NovelToon NovelToon
Mengasuh Putra Pewaris Sang CEO

Mengasuh Putra Pewaris Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh / Menikah Karena Anak / Ibu susu
Popularitas:639.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.

Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.

“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”

Siapakah baby Kenzo?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33. Pagi Yang Dingin

Pagi masih basah oleh embun ketika Rumi terbangun. Jam di nakas menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh. Ia baru saja membuka mata, menyadari tubuhnya terasa lebih segar dibanding biasanya. Malam tadi ia bisa tidur pulas—mungkin karena baby Kenzo yang tidak rewel sama sekali, hanya sekali terbangun untuk menyusu sebelum kembali terlelap.

Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya perlahan. “Alhamdulillah … setidaknya semalam tidak ada gangguan.” Senyumnya tipis, lalu ia bangkit, melangkah cepat ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Tak lama kemudian, ia sudah berada di dapur. Lampu-lampu gantung menyala terang, memantulkan bayangan ke meja panjang dari marmer putih. Udara masih sejuk, bercampur aroma bawang putih dan mentega yang baru saja ditumisnya.

“Nasi goreng seafood … sepertinya pas untuk pagi ini,” gumam Rumi sambil menambahkan udang kupas, cumi iris, dan potongan kecil wortel ke dalam wajan besar. Suara tumisan yang beradu dengan spatula terdengar ramai di tengah kesunyian pagi.

Para maid yang lain belum terlalu sibuk, hanya sesekali melirik ke arah Rumi. Mereka sudah terbiasa dengan rutinitas barunya, di mana Rumi yang menyiapkan sarapan utama untuk Julian dan Mama Liora.

Setelah bumbu dan nasi menyatu, aroma gurih langsung memenuhi dapur. Rumi menyiapkan dua piring khusus, lengkap dengan taburan irisan daun bawang dan telur mata sapi di atasnya.

“Sudah cukup. Nanti biar sisanya disajikan untuk semua.” Ia menata piring dengan rapi di atas nampan, lalu menyerahkan pada salah satu maid untuk dibawa ke ruang makan.

Sebelum matahari benar-benar terbit, Rumi sudah bergegas ke lantai atas.

***

Kamar utama mansion itu masih temaram. Tirai belum sepenuhnya dibuka, hanya cahaya samar menembus lewat celah. Rumi masuk perlahan, tangannya refleks mengetuk pelan sebelum mendorong pintu.

Julian sudah bangun. Pria itu duduk di salah satu sofa dekat jendela, kaus putih tipis melekat di tubuh tegapnya. Rambutnya sedikit berantakan, namun sorot matanya tetap tajam. Di tangannya ada ponsel yang layar cahayanya menyala terang, sesekali membuat garis tegas di wajah dinginnya.

Rumi sempat terdiam. Pandangan mata mereka beradu sepersekian detik, membuat dadanya berdesir tanpa alasan. Namun ia cepat mengendalikan diri.

“Selamat pagi, Pak,” sapanya datar, sekadar formalitas.

Julian mengangkat wajah, menatap sekilas. “Pagi.” Suaranya rendah, singkat, tanpa intonasi lebih.

Tanpa banyak bicara, Rumi melangkah ke ruang walk-in closet. Ia membuka lemari besar yang berjejer rapi, menyiapkan setelan jas biru tua dengan kemeja putih bersih. Tangan cekatannya mengambil dasi navy polos, lalu meletakkannya di atas meja rias.

“Setelan kerja Bapak sudah siap. Sarapan juga sudah saya siapkan di ruang makan,” ucapnya sambil menoleh sekilas.

Julian hanya mengangguk, bangkit dari sofa, lalu melangkah menuju kamar mandi. Gerakan kakinya panjang dan tenang. Saat melewati Rumi yang hendak keluar, pundak mereka hampir bersentuhan. Rumi menunduk, memberi jalan.

Julian sempat ingin menghentikan langkahnya, ingin mengatakan sesuatu yang menahannya tetap di ruangan itu. Namun, seketika bayangan wajah Tisya—istrinya yang terbaring koma—muncul dalam benak. Ia mengeraskan rahang, lalu meneruskan langkahnya tanpa menoleh lagi.

Rumi keluar dengan helaan napas panjang. Ada rasa lega sekaligus janggal di dadanya.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru lima belas menit ia meninggalkan kamar utama, panggilan datang dari interkom yang berada di kamar baby Kenzo.

“Rumi, ke kamar saya sekarang.” Suara berat Julian terdengar jelas.

Rumi menutup mata sejenak, menahan kesal. “Bukankah semuanya sudah kusiapkan …,” gumamnya, lalu cepat melangkah kembali.

Saat masuk, ia mendapati Julian sudah berdiri di depan cermin besar, mengenakan kemeja putih. Tampak sudah rapi, hanya dasi yang masih tergeletak di meja.

“Kenapa memanggil saya lagi, Pak?” Nada Rumi datar, tapi ada sedikit ketegangan di ujung suaranya.

Julian menoleh, tatapannya menusuk. “Tolong pakaikan dasi.”

