NovelToon NovelToon
Sisa-Sisa Peradaban

Sisa-Sisa Peradaban

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Misteri / Zombie / Tamat
Popularitas:397
Nilai: 5
Nama Author: Awanbulan

“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19

Ekspedisi ke Kota Tetangga

> "Ada iblis di dalam dirimu! Dan di dalam gadis ini juga!"

Pada titik itu, musik dan cerita seakan bersatu, membuat suasana benar-benar mengasyikkan. Aku bahkan sempat berpikir, mungkinkah aku juga bisa mengeluarkan aura ular dari lenganku?

Ada keinginan aneh dalam diriku untuk menghancurkan tongkat bambu yang sedang kugenggam.

Film yang kutonton hari ini ternyata diproduksi oleh perusahaan yang sama dengan film animasi tentang pilot yang berubah jadi babi, yang pernah booming beberapa waktu lalu.

Kisahnya tentang seorang protagonis tampan luar dalam, yang melakukan perjalanan bersama seekor rusa demi mencari cara menghilangkan kutukan, dan di perjalanan itu, ia jatuh cinta pada seorang gadis liar.

Aku menonton film ini sebanyak aku menonton film tentang pilot babi itu, dan tetap saja tidak pernah bosan.

Ah, kali ini juga sangat menyenangkan.

Sepertinya seru juga kalau bisa menunggangi serigala.

Mungkin setelah ini aku akan membuat kisah tentang pencarian istana di langit, atau tentang seorang pencuri hebat generasi ketiga.

Hari ini adalah sehari setelah aku “dengan lembut” membantai si pirang bodoh, Budi, beserta teman-temannya.

Kemarin, setibanya di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah merawat tongkat bambuku: membersihkannya dengan teliti, memeriksa detailnya, lalu makan cepat, dan akhirnya tidur nyenyak.

Aku bangun jam 4 pagi, mengisi ulang tenagaku dengan menonton film favorit.

Untuk apa semua ini?

Karena hari ini, aku berangkat menuju kota tetangga untuk mencari Ibu Suryani.

Ini akan menjadi migrasi terbesar sejak krisis zombi dimulai.

Aku harus mengerahkan seluruh kemampuanku.

Sekarang jam 8 pagi.

Aku bersiap, lalu masuk ke dalam truk.

Peralatan? Bagus!

Kunci pintu? Oke!

Penyiraman ladang? Sudah beres!

Tangga lipat sudah kusimpan, hore!

Bensin cadangan? Aman!

Tongkat bambu? Ada!

Parang asli? Siap!

Makanan dan air? Lengkap!

Perjalanan pun bisa dimulai.

Tiga bungkus rokok Gudang garam cadangan darurat standar. Aman.

Sekarang benar-benar tidak ada alasan lagi untuk menunda.

Ayo berangkat!

Ngomong-ngomong, ada satu hal yang sengaja tidak kukatakan pada Yuni:

bahwa tujuan sebenarnya dari perjalanan ini adalah mencari ibunya.

Kalau ternyata Ibu Suryani sudah meninggal… atau hilang tanpa jejak, itu hanya akan melukai hati Yuni. Dalam situasi seperti itu, lebih baik biarkan ibunya tetap berada dalam status “ibu Schrodinger” hidup sekaligus mati, dalam ketidakpastian yang lebih mudah ditanggung daripada kenyataan pahit.

Oh, dan baru saja aku ingat: posko pengungsian sudah penuh sesak.

Yah… kalaupun begitu, tidak apa-apa. Selama mereka dianggap bagian dari keluarga pengungsi, seharusnya masih bisa ditoleransi.

Mungkin… kalau aku menunduk, memohon pada Made dan yang lain, lalu menyerahkan karton rokok itu, mereka akan melunak dan membiarkanku lewat.

Tapi ya sudahlah, hal itu bisa kupikirkan nanti setelah aku berhasil menemukannya.

Truk melaju ke arah timur, mengikuti tepian sungai.

Kota tetangga yang menjadi tujuan kami terletak di hulu.

Di sanalah, tepat di pusat kota, berdiri rumah sakit tempat Ibu Suryani kemungkinan besar berada.

Secara normal, perjalanan hanya memakan waktu sekitar lima puluh menit.

