Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. List Kerjaan Rumi
Julian berdiri, menatap pakaian itu sejenak, lalu matanya kembali mengarah ke Rumi. “Mulai hari ini, ada beberapa hal yang harus kamu lakukan.”
Rumi menggenggam jemari tangannya sendiri di depan perut, berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar. “Apa saja, Pak?”
“Pertama, urus kebutuhan Kenzo. Jangan biarkan orang lain yang menyentuhnya terlalu sering, kecuali mama saya dan Nia. Kedua, setiap pagi kamu harus memastikan sarapan siap di meja makan, meski yang mengurus maid, saya ingin kamu yang memastikan semuanya sesuai. Ketiga, jika ada makanan atau minuman untukmu, periksa dulu ke Nia. Tidak boleh sembarangan menerima apa pun. Dan terakhir ….” Ia berhenti sejenak, tatapannya menusuk, “jangan coba-coba keluar mansion tanpa seizin saya. Mengerti?”
Rumi mengangguk pelan, meski terasa seperti sedang menerima daftar aturan penjara. “Saya mengerti, Pak.”
“Bagus.” Julian kemudian mengambil kemeja putih, mengenakannya begitu saja tanpa rasa canggung. Rumi buru-buru membuang pandangan, pipinya panas.
“Astagfirullah, apa dia lupa jika aku ini orang lain, bukan istrinya! Bisa-bisanya pakai baju di depanku.”
Julian melirik sekilas, lalu berkata dingin, “Kamu tidak perlu bersikap seperti anak kecil yang mudah salah tingkah. Saya tidak akan makanmu.”
Rumi terdiam, semakin salah tingkah karena ucapan itu justru membuatnya makin sadar betapa dekat ia dengan sosok pria ini.
Setelah selesai mengenakan pakaian, Julian berdiri di depan cermin besar, merapikan kerahnya. “Ambilkan dasi biru tua.”
Rumi buru-buru mengambil dari kasur lalu menyerahkan. Jemarinya tanpa sengaja bersentuhan dengan tangannya, membuatnya refleks menarik kembali. Julian menoleh singkat, alisnya terangkat. “Gugup sekali?”
“Tidak, Pak,” jawab Rumi cepat.
“Kalau begitu, pasangkan.”
Rumi terbelalak. “M—memasang dasi?”
Julian mendekat, berdiri tepat di depannya. “Ya. Atau kamu tidak bisa?”
Rumi menarik napas panjang, mencoba mengingat bagaimana cara memasang dasi yang pernah dilihatnya di video. Jemarinya gemetar saat menyentuh kerah Julian, aroma sabun pria dan parfum kayu-kayuan tercium begitu kuat. Ia berusaha mengikat simpul dasi dengan benar, meski beberapa kali salah lipat.
Julian menunduk sedikit, memperhatikan gerakannya. “Pelan. Tarik bagian kecilnya. Ya, begitu.”
Setelah beberapa detik, simpul dasi itu akhirnya rapi. Rumi mundur selangkah, menatap hasil kerjanya. “Sudah, Pak.”
Julian melihat dirinya di cermin, lalu mengangguk kecil. “Lumayan.”
Rumi merasa lega, namun hatinya masih berdegup kencang.
Julian lalu berjalan ke arah meja kerja, mengambil sebuah map, dan menyerahkannya pada Rumi. “Ini jadwal kegiatan saya seminggu ke depan. Kamu harus tahu kapan saya pulang larut, kapan saya ada rapat pagi. Sesuaikan kebutuhan Kenzo agar tidak mengganggu. Saya tidak suka hal-hal berantakan.”
Rumi menerima map itu dengan dua tangan. “Baik, Pak.” Pokoknya Rumi hanya berkata ‘Iya, Pak. Baik, Pak' aja, ia sedang lelah berdebat dengan papa-nya si baby Kenzo.
Suasana kembali hening, hanya terdengar detik jam dinding. Julian mengenakan jas abu-abu gelapnya dengan gerakan mantap, lalu menoleh lagi. “Kalau ada sesuatu yang mencurigakan—makanan, minuman, atau orang—lapor langsung ke saya. Jangan pernah diam.”
Tatapan matanya dingin, tapi di balik itu Rumi bisa merasakan sebuah perhatian yang tulus meski tersamar. Ia mengangguk lagi, lebih pelan kali ini. “Iya, Pak.”
Julian mengambil jam tangan mewah dari meja, lalu melirik ke arah Rumi. “Sekarang kembali ke Kenzo. Jangan biarkan dia menangis lama-lama.”