Rumi mengangkat alis. “Bapak bisa memakainya sendiri.”

“Saya minta kau yang melakukannya,” jawab Julian singkat, dingin, seolah tak ada ruang untuk bantahan.

Dengan napas berat, Rumi melangkah mendekat. Tangannya mengambil dasi, lalu berdiri tepat di hadapan pria itu. Jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan aroma segar aftershave bercampur sabun yang menempel di kulit Julian.

Tangannya bergerak cekatan melilitkan dasi di leher tegap itu. Namun ekspresi wajahnya tetap masam, seolah ingin cepat menyelesaikan pekerjaan itu.

Julian memperhatikannya diam-diam. Pandangannya jatuh pada bibir Rumi yang mengerucut tipis karena kesal—bibir yang kemarin tanpa sengaja ia kecup. Ada desir aneh yang menyerang dadanya. Tapi wajahnya tetap dingin, tak menunjukkan apa-apa.

“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanyanya pelan, hampir terdengar seperti perintah.

Rumi menoleh singkat, matanya menyipit. “Seperti apa, Pak?”

“Masam.”

“Kalau Bapak tidak suka, saya bisa pergi.” Jemarinya merapikan simpul dasi dengan cepat, lalu mundur setapak.

Julian menahan gerakannya dengan tatapan tajam. Namun ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya merapikan lengan jasnya sendiri, seakan semua baik-baik saja.

Sementara itu, di lantai bawah, suasana tiba-tiba berubah.

Pintu utama terbuka, memperlihatkan kedatangan tiga tamu. Aulia, adik ipar Julian, melangkah masuk dengan gaun pastel sederhana namun elegan. Di sampingnya ada Mama Rissa—mertua Julian—berwajah tegas dan penuh wibawa. Dan menyusul di belakang mereka seorang pria berjas hitam rapi, Heru, pengacara yang ia sewa.

Seorang maid buru-buru mendekat, menunduk sopan. “Selamat pagi, Bu. Silakan masuk.”

Mama Liora baru saja menuruni tangga ketika melihat rombongan itu. Senyumnya tipis, tapi matanya menyimpan ketegangan. “Biarkan mereka menunggu di ruang tamu. Jangan ada yang mengganggu Tuan Julian dulu.”

“Baik, Bu,” jawab maid itu cepat.

Aulia melirik sekeliling, lalu berbisik pada mamanya. “Kenapa suasananya dingin sekali di sini, Mah? Rasanya … tegang.”

Mama Rissa hanya menegakkan bahu. “Kita tunggu Julian. Jangan bicara macam-macam dulu. Dan, ingat ... kamu harus jaga sikap dan mulutmu itu.”

Heru, sang pengacara, sudah menata berkas di tangannya. Wajahnya datar, profesional, namun tatapan matanya penuh perhitungan.

Ruang tamu besar itu seketika terasa berat, seakan udara sendiri enggan bergerak.

 Bersambung ... ✍️

1
Yam Mato
👍👍
ayudya
Terima kasih mom, jd terharu aku nya semangat ya.
Herman Lim
hanya sementara aja Julian bukti kan kma mank pantas buat Rumi hanya kamu yg BS bahagia dia
nyaks 💜
Amin buk...
nyaks 💜
🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️ jdi gedek sama kamu deh Rum....
nyaks 💜
ihhh mendadak bodoh sih ini...
Kusii Yaati
yang sabar Julian Rumi masih syok dan butuh waktu untuk menenangkan hati... semoga Rumi tidak egois bagaimana pun Julian juga korban di sini 🥺
nyaks 💜
iya Kenzo anak kandung kamu... dan kau lupa siapa ayah kandung Kenzo rum...
Kusii Yaati
terimakasih Thor karena sudah berbaik hati meneruskan cerita mu ini sampai nanti cerita ini tamat...semoga Allah memberi author rezeki lewat jalan lain 🙏🤗... semangat mommy Ghina 💪💪💪😘😘😘
Farani Masykur
Memang memberi waktu itu yg terbaik sama2 merenung dn menurunkan ego masing2 kalau jodoh pasti akan menemukan jalannya
hasatsk
biarlah Rumi diberikan kesempatan untuk menata hatinya kembali setelah mendengar semua kebenaran yang membuat dia syok .. Julian bisa mengunjungi Rumi ke rumah orangtuanya sambil perlahan" menjelaskan kebenaran yang belum semua di ketahui Rumi 🤣🤣🤣
Siti Nur Hasanah
seru
Eni Istiarsi
kami aminkan berjamaah,Mama Liora
Sheila Ahmad
kok rumi jadi egois itu jg anaknya Julian, Julian jg korban disini kok merasa paling tersakiti 😑
MunaRizka
Aamiin
Nurul Hilmi
lanjut Thor
Nurul Hilmi
tenang mama liora,, nanti pasti kenzo kangen bapaknya nangis terus
Bunda Aish
ujian kesabaran buat Julian ya.... sabarr karena selama ini Rumi yang selalu bersabar
Ari Yulianti Ziat
aku patah hati mommy kalo sampe mereka pisah😭😭💔
nonoyy
sabar pak julian...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!