Namun di zaman seperti ini… entahlah. Aku jadi bertanya-tanya, apakah masih bisa sesingkat itu?

Seperti yang sudah kuduga, jalan dipenuhi cukup banyak kendaraan terbengkalai.

Untungnya, tidak sampai sepenuhnya menutup jalur. Truk masih bisa melaju dengan kecepatan rata-rata sekitar empat puluh kilometer per jam.

Aku harus terus menghindari mobil-mobil rusak, zombi yang terserak, juga potongan puing yang bahkan tak ingin kuingat bentuknya. Meski begitu, perjalanan kami berjalan cukup lancar.

Kalau sampai kehabisan bensin di tengah jalan… mungkin ide bagus untuk menyedot cadangan dari mobil-mobil terbengkalai ini, batinku.

Beberapa saat kemudian, kami resmi meninggalkan Banyuwangi dan memasuki wilayah kota tetangga, Jember.

Pemandangannya langsung berubah: hamparan pedesaan yang tenang, nyaris kontras dengan kekacauan yang baru saja kami lewati.

Jumlah kendaraan di jalan juga semakin berkurang.

Hmm, jalannya jadi jauh lebih mudah dilalui.

Sepertinya… aku akan sampai lebih cepat dari perkiraan awal.

“Wah… hijaunya cantik sekali.”

Hamparan ladang terbentang di depan mata.

“Apa itu… kol play?”

Aku menyipitkan mata, memastikan.

“…Kol play???”

Rasanya aneh sekali melihat sesuatu yang begitu biasa, tumbuh dengan tenang di tengah dunia yang sudah jungkir balik.

“Oh, oh, oh! Aku hampir saja mengabaikannya sepenuhnya!”

Begitu menemukan jalan kecil yang menurun ke tepi sungai, aku langsung membelokkan truk dan menyerbu masuk ke ladang itu.

“Keren! Agak terlalu lebat sih… tapi tetap saja, kol play!”

Hamparan hijau itu benar-benar memanjakan mata. Untungnya, pemandangan terbuka, jadi mudah memastikan apakah ada zombi yang berkeliaran.

Hasilnya? Nihil. Tidak ada zombi sama sekali.

Aku langsung memetik lima kol play yang paling dekat.

Tak lupa, kutandai lokasi ini di sistem navigasi mobil siapa tahu nanti butuh mampir lagi.

Aku tidak tahu berapa lama kol play ini bisa bertahan, tapi yang jelas mereka menyimpan sesuatu yang langka dan berharga: vitamin segar.

Setelah itu, aku kembali ke mobil. Mesin dinyalakan, perjalanan dilanjutkan.

Sambil duduk di kursi, aku mengambil salah satu kol play, mengupas beberapa lapis daun luarnya, lalu langsung menggigitnya.

Keras, getir, tapi masih bisa dimakan.

Aku mengunyah terus, menghasilkan suara renyah krek-krek-krek yang entah kenapa terasa menenangkan di tengah dunia yang sudah hancur ini.

“Enak banget! Aku… aku hampir mau nangis!”

Air mata hampir menetes, meski setelah beberapa kunyahan aku sadar, rasanya seperti… tanah.

Seharusnya tadi aku cuci dulu di sungai…

Tapi tak apa. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku makan makanan segar. Rasanya tubuhku ikut bersorak gembira, seolah setiap sel berterima kasih.

Aku memang selalu menyukai kol play. Jadi, bisa makan sepuasnya begini rasanya seperti mimpi kecil yang jadi nyata di tengah neraka dunia.

Sarapan kali ini? Salad kol play darurat, dipadu dengan sarden kering yang kubawa untuk perjalanan. Sederhana, tapi luar biasa.

Baiklah, pikirku, nanti kalau pulang aku akan ambil beberapa lagi. Sayang kalau dibiarkan mati tanpa ada yang merawat. Untung aku menemukannya sekarang.

Siapa tahu… mungkin di suatu tempat masih ada ladang tomat yang selamat juga?

Sepertinya tomat ceri yang kutanam butuh waktu lama untuk matang… pikirku sekilas, sebelum pandanganku tertarik pada sesuatu di depan.

“Rumah sakit… itu, kan?” gumamku.

