahil. Itu adalah Kota Wentira.
Kota itu megah dan kuno, dengan menara-menara batu yang menjulang tinggi hingga menembus awan, ditutupi oleh lumut emas. Namun, di tengah-tengah arsitektur kuno itu, terdapat piringan-piringan satelit besar dan kabel serat optik yang melintang—sebuah campuran absurd antara legenda gaib dan infrastruktur modern.
"Selamat datang, Sutan," bisik Pualam. "Di sinilah teknologi dan legenda bertemu. Di sinilah Keseimbangan akan dipertaruhkan untuk kedua kalinya."
Namun, di pintu masuk kota, mereka tidak disambut oleh Jin yang menyeramkan. Mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas mahal, dasi sutra, dan kacamata tebal.
"Tuan Muda Sutan Raja Nata Sastra, ya? Kami sudah menunggu Anda," kata pria itu, menyeringai. Pria itu tampak sangat manusiawi, tapi matanya memancarkan cahaya hijau fosfor yang sama dengan Kunci Akses.
"Saya Direktur Utama Organisasi Peretas Dimensi (OPD). Dan sayalah yang memegang Perjanjian Simbiosis itu. Ratu Anda ada di tangan kami. Dan Permata Jantung Kedaulatan akan segera menjadi milik kami."
Lanjutan Bab 8 (Bagian II) akan menyajikan pertemuan langsung Sutan dengan Direktur OPD dan eksplorasi Wentira yang absurd!