Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hindia Belanda
Nyai Galuh merasakan jantungnya berdebar. Entah apa yang ia takutkan. Ini adalah sebuah misi yang penuh resiko yang sudah pernah Edwin peringatkan. Untuk menetralkan suasana hatinya ia ingin mengajak bicara Kasminah.
"Kasminah, bisa ceritakan padaku tentang diriku? Eum, maksudku, sikapku dulu pada tuan Edwin dan terhadap semua orang." Nyai Galuh membuka obrolan.
Kasminah terhenyak, ia ragu untuk berkata jujur. "Nyai, Anda dulu sangat pemarah dan begitu mencintai tuan Edwin."
"Hanya itu ?" Nyai Galuh sangat penasaran dengan dirinya, sedangkan memori Galuh yang asli sepenuhnya belum terkumpul.
Kasminah menelan ludah, kesulitan untuk bercerita takutnya akan membuat nyai Galuh tersinggung dan marah. "Anda juga suka makan dan tidak pernah peduli pada kehidupan orang lain." Kasminah menyelesaikan kalimatnya dengan hati-hati, mencoba mengukur reaksi Nyai Galuh. Ia tidak ingin menyinggung atau membuat Nyai Galuh marah.
"Oh, seperti itu." Ia mengingat beberapa waktu lalu saat bertemu dengan anak kecil dan mereka langsung ketakutan. Ia akan mengubah cara pandang dari nyai Galuh yang kasar menjadi baik hati.
Kasminah adalah seorang pembantu yang setia kepada Nyai Galuh meskipun selalu mendapat perlakuan kasar. Ia memiliki sifat yang sederhana, jujur, dan pekerja keras. Sebagai orang Jawa asli, Kasminah memiliki nilai-nilai budaya yang kuat dan sopan santun dalam melayani Nyai Galuh. Dengan kesederhanaan dan ketulusan hatinya, Kasminah menjadi salah satu orang yang sangat dipercaya oleh Nyai Galuh.
Nyai Galuh mengalihkan pandangannya ke sekitar, dilihatnya banyak anak - anak yang kurus dan miskin.
Pemandangan itu sangat menyedihkan hati Nyai Galuh. Ia melihat anak-anak kecil yang seharusnya bermain dengan gembira dan menikmati masa kecil mereka, malah harus menghadapi kesulitan hidup yang berat. Mereka yang kurus dan miskin, dengan mata yang terlihat kehilangan kilau masa kecil, membuat Nyai Galuh merasa terenyuh dan prihatin. Ia tahu bahwa keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Nyai Galuh merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, entah itu dengan cara membantu secara langsung atau mencari solusi jangka panjang untuk memperbaiki keadaan mereka. Dalam hatinya, ia berharap ada cara untuk mengubah nasib anak-anak ini menjadi lebih baik.
"Kusir, berhentilah sejenak," pinta Nyai Galuh dengan suara yang tegas namun sopan. Sang kusir segera menarik kuda dan kereta berhenti. Nyai Galuh menatap ke arah anak-anak kecil yang kurus dan miskin yang tadi menarik perhatiannya.
Ia kemudian memberi isyarat kepada Kasminah yang duduk di sebelahnya. "Kasminah, ambillah beberapa bungkus makanan dari dalam kereta. Kita akan memberi mereka sedikit makanan," kata Nyai Galuh dengan penuh kasih sayang. Kasminah segera mengangguk dan melaksanakan perintah Nyai Galuh.
Anak-anak kecil itu terkejut dan tak percaya ketika melihat Nyai Galuh dan Kasminah turun dari kereta dengan membawa makanan. Mereka memandang dengan mata lebar dan takut-takut, seolah tidak percaya jika Nyai mau memberi mereka makanan. Seorang anak kecil yang paling berani sedikit mendekat, matanya terpaku pada bungkusan makanan di tangan Kasminah.
"Benar...benar buat kami?" tanya anak kecil itu dengan suara bergetar, takut akan ditipu.
