Celine si anak yang tampak selalu ceria dan selalu tersenyum pada orang-orang di sekelilingnya, siapa sangka akan menyimpan banyak luka?
apakah dia akan dicintai selayaknya dia mencintai orang lain? atau dia hanya terus sendirian di sana?
selalu di salahkan atas kematian ibunya oleh ayahnya sendiri, membuat hatinya perlahan berubah dan tak bisa menatap orang sekitarnya dengan sama lagi.
ikuti cerita nya yuk, supaya tahu kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon *𝕱𝖚𝖒𝖎𝖐𝖔 𝕾𝖔𝖗𝖆*, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit...
Keesokan paginya
Gadis kecil itu masih belum bangun meskipun waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
Sementara di bawah sana mereka semua sibuk melakukan kegiatan paginya. Dan yang menyadari ada yang salah pagi itu adalah Michael.
Michael yang biasanya hanya acuh tak acuh kali ini memperhatikan kursi dimana Celine sering duduk, dia berpikir ke mana anak itu dan kenapa belum turun juga.
Tak lama Damian berdiri, meninggalkan piring bekas makanan nya, tanda sudah selesai makan.
Michael melirik papa nya itu, tak ada apapun yang tersirat di matanya. Tak sedikitpun mencari putrinya yang merupakan anak kandungnya.
"Selalu" ucapnya dalam hati ketika melihat papa nya yang lebih tidak peduli pada anak perempuan itu.
Langkah kaki Damian berbunyi saat dia hendak keluar rumah, hanya memperhatikan ponselnya. Dan Anastasya menyusulnya dari belakang.
Michael menghela nafas ringan dan mengambil gelas airnya, menenggak nya perlahan sebelum akhirnya dia pun meninggalkan meja makan.
Dia meninggalkan dapur, dan saat sampai di ruang tengah, dia melirik ke atas sejenak. Berharap gadis kecil itu muncul di detik-detik terakhir sebelum dia akhirnya benar-benar pergi sama seperti kemarin.
Tapi, mau seberapa lama pun dia menunggu dia tak akan melihatnya kali ini. Dia pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah setelah mengambil tas nya yang terletak di sofa.
Menghidupkan mesin mobilnya dan bergerak meninggalkan halaman rumah, masuk ke jalanan luas yang ramai.
Pagi itu tak seperti biasanya. Bibi Erina yang biasa menyiapkan sarapan hari ini tak masuk kerja. Tak tahu dia kemana dan yang tahu hanya ketiga orang dirumah itu.
Dan yang memasakkan sarapan adalah Valora, yang dimana sudah jelas dia hanya akan masak untuk mereka bertiga dan membiarkan anak kecil itu, Celine membuat makanannya sendiri.
Sementara gadis kecil itu terus berada di kamarnya, tak kunjung bangun bahkan setelah satu jam menunggu.
...*****...
"Halo, apa benar ini orang tua dari Celine vara?" ucap seorang wanita di telepon.
"Iya, benar ini papa nya Celine." balas Damian
"Begini sebelumnya pak, hari ini Celine tidak masuk ke sekolah seperti biasanya. Ada apa ya kalau boleh tahu? Karena sangat disayangkan kalau tidak masuk sekolah hanya karena sedang malas pak." jelas bu guru Celine.
Damian terdiam di kursinya, memegang ponsel itu dengan erat. Sesaat dia melihat jam dinding di ruang kerja kantornya, jam 10 pagi.
"Baiklah Bu guru, saya akan lihat ke rumah dan akan memberitahukan anda lagi keadaan nya." dia dengan buru-buru mengambil kunci mobilnya.
Segera keluar dari ruang kerja nya dan mencari lift untuk mencapai lantai bawah. Sedikit rasa khawatir terbesit di pikiran nya.
Saat sudah di lantai dasar, Damian cepat-cepat menuju ke parkiran. Mencari mobilnya dan langsung masuk sebelum akhirnya mengeluarkan mobil itu dari sana.
Dengan kecepatan yang tinggi dia melesat di jalanan kota, tak seperti biasanya. kalau dilihat dari wajahnya sekarang, dia bukan hanya khawatir tapi sedikit kesal karena harus mengurus anak itu lagi.
Sampai sekitar lima belas menit menuju ke rumah, dia akhirnya sampai di halaman rumahnya. Tak ada yang berjaga meskipun rumah itu cukup besar, tak ada penjagaan hanya mereka yang ada dirumah.
Dengan terburu-buru Damian membuka pintu, melangkahkan kakinya dengan cepat masuk dan langsung menaiki tangga untuk menuju kamar anak itu sebelum akhirnya dia dikejutkan dengan suara piring pecah di dapur.
