Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kopi pahit, kelapa muda, dan kehormatan yang terukir di dada
Malam sunyi di hutan Kalimantan dilahap oleh suara sepatu boot yang menginjak tanah basah dan desahan napas lelah. Tim tempur Grup 1 Kopassus, yang dipimpin oleh Kapten Joko, telah menuntaskan misi pembebasan sandera. Mereka kini bergerak menuju titik penjemputan, melintasi semak belukar dan rumput tinggi, mempertahankan kewaspadaan yang tinggi meskipun misi utama telah selesai.
Wajah-wajah mereka, yang semula dicoreti cat hitam dan hijau sebagai penyamaran, kini tampak semakin gelap oleh keringat dan kelelahan. Di balik topeng kamuflase itu, terpantul dua beban berat yang membuat langkah mereka terasa semakin berat.
Letda Kalea Aswangga berjalan paling depan di salah satu formasi. Ia tidak memegang senjatanya dengan siap, melainkan menggunakan tangan kirinya untuk memapah Serma Parto. Sersan senior itu tampak menahan sakit yang luar biasa akibat tembakan yang menembus sisi badannya. Parto sesekali menggertakkan gigi, tetapi ia menolak untuk bersuara.
Di sisi kiri Kalea, Lettu Satria berjalan terseok-seok, ditopang oleh seorang prajurit lain. Satria terlihat semakin lemas. Perut kirinya dibalut perban yang sudah mulai merembes darah.
Saat mereka beristirahat sebentar di bawah naungan pohon rimbun sebelum fajar menyingsing, Kalea ingat betul momen ketika dia mengambil keputusan. Peluru yang mengenai Satria untungnya tidak merusak organ vital, tetapi peluru harus dikeluarkan secepatnya untuk menghindari infeksi. Tanpa ragu, Kalea menggunakan pisau komando yang sudah disterilkan dengan api. Satria menahan jeritan, hanya wajahnya yang menampakkan penderitaan yang tak terkira, bercampur dengan kebanggaan pada junior perempuannya yang berani dan cekatan.
“Bertahanlah, sersan. Sebentar lagi kita sampai,” bisik Kalea pelan kepada Parto, membelah semak belukar yang mampu menyembunyikan mereka dari pandangan musuh potensial.
Parto hanya mengangguk lemah. “Lanjutkan, komandan. Jangan pedulikan saya. Saya masih kuat.”
Akhirnya, mereka tiba di Titik Penjemputan. Asap tebal dari suar yang mereka nyalakan segera mengundang helikopter militer yang sudah menunggu di udara.
Prosedur evakuasi berjalan cepat dan profesional. Para sandera yang dibebaskan, Kapten Joko, dan anggota tim lainnya segera masuk ke lambung helikopter. Serma Parto dan Satria menjadi prioritas utama. Kalea dengan hati-hati membantu Parto dan Satria masuk.
Di dalam helikopter, Parto duduk menyandar ke kanan, sedangkan Satria menyandar ke kiri. Kalea duduk di tengah, di antara dua prajurit yang terluka.
Selama perjalanan udara yang bising, Kapten Joko sibuk berkomunikasi dengan base command. Kalea memperhatikan Serma Parto di samping kanannya. Parto menyandar di bahunya, matanya terpejam. Kalea meraih pergelangan tangan Parto untuk mengecek denyut nadinya.
Sekejap, keterkejutan menusuk Kalea hingga ke ulu hati. Tidak ada denyutan.
Kalea menatap wajah Parto yang tertutup cat kamuflase. Ia menahan napasnya, mencoba memastikan. Ia kembali meraih nadi di leher. Benar. Serma Parto tidak lagi bernapas.
Kalea mengangkat pandangannya, matanya yang sudah berkaca-kaca menatap Kapten Joko yang duduk di depannya. Tatapan Kalea adalah laporan tanpa kata, Gugur.
Kapten Joko menghentikan komunikasinya. Ia menatap Kalea. Hanya dengan satu tatapan, Kapten Joko mengerti. Ia mengangguk pelan, sebuah isyarat kepedihan yang tersembunyi. Semua anggota tim lain yang duduk di dalam helikopter juga memahami apa yang baru saja terjadi.
Mereka menunduk, menahan luka di atas udara. Air mata duka harus ditahan, karena di atas helikopter, tidak ada ruang untuk kelemahan.
Kalea membenarkan posisi jenazah Serma Parto yang menyandar di bahu kanannya. Ia membiarkan Parto beristirahat. Di bahu kirinya, Satria juga ikut menyandar, semakin lemas.
Kalea melihat kedua prajurit itu, satu gugur, satu sekarat. Air mata Kalea yang perlahan jatuh, tersamarkan oleh coretan cat hitam di wajahnya.
Kenangan bersama Serma Parto mulai berkelibat di pikirannya, seolah proyektor memutar film pendek.
Ia ingat saat pertama kali ia sampai di Grup 1, bingung dan kikuk. Serma Parto-lah yang membawanya dan mengenalkan semua hal di kesatuan itu. “Jangan kaget, komandan. Di sini kita kerja keras, tapi hati harus senang,” ujar Parto.
Ia ingat saat ia inspeksi mendadak dan senjata Serma parto tercium aroma oli motor, dan Serma Parto memelas meminta dimaafkan hari itu. Uluran tangan Serma Parto dari lumpur saat ia jatuh kelumpur hari itu, kopi pahit yang selalu dibawa serma Parto untuk mengusir kantuk mereka setelah patroli panjang. Humor Serma Parto yang selalu membuatnya tertawa di tengah tekanan tugas, kini semuanya terasa lebih menyesakkan.
Kalea menggenggam tangan Serma Parto. Tangan itu sudah dingin.
