Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Elara Mulai goyah
Dua hari setelah jamuan besar, suasana istana tampak tenang di permukaan.
Namun bagi mereka yang paham alur kekuasaan, ketenangan itu seperti laut sebelum badai.
Elara duduk di ruang kerjanya, menatap gulungan laporan dari para pengawal istana.
Beberapa isi surat itu membuat alisnya terangkat rumor mulai beredar.
“Permaisuri menggunakan cara licik untuk menarik simpati Kaisar.”
“Selir Valen kembali hanya untuk menemukan tempatnya dirampas secara tidak adil.”
Semua kalimat itu ditulis dengan tinta halus dan tanda tangan palsu.
Tapi Elara tahu tangan siapa yang bekerja di baliknya.
Valen tidak menyerang dengan pedang ia menyerang dengan kata-kata.
Kaen muncul membawa secangkir teh hangat.
“Rumor ini menyebar dari dapur ke aula dalam satu malam. Cepat sekali.”
Elara meneguk teh itu perlahan.
“Karena dia tahu, reputasi bisa membunuh lebih tajam dari racun.”
“Kau mau aku selidiki siapa yang menyebarkannya?”
“Tidak perlu,” jawab Elara datar. “Aku tahu siapa. Aku hanya ingin tahu kapan dia akan berhenti bersembunyi.”
Kaen menatap wajah Elara yang tenang tapi matanya penuh badai.
“Dia takkan berhenti. Kau menjatuhkannya di depan Kaisar, Elara. Harga diri wanita seperti dia… lebih mahal dari mahkota.”
“Kalau begitu,” Elara menaruh cangkirnya perlahan, “kita buat dia membayar dengan mahkotanya.”
Sementara itu, di paviliun timur, Selir Valen duduk di depan cermin besar, rambutnya disisir oleh pelayan.
Ia tersenyum samar saat mendengar laporan dari pengintainya.
“Rumor sudah menyebar di pasar, Nyonya. Banyak yang mulai meragukan Permaisuri.”
“Bagus,” jawab Valen lembut. “Biarkan rakyat memuja Kaisar, tapi meragukan wanitanya. Kalau pondasinya retak, seluruh istana akan goyah.”
Ia mengambil selembar surat dan menyelipkannya ke dalam lengan jubah.
“Kirimkan ini ke Dewan Agung. Katakan… aku hanya ingin menyelamatkan martabat istana.”
Pelayan itu membungkuk dan pergi cepat.
Valen menatap pantulan dirinya senyum penuh keyakinan muncul di bibirnya.
“Kau mungkin menang di depan banyak orang, Elara. Tapi aku akan menang di mata sejarah.”
Keesokan paginya, Elara dipanggil menghadiri rapat Dewan Agung.
Ruangan besar itu dipenuhi pejabat tinggi dan bangsawan.
Kaisar Kaelith sudah duduk di singgasananya, wajahnya tampak tegang.
Ketika Elara masuk, semua mata menatapnya
bukan dengan hormat, tapi dengan tatapan yang menilai.
“Permaisuri Elara,” suara salah satu penasihat terdengar, “ada laporan bahwa Anda telah menyalahgunakan otoritas untuk memeriksa urusan pribadi beberapa pejabat tinggi. Apakah itu benar?”
Elara menatapnya dengan tenang.
“Kalau yang Anda maksud adalah penggelapan pajak dan manipulasi surat izin perdagangan, ya, itu benar. Tapi bukan penyalahgunaan. Itu tanggung jawab.”
Beberapa orang berbisik.
Valen duduk di antara barisan selir yang diizinkan hadir, wajahnya tampak polos,tapi Elara melihat sekilas bagaimana ujung bibir wanita itu sedikit terangkat.
“Dan apakah benar,” lanjut penasihat itu, “Anda telah menolak beberapa hadiah resmi dari keluarga bangsawan sebagai bentuk penghinaan?”
“Kalau hadiah itu berupa emas hasil korupsi, maka ya.”