Aku terus melaju, masih mengunyah kol play sebagai camilan darurat, hingga akhirnya memasuki pusat kota Jember. Sekitar satu setengah jam sejak berangkat, tujuan kami pun sudah di depan mata.

Namun tepat ketika rumah sakit tinggal selangkah lagi… kecelakaan terjadi.

Jalanan benar-benar macet total.

Seluruh jalur penuh sesak oleh mobil-mobil yang terbengkalai, berderet rapat hingga menutup akses sama sekali.

Aku tidak tahu pasti alasannya—apakah karena banyak orang jatuh sakit dan berbondong-bondong ke rumah sakit, atau karena mereka pikir tempat itu adalah lokasi paling aman. Yang jelas, hasilnya sama: jalur menuju rumah sakit terkunci rapat oleh barisan kendaraan yang ditinggalkan.

Dari kejauhan, aku masih bisa melihatnya: bangunan putih menjulang, tampak jelas sebagai rumah sakit tujuan kami.

Hanya saja, untuk mencapainya… sekarang jadi masalah lain.

Aku membuka sistem navigasi mobil, memperkirakan jarak. Ternyata rumah sakit itu hanya berjarak sekitar lima ratus meter lagi. Dekat sekali… tapi sayangnya, tidak ada jalan memutar.

Artinya, tidak ada pilihan lain aku harus melanjutkan dengan berjalan kaki.

Truk ringan kukendarai ke pinggir jalan, lalu kuparkir di bawah naungan sebuah rumah. Aku tidak ingin bensin dalam jeriken portabel menguap di bawah terik matahari. Setidaknya, dengan begini trukku lebih aman ditinggalkan.

Aku menarik napas panjang, lalu meraih perlengkapanku. Parang asli kukenakan di pinggang, sementara tongkat bambu kugenggam erat di tangan kanan.

Langkah pertama terasa berat, tapi setiap detik yang terbuang hanya membuat risiko semakin besar.

Aku pun mulai berjalan, menyusuri jalan yang dipenuhi mobil terbengkalai menuju rumah sakit di depan.

Zombi mulai bermunculan dari bayang-bayang mobil.

Kadang mereka hanya melintas tanpa tujuan, kadang bergerak lamban lalu ambruk begitu saja ke tanah, seolah tubuh mereka sendiri tak sanggup menopang. Dengan hati-hati aku melangkah maju, memastikan tidak menarik perhatian mereka.

Di kanan-kiri jalan, minimarket dan toko serba ada masih berdiri, tapi jelas sudah lama dijarah. Rak-rak kosong, kaca pecah, dan pintu tercongkel tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sana.

Akhirnya, rumah sakit itu mulai terlihat jelas di depan mata. Bangunan putihnya menjulang, dan di halaman terbuka aku bisa melihat deretan kendaraan hijau khas militer terparkir rapi.

Di dekat gerbang utama, beberapa sosok muncul mereka berpakaian kamuflase, masing-masing memanggul senapan panjang dengan laras yang mengintimidasi.

TNI? pikirku.

Apakah rumah sakit ini benar-benar dijadikan posko pengungsian di bawah yurisdiksi mereka?

Tapi… bukankah Made pernah bilang pangkalan mereka sudah hancur?

Kalau begitu, siapa sebenarnya orang-orang bersenjata yang bertahan di sini?

Mungkin karena menyadari kehadiranku, salah satu anggota TNI di pintu masuk tiba-tiba mengangkat senjatanya. Laras panjang itu terarah tepat padaku, membuat langkahku refleks terhenti.

“Berhenti di situ!” teriaknya. “Posko pengungsian ini sudah penuh! Kau tidak bisa masuk!!”

Suasana mendadak kaku.

Aku menghela napas pelan. Wah… rasanya perkembangan ini seperti deja vu.

Aku buru-buru mengangkat tangan sedikit, berusaha menunjukkan kalau aku bukan ancaman.

“Eh, maaf! Aku nggak ada niat untuk menetap di sini!” kataku agak terburu-buru. “Aku cuma… ibu temanku seharusnya ada di sini. Aku hanya mau memastikan dia baik-baik saja!”

Aku buru-buru meletakkan tongkat bambu ke tanah, lalu mengangkat kedua tangan setinggi bahu.