Rumi mengangguk, lalu melangkah ke pintu. Namun sebelum keluar, ia sempat menoleh sekilas. Pria itu kini tampak begitu gagah dalam balutan setelan lengkap, aura dingin dan berwibawa semakin jelas terpancar. Untuk sesaat, dada Rumi terasa sesak—antara takut, kagum, dan entah apa lagi.
Di luar kamar, lorong panjang mansion itu menyambutnya dengan cahaya lampu gantung kristal yang memantulkan kilau mewah. Karpet merah tebal terhampar di sepanjang lorong, dindingnya dipenuhi lukisan klasik. Setiap sudut rumah ini berteriak kemewahan, tapi bagi Rumi terasa asing, seakan ia hanya tamu sementara.
Ketika ia kembali ke kamar bayi, Nia sedang menimang Kenzo yang sudah terbangun. “Eh, Mbak Rumi. Tuan nyuruh ke kamar, disuruh ngapain aja sih?” tanya Nia penasaran.
Rumi tersenyum kaku, menaruh map di meja kecil. “Cuma diminta bantu siapkan baju kerja.”
“Wah, berarti sekarang Mbak makin dekat sama Tuan dong.” Nia terkekeh.
Rumi hanya tersenyum samar, menahan gejolak hatinya yang campur aduk. Ia pun sangat ingat jika tuannya itu masih memiliki istri, dan ia pun baru saja kehilangan seorang suami yang sangat ia cintai, tapi ternyata brengsek.
Dari jauh, suara langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Julian keluar dari kamar utamanya, sudah siap dengan jas dan dasi rapi. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar bayi, menatap ke dalam. Tatapannya jatuh pada Rumi yang berdiri di samping boks bayi.
“Jaga dia baik-baik,” katanya singkat, lalu berbalik menuruni tangga besar yang berlapis karpet merah.
Rumi menghela napas panjang, matanya mengikuti punggung pria itu sampai menghilang di ujung tangga.
Entah kenapa, meski dingin, kalimat singkat itu meninggalkan kehangatan samar di dadanya.
***
Lorong mansion kembali hening selepas langkah Julian menghilang menuruni tangga. Rumi berdiri di samping boks bayi, pandangannya masih tertuju pada pintu kamar yang baru saja ditutup pria itu. Tatapan terakhir Julian—singkat namun tegas—terngiang di kepalanya. “Jaga dia baik-baik.”
Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pada Kenzo yang sudah mulai rewel ingin digendong. Nia segera mengayun-ayun tubuh mungil itu, sementara Rumi membereskan map berisi jadwal Julian di meja kecil.
Tak lama kemudian, suara pintu utama di lantai bawah terdengar. Disusul langkah kaki yang berbeda dari Julian—lebih pelan, tapi tetap tegas. Nia menoleh ke arah pintu kamar bayi ketika suara langkah itu makin dekat.
“Sepertinya Nyonya Liora datang,” gumamnya.
Benar saja. Beberapa detik kemudian, pintu kamar bayi diketuk lembut. Seorang maid membuka, menyingkap sosok wanita paruh baya yang anggun dengan balutan dress biru tua sederhana. Wajahnya teduh, namun sorot matanya tajam, penuh wibawa. Di belakangnya, tampak seorang wanita lebih tua—Bu Ita, ibunda Rumi.
“Assalamualaikum,” ucap Bu Ita lirih, senyumnya hangat meski wajahnya tampak lelah.
“Waalaikumsalam,” jawab Rumi cepat, lalu bergegas menghampiri. “Bu .…”
Mama Liora menatap keduanya, lalu tersenyum tipis. “Silakan duduk sebentar, Bu Ita. Rumi, temani ibumu. Ibu akan menengok ke dapur dulu.”
Setelah itu, Mama Liora melangkah pergi, memberi ruang bagi keduanya.
Rumi menuntun ibunya duduk di kursi dekat jendela. Baby Kenzo yang masih dalam gendongan Nia, sesekali menoleh pada mereka seakan ikut memperhatikan.
“Bu, makasih ya nyempetin ikut ke sini,” ujar Rumi, masih menahan haru.
Bu Ita mengangguk. “Iya, Nak. Bu Liora baik sekali mau mengizinkan Ibu melihatmu sebelum pulang. Ibu cuma sebentar, soalnya harus kembali ke rumah. Adikmu sama Bapak juga butuh dijaga.”
Bersambung ... ✍️
Ooh derry dimana k engkau...