Kaisar Kaelith memejamkan mata sebentar.
Ia tahu ini bukan sekadar sidang. Ini jebakan.
Namun Elara tidak bergeming.
Ia berdiri, mengambil gulungan surat dari Kaen yang menunggu di belakang.
“Sebelum Dewan menilai, sebaiknya melihat isi laporan ini.”
Ia membentangkan kertas berisi catatan tangan Lord Renard,transaksi rahasia yang menyebut nama Selir Valen di dalamnya.
“Ini bukti bahwa keluarga Renard menyuap beberapa pejabat untuk menutup jalur perdagangan ilegal… atas perintah seseorang dari istana.”
Ruangan langsung bergemuruh.
Valen menegang, tapi cepat menutupi dengan senyum kecil.
“Kau berani menuduh aku?” katanya pelan, dengan nada hampir bergetar.
Elara menatapnya datar.
“Tidak menuduh. Hanya menunjukkan fakta.”
Kaelith membuka mata perlahan, lalu bersuara pelan tapi tegas:
“Cukup.”
Suara itu menghentikan semua bisik-bisik.
“Suruh Kepala Istana memeriksa semua transaksi keluarga Renard dan hubungan mereka dengan siapa pun di dalam istana.”
Tatapan Kaisar beralih ke Valen.
Sekilas, hanya sesaat
ada kekecewaan di sana.
Valen menunduk dalam-dalam.
Elara tetap berdiri tegak, tanpa senyum, tanpa kebanggaan.
Ia tahu ini bukan kemenangan.
Ini hanya langkah pertama dari perang panjang yang akan datang.
Malamnya, Elara kembali ke kediamannya.
Kaen menunggu di depan pintu, wajahnya serius.
“Kau tahu dia tidak akan diam, kan?”
“Tentu,” jawab Elara. “Tapi kali ini dia tidak hanya melawan Permaisuri. Dia melawan Kaisar yang mulai sadar siapa di sisinya yang benar.”
Kaen menatapnya dalam-dalam.
“Dan siapa di sisinya yang benar, Elara?”
Elara diam sejenak.
Lalu menjawab pelan, nyaris seperti bisikan:
“Bukan yang dicintai, Kaen. Tapi yang dibutuhkan.”
Di kejauhan, di paviliun timur, Valen berdiri di depan jendela, menatap istana utama.
Air mata mengalir pelan di pipinya bukan karena sedih, tapi marah.
“Kalau kau pikir aku akan menyerah, Elara… kau tidak tahu siapa aku sebenarnya.”
Dan di menara tertinggi, Kaelith berdiri sendirian, menatap ke arah yang sama.
Dua wanita. Dua dunia.
Dan dirinya di tengah badai yang ia ciptakan sendiri.
Hujan turun deras malam itu.
Langit istana gelap, hanya sesekali disinari kilatan petir yang memantul di atap emas paviliun utama.
Elara berdiri di balkon kamarnya, membiarkan angin malam membelai wajahnya.
Gaun sutranya menempel di kulit karena embun, tapi ia tak peduli.
Pikirannya berputar pada sidang siang tadi pada tatapan Kaisar yang tajam namun… tidak sama seperti biasanya.
“Dia menatapku seperti sedang melihat orang asing,” gumamnya pelan.
Kaen, yang berdiri di belakangnya sambil menutup tirai, melirik sekilas.
“Mungkin karena kau memang bukan Elara yang dulu.”
Elara menatap langit.
“Dan mungkin karena dia bukan Kaisar yang dulu juga.”
Di menara utama, Kaisar Kaelith duduk sendiri.
Lilin-lilin di sekelilingnya padam satu per satu, menyisakan cahaya temaram.
Di hadapannya ada segulung surat dari Dewan Agung laporan resmi tentang transaksi keluarga Renard dan keterlibatan Selir Valen.
Tangannya mengepal, namun bukan karena marah.
Ada sesuatu yang lain sesuatu yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang wanita di istananya.
Elara.
Wanita yang dulu hanya tunduk dan diam.