Namun sebelum sempat berkata apa-apa, sadar-sadar aku sudah dikepung lima laras senapan yang semuanya terarah ke tubuhku.

Menakutkan.

Refleks, aku langsung tiarap di aspal.

Tapi justru itu membuat mereka salah tingkah. Dengan nada canggung, salah seorang berkata, “Tidak perlu sampai begitu…”

Aduh. Malu banget.

Sementara aku masih menahan rasa kikuk, terdengar suara dari radio mereka. Beberapa detik kemudian, seorang prajurit keluar dari pintu rumah sakit. Langkahnya mantap, auranya langsung mendominasi.

“Wow…” aku hampir ternganga.

Pria itu macho ototnya menggembung, bahkan bisa menyaingi Made.

Tapi ada perbedaan mencolok.

Jika Made itu seperti beruang besar yang tenang dan hangat, pria ini… matanya tajam, menusuk, seperti serigala liar yang tak pernah jinak.

Aku memperhatikan tinggi badannya. Hmm… jangan-jangan tingginya hampir sama dengan Made juga?

“Halo. Saya Letnan Hanafi, yang bertanggung jawab atas posko pengungsian ini,” katanya, suaranya tenang namun penuh wibawa.

Letnan satu… kalau di militer reguler setara dengan kapten, kan? pikirku dalam hati.

Kalau begitu, dia pasti cukup penting di sini.

Sikapnya sopan, kalimatnya tertata rapi, bahkan sempat memberi kesan formal yang menenangkan.

Namun… matanya sama sekali tidak tersenyum. Justru itulah yang membuatku ngeri.

Aku memberanikan diri memperkenalkan diri.

“Halo, nama saya Bima. Saya tinggal di Banyuwangi. Seperti yang sudah saya katakan kepada bawahan Anda tadi, saya datang ke sini untuk mencari ibu teman saya.”

Hanafi menundukkan pandangan sekilas ke arah pinggang kiriku. Tatapannya menyipit begitu melihat parang yang masih terikat di sana.

“Itu… senjata untuk membela diri. Aku tidak berniat menggunakannya di sini,” jelasku hati-hati.

Hanafi menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk, tampak cukup puas dengan jawabanku.

Tentu saja, sekalipun aku ini pendekar silat legendaris, tidak mungkin aku bisa menghunus parang dalam situasi seperti ini.

Lima laras senapan panjang mengarah padaku—dalam sekejap aku bisa berubah jadi mayat lucu yang penuh lubang seperti keju Swiss.

Hanafi kembali menatapku lurus, suaranya tenang tapi tajam.

“Jadi, mengapa ibu temanmu ada di sini?”

“Saya dengar langsung darinya,” jawabku, berusaha terdengar tenang. “Dia bekerja sebagai perawat di rumah sakit ini. Namanya Mayumi Suryani. Dia punya seorang putri, sekarang kelas dua SMA.”

Hanafi mengangguk pelan. “Begitu ya… nanti akan saya periksa. Untuk sekarang, tunggu di tenda sebelah sana.”

Kemudian ia menoleh ke arah salah seorang prajurit.

“Kartika! Tanyakan pada Bima soal keadaan Banyuwangi.”

“Ha!!” sang prajurit menjawab tegas, berdiri lebih tegap.

Mungkin merasa cukup dengan penjelasanku, Hanafi pun berbalik dan melangkah kembali menuju rumah sakit.

Aku hanya bisa menarik napas panjang. Untuk sementara, sepertinya aku lolos dari lubang jarum.

Prajurit yang bernama Kartika ternyata adalah orang pertama yang menemukanku tadi.

Awalnya aku mengira suaranya bernada agak tinggi, mungkin sekadar kebiasaan bicara. Tapi begitu kulihat lebih jelas… ternyata dia seorang perempuan.

Seorang prajurit wanita dan cantik pula. Ada aura keren yang sulit dijelaskan.

Gerakannya ringan, mantap, seolah tubuhnya terbiasa ditempa disiplin seni bela diri.

Ia berhenti di depanku, lalu memperkenalkan diri dengan suara jernih namun tegas.

“Halo, saya Sersan Kartika. Bima, silakan ikut saya ke sini.”