Lalu Kalea menoleh ke Satria di sisi kirinya, berharap ia tidak menyusul sersan senior di kanannya.
Ia ingat dulu, saat kakinya terkilir parah saat latihan navigasi darat di Akmil. Laki-laki itu, Satria, datang membawa obat dan mengobati kakinya yang membengkak. Tanpa penawaran, tanpa berbicara apa-apa, ia langsung melakukannya.
Ia ingat semua hal kecil tentang Satria, ketupat di malam hari raya yang sengaja ia bawakan, kelapa muda yang sengaja ia bawa saat pulang latihan, coklat berdalih kelebihan beli di toko, sarapan pagi yang kadang dibayarkan Satria, wedang uwuh saat ia demam, dan terakhir, cat wajah sebelum berangkat kemarin.
Kalea menggenggam tangan Satria. Tangan itu masih hangat, namun juga terasa sedikit dingin. Ia memejamkan matanya, melepaskan napas panjang yang sarat luka.
Kapten Joko, yang sudah menyelesaikan komunikasi, pindah ke samping Kalea. Ia tahu Kalea sangat merasa kehilangan. Kapten Joko mengambil alih tubuh Serma Parto dari bahu Kalea, membaringkannya dengan hati-hati. Ia membenarkan posisi jenazah serma Parto, membiarkan prajuritnya itu nyaman hingga tiba di rumah, walau sudah tak bernyawa. Kapten Joko sendiri sangat terpukul, tetapi ia tahu ia tidak bisa ikut lemah. Siapa yang akan menguatkan prajuritnya yang tengah dalam keadaan berduka saat ini?
Setelah menyaksikan pemakaman militer Serma Parto yang penuh kehormatan, Kalea datang mengunjungi Satria di rumah sakit militer. Ia masih mengenakan seragam hijau lapangannya.
Kalea duduk di sisi Satria. Pemuda itu tampak memandangnya dengan tatapan kehilangan yang sama. Satria sudah sadar, tetapi masih lemah.
Kalea duduk dengan wajah menunduk. Tidak lama, tubuhnya bergetar. Kali ini, ia menangis saat masih berpakaian dinas, membiarkan semua beban emosi itu keluar setelah ditahan habis habisan.
Satria mengangkat tangannya yang masih terpasang infus dan meletakkannya di kepala Kalea.
“Lea...” Suara Satria serak, tetapi jelas. “Inilah Medan tugas yang sesungguhnya.”
Kalea hanya bisa menangis dalam diam.
“Mungkin kemarin dia masih bercanda sama kamu dan memberikan sepotong kue yang enak rasanya sama kamu. Dan hari ini, kamu mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya. Terasa tidak adil, tetapi itulah hidup seorang prajurit, Lea,” ujar Satria perlahan.
Kalea mengangkat wajahnya yang basah, menatap Satria.
“Kamu ingat dulu, Lea, kenapa setiap kali kamu cedera aku lebih dulu membantumu?” tanya Satria. Kalea menggeleng pelan.
Satria menarik napas. “Itu bukan karena aku paling mampu, atau paling dekat. Hanya saja... aku juga pernah kehilangan. Saat di tingkat satu dulu, teman sekamarku namanya Yoseph. Dia seorang taruna dari Papua. Kami sangat dekat, mulai dari aku yang terpaksa masuk Akmil, hingga akhirnya aku menikmati setiap momenku di Akmil, itu semua karena dia.”
Mata Satria menerawang. “Tapi suatu hari, ia terperosok saat latihan navigasi darat. Aku tidak bisa menangkapnya. Tidak ada yang bisa ia raih untuk pegangan. Ia meluncur bebas ke bawah dan ditemukan sudah gugur, tertusuk patahan akar kayu yang menancap tepat di dadanya.”
“Saat itu aku hampir gila, Lea. Aku menyalahkan diriku yang gagal melindungi rekanku. Hingga di tingkat tiga... aku melihat Yoseph hidup lagi, tetapi di raga seorang Taruni. Aku melihat dia dimatamu,” ujar Satria, matanya menatap Kalea dengan kejujuran yang pedih.
Kalea terdiam. Ia memahami mengapa Satria selalu ada.
“Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi, Lea. Jadi, aku akan melindungi semua rekan-rekanku sebaik mungkin, walaupun terkadang aku harus gugur,” lanjut Satria.
“Begitu pun dengan Serma Parto, Lea. Kamu bukan hanya sekadar komandannya, tetapi juga rekannya. Bahkan kamu mampu menjadi sahabat seorang Kopassus terseram di seluruh kesatuan. Hal itu lah yang membuat Serma Parto malam itu mengantikanmu untuk menahan amunisi tajam itu, Lea.”
Satria tersenyum tipis, matanya dipenuhi rasa bangga. “Kamu tidak perlu larut dalam duka ini, Lea. Kamu hanya perlu membuat gugurnya Serma Parto menjadi api pemicu untuk semangatmu, Lea.”
“Kita ini prajurit, Lea. Hidup dan mati kita tidak ada lagi artinya. Yang ada hanyalah kehormatan dalam menjalankan tugas,” tutup Satria, kelelahan kembali menyelimutinya.
Kalea meraih tangan Satria, menggenggamnya erat. Ia tahu, di balik seragam dan kehormatan, ada luka yang tak tersembuhkan. Ia menyeka air matanya. Kali ini, air matanya bukan karena cinta yang ditolak, melainkan karena harga mahal dari sebuah kehormatan.
Kalea mengangguk. “Siap, Bang. Perintah diterima.” Ia berdiri tegak, membiarkan Satria beristirahat, kembali mengaktifkan mode Komando yang kini diisi oleh api semangat baru yang diwariskan oleh Parto dan Satria.