Dia berhenti, melirik ke arah dapur yang terletak di sebelah kiri dari rumah itu. "Valora?" panggilnya mencoba memastikan itu istrinya.
Tapi tak ada jawaban. hanya keheningan yang bergema di sana. Dia pun akhirnya kembali turun untuk memastikan apa yang ada di dapur, takut ada seseorang yang masuk ke dalam rumah nya.
Setelah berada di dapur, betapa terkejutnya dia melihat sosok yang dia khawatirkan sejak tadi. Celine berada di sana sedang membersihkan pecahan piring, dan pakaiannya bukan pakaian sekolah melainkan pakaian rumahan.
Dengan tatapan tajam Damian menatapnya, tapi anak itu tak memperhatikan dan hanya sibuk memungut sisa kaca di lantai.
Damian pun berjalan perlahan mendekat ke arahnya. "Jadi...apa yang kau lakukan di sini?" suaranya tegas dan dalam, tak ada tanda-tanda kelembutan.
Celine yang terkejut mendengar suara papa nya itu pun mendongak ke atas untuk melihatnya. "Papa...Celine sedang bersihkan sisa kacanya." ucapnya pelan bahkan terdengar seperti bisikan.
"Bukan itu maksudku!" nada nya meninggi, dia menghela nafas mencoba menahan amarahnya. "Yang ku tanyakan, kenapa kau tidak masuk sekolah! Kau ini bodoh atau bagaimana?!" dia berteriak pada Celine yang membuat Celine terkejut.
"Maaf papa, Celine...Celine tidak masuk dulu, ya?" suaranya terdengar lebih pelan dari sebelumnya, rasa takut bercampur dengan...rasa sakit.
"Kenapa tidak? Kau punya alasan untuk tidak masuk sekolah, ha? Coba katakan" nadanya terdengar lebih rendah meskipun dia masih tampak marah pada gadis itu.
"Celine sakit pa.." dia pun berdiri, meninggalkan sisa beling di lantai yang belum siap dia bersihkan, tanpa alas kaki.
Pandangan Damian pun tertuju pada telur dadar yang ada di samping kompor, lalu dia menatap anak itu lagi. Menyesalkan mengapa dia tak menyisakan sarapan tadi pagi untuknya.
Bahunya yang tadi tegang tampak lebih merosot, matanya yang menangkap ketakutan dari anak itu membuatnya merasa sedikit...sakit(?).
"Jadi, apa yang kau lakukan di dapur sampai kau memecahkan piring? Kenapa tidak panggil Valora?" dia bersandar di meja makan, menunggu penjelasan dari gadis itu.
"Itu...Celine sudah panggil mama Valora, tapi tidak ada jawaban. Celine juga sudah mencarinya di kamar lain tapi tidak jumpa" dia menatap Damian dengan tatapan polos yang menunjukkan rasa takut.
Dia berdiri di sana, tak bergerak sedikitpun. Dia hanya menunggu agar pria itu pergi dari sana agar dia bisa kembali melanjutkan pekerjaan nya.
Damian mengusap wajahnya dengan tangan, tak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya.
"Jadi kau lapar, ya?" suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya, meskipun itu tak benar-benar tulus.
Celine hanya mengangguk pelan di depannya, matanya masih menunjukkan rasa takut pada papa nya itu.
"Ya sudah, aku belikan makanan di luar dan kamu tunggu aku di sini." belum lagi Celine menjawab dia sudah melangkahkan kaki nya keluar dari rumah.
Celine hanya memperhatikan kepergiannya dari jauh. Dia pun melanjutkan membersihkan sisa beling di lantai. Dengan hati-hati agar tak melukai kakinya maupun tangannya.
Beberapa saat kemudian
Damian akhirnya kembali dengan membawa makanan, dia pergi ke dapur untuk melihat gadis kecil itu lagi. Dia berhenti di ambang pintu memperhatikan, hanya diam beberapa saat.
Pemandangan di depannya membuat nya kaku. Anak kecil itu duduk di meja makan, menyantap makanan nya yang hanya berupa telur dadar dan nasi.
Damian pun melangkah masuk ke dapur dan meletakkan makanan yang dia beli sebelum nya diatas meja.
"Kamu tidak mendengarkan aku tadi? aku kan sudah katakan akan pergi membeli makanan" ucapnya pelan tapi sedikit tajam.
Dia melirik Damian dengan tatapan takut. "Celine sudah lapar pa, jadi Celine makan ini saja." ucapnya menjelaskan. Bahkan untuk menelan nasi nya sekarang pun dia tak bisa karena melihat tatapan Damian yang tajam.