Aku buru-buru membungkuk sedikit, menjaga sopan santun.

“Oh, ya… terima kasih banyak atas pertimbangannya.”

Kartika menuntunku menuju sebuah tenda di dekat pintu masuk rumah sakit.

Di dalamnya sudah tersedia beberapa kursi lipat. Aku meletakkan ransel, lalu duduk dengan lega.

Mereka tidak menawari minuman dan aku juga tidak ingin merepotkan. Jadi, kurogoh ranselku sendiri dan mengeluarkan botol air. Setelah itu, aku sempat bertanya apakah boleh makan di sini. Mereka mengangguk, tidak keberatan.

Jadi… aku pun mengeluarkan harta karunku: kol play.

Makan siang kali ini sederhana setengah kol play segar dan air putih.

Kartika menatapku dengan mata terbelalak, jelas kaget. Raut wajahnya imut sekali, seperti tidak pernah terbayang sebelumnya ada orang yang dengan santai menyantap kol play mentah begitu saja, di tengah situasi seperti ini.

Sejak tadi Kartika terus saja melirikku. Aku jadi penasaran apa dia juga ingin makan kol play?

…Tidak, mungkin bukan itu. Lebih masuk akal kalau dia sekadar heran melihat ada manusia yang dengan santainya mengunyah kol play mentah seperti camilan.

Beberapa menit kemudian, ia mulai mengajukan pertanyaan. Tentang situasi di Banyuwangi, juga tentang kondisi posko-posko pengungsian lain yang pernah kusinggahi.

Sambil terus mengunyah kol play renyah, aku menjawab apa yang kutahu sejujur-jujurnya.

Setelah gilirannya, aku memutuskan bertanya balik.

“Saya juga punya pertanyaan. Apakah pangkalan Banyuwangi milik TNI… benar-benar hancur?”

Ekspresi Kartika berubah sedikit lebih serius.

“Kami belum sepenuhnya memahami detailnya,” katanya pelan. “Tapi sejauh ini, kami sama sekali tidak bisa menghubungi mereka. Jadi… kemungkinannya besar.”

Aku lalu mencoba menggali hal lain yang sempat terlintas di kepalaku.

“Apakah siaran radio yang menyerukan orang-orang untuk tetap berlindung di rumah… itu disiarkan oleh TNI?”

Kartika menggeleng.

“Tidak. Itu pesan massal dari pemerintah.”

Jawaban itu menimbulkan rasa berat di dadaku, tapi aku menahan diri untuk tidak berkomentar lebih jauh. Sebagai gantinya, aku bertanya lagi tentang hal yang paling menakutkan sejak awal bencana ini: penyebab transformasi zombi.

Kartika menatapku lurus, lalu menjawab dengan nada datar seakan mengutip prosedur yang sudah diulang ratusan kali:

Masa inkubasi berbeda-beda, tergantung orangnya.

Tapi jika seseorang digigit, cepat atau lambat ia pasti akan berubah menjadi zombi.

Tidak pernah ada satu pun kasus orang yang selamat dari gigitan.

Bahkan di posko pengungsian ini, mereka yang digigit segera diisolasi… dan jika gejala mulai muncul, hanya ada satu kemungkinan akhir.

Kata-kata itu membuat kol play di mulutku terasa hambar seketika.

Semua yang dikatakan Kartika sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang pernah Made sampaikan padaku.

Setidaknya informasinya jelas, tidak membingungkan, dan mudah kupahami.

Namun ada hal lain yang mengganggu pikiranku.

Sama seperti polisi, TNI ternyata juga tidak bisa berkomunikasi dengan semua departemen. Mereka hanya bertindak berdasarkan keputusan di lapangan.

Apakah sistem pemerintahan masih berjalan baik?

Pertanyaan itu terlintas begitu saja. Tapi jauh di lubuk hati, aku tahu jawabannya. Bagian atas sudah hancur. Jika terus begini… aku hanya bisa berharap semuanya tidak berakhir semakin buruk.

Tepat saat pikiranku mulai suram, suara gaduh terdengar dari luar tenda.

Aku refleks menoleh.

Apa itu…?

Jangan-jangan… Ibu Suryani sudah datang?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!