Sekarang berdiri di hadapannya, melawan semua tanpa gentar.
“Bagaimana dia bisa berubah sejauh itu?”
“Dan kenapa aku… tidak bisa berhenti memikirkannya?”
Suara langkah kaki terdengar. Pengawal masuk dan menunduk.
“Yang Mulia, Permaisuri mengirim laporan keuangan tahunan yang diminta.”
Kaelith mengangguk pelan.
“Letakkan di atas meja.”
Ketika pengawal itu pergi, ia membuka gulungan itu.
Tulisan tangan Elara rapi, tegas, tapi ada catatan kecil di ujung halaman:
“Saya tidak mencari kepercayaan Anda, Yang Mulia. Saya hanya memastikan istana tidak runtuh karena kebodohan orang-orang yang memujamu tanpa berpikir.”
Kaelith menatap tulisan itu lama.
Lalu tanpa sadar ia tersenyum kecil.
“Kau berani sekali, Elara…”
Keesokan harinya, Elara berjalan menuju taman kerajaan.
Bunga sakura bermekaran, dan udara lembut mengisi ruang.
Ia sedang menatap kolam kecil ketika langkah berat terdengar di belakangnya.
Suara itu familiar.
“Permaisuri.”
Elara berbalik pelan.
Kaisar berdiri beberapa langkah darinya, mengenakan pakaian santai berwarna hitam gelap, mata tajamnya menatap lurus.
“Yang Mulia.”
Ada jeda aneh di antara mereka.
Bukan canggung, tapi berat seolah udara di antara mereka dipenuhi hal yang tak terucap.
“Sidang kemarin…” Kaelith memulai, “kau melangkah terlalu jauh.”
“Jika yang Anda maksud adalah menyelamatkan nama istana, maka ya, saya melangkah sejauh yang dibutuhkan.”
Ia menatapnya, tapi Elara tidak menunduk seperti biasanya.
Tatapan mereka bertemu. Tegas. Jelas.
Kaelith mendekat selangkah.
“Kau sadar, dengan mempermalukan Valen, kau membuat separuh pejabat tinggi menaruh dendam padamu?”
“Kalau mereka lebih setia pada Valen daripada pada Kaisar, mereka bukan pejabat. Mereka penyakit.”
Jawaban itu membuat Kaelith terdiam sesaat.
Kemudian, sesuatu yang tak biasa muncul di wajahnya tawa kecil, samar, namun nyata.
“Kau bicara seolah istana ini milikmu.”
“Bukankah aku permaisuri?” jawab Elara tenang, tapi bibirnya sedikit melengkung.
Kaisar menatapnya lama.
Ada sesuatu dalam caranya berdiri ketenangan, kekuatan, dan sedikit keangkuhan yang tak bisa ia abaikan.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah.
“Kau tahu… dulu aku tidak pernah menganggapmu menarik.”
Elara tidak terkejut.
“Aku tahu.”
“Tapi sekarang,” Kaelith melanjutkan, suaranya pelan tapi dalam,
“aku mulai merasa… sulit untuk tidak memperhatikanmu.”
Udara di sekitar mereka terasa membeku sesaat.
Jantung Elara berdetak cepat bukan karena kata-katanya, tapi karena tatapan mata pria itu yang menembus segala pertahanan.
Namun ia tak mau menunjukkan kelemahan.
“Kalimat itu biasanya diucapkan pria yang mulai takut kehilangan kendali.”
Kaelith tersenyum samar.
“Mungkin aku memang mulai kehilangan kendali.”
Ia berbalik perlahan, meninggalkan taman tanpa menoleh lagi.
Elara berdiri di tempatnya, napasnya tertahan.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan degup dadanya.
“Jangan bodoh, Aira… ini hanya permainan,” gumamnya lirih.
“Hanya permainan…”
Tapi untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke dunia ini,
ia mulai takut bukan pada kematian,
melainkan pada kemungkinan jatuh cinta pada pria yang seharusnya ia permainkan.