Nyai Galuh tersenyum hangat dan mengangguk. "Iya, ini buat kalian. Makanlah, jangan malu-malu," katanya dengan lembut. Anak-anak kecil itu kemudian berebut mengambil makanan dengan gembira, wajah-wajah mereka berseri-seri ketika menyadari bahwa mereka benar-benar mendapatkan makanan. Mereka makan dengan lahap, seolah-olah belum makan berhari-hari. Nyai Galuh dan Kasminah menonton dengan senyum, merasa bahagia melihat anak-anak kecil itu tersenyum.
Setelah memastikan anak-anak kecil itu dalam keadaan baik dan memiliki cukup makanan, Nyai Galuh dan Kasminah kembali ke dalam kereta. Sang kusir memberi aba-aba pada kuda, dan kereta pun mulai bergerak melanjutkan perjalanan. Nyai Galuh menatap ke luar jendela kereta, melihat pemandangan sekitar yang mulai berubah dari pedesaan menjadi bangunan-bangunan kota yang semakin dekat.
Ia merasa sedikit gugup, karena perjalanan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Kasminah yang duduk di sebelahnya menyadari perubahan ekspresi Nyai Galuh dan memberikan senyum penyemangat. "Kita akan segera sampai, Nyai," katanya dengan suara lembut.
Nyai Galuh membalas senyum Kasminah, mencoba menenangkan diri sendiri. "Iya, Kasminah. Aku siap," jawabnya dengan tekad yang baru. Kereta terus melaju, membawa Nyai Galuh menuju pelabuhan.
Nyai Galuh dan Kasminah tiba di pelabuhan. Mereka menuju kapal yang akan membawa mereka ke Batavia. Pemandangan laut yang luas dan kapal-kapal besar yang berlabuh di pelabuhan membuat Nyai Galuh merasa sedikit takjub. Ia belum pernah melihat laut sebesar ini sebelumnya. Suara ombak dan teriakan para pekerja pelabuhan memenuhi udara, menambah kesan bahwa mereka benar-benar akan melakukan perjalanan jauh dan petualangan baru.
"Kasminah, lihatlah! Kapal sebesar itu pasti sangat besar dan nyaman," kata Nyai Galuh dengan mata berbinar.
Kasminah tersenyum dan mengangguk setuju. "Iya, Nyai. Kita akan segera berlayar dan menikmati perjalanan laut yang indah," jawabnya. Mereka berdua kemudian menuju ke dermaga untuk naik ke kapal yang akan membawa mereka ke Batavia.
Nyai Galuh membawa beberapa barang penting sebagai perbekalan untuk perjalanannya ke Batavia, seperti pakaian yang sesuai dengan cuaca dan budayanya, dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan tujuannya serta beberapa obat-obatan dan makanan ringan untuk menjaga kesehatannya selama perjalanan. Dengan perbekalan yang cukup dan persiapan yang matang, Nyai Galuh siap menghadapi tantangan di Batavia.
Nyai Galuh tiba di Batavia dan langsung menuju tempat pertemuan dengan pejabat Belanda. Ia membawa dokumen-dokumen yang berisi tuntutan hak-hak para pekerja yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Nyai Galuh merasa sedikit terkejut dan tak siap ketika melihat para pejabat Belanda yang berpakaian rapi dan berwibawa menyambutnya di ruang pertemuan. Ia sedikit ragu dan merasa kurang siap untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting seperti mereka. Namun, ia segera menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri, mengingat pentingnya pertemuan ini. Dengan percaya diri yang baru, Nyai Galuh membungkuk sedikit sebagai tanda hormat dan menyambut para pejabat Belanda dengan senyum ramah. "Selamat pagi, tuan-tuan. Saya Nyai Galuh, senang bertemu dengan Anda semua," katanya dengan sopan.
Para pejabat Belanda membalas sapaannya dengan ramah dan mempersilakan Nyai Galuh duduk. "Selamat pagi, Nyai Galuh, saya Diederic Samson senang berkenalan dengan Anda.
Diederik Samson memperhatikan Nyai Galuh dengan tatapan yang terlalu lama, membuat Nyai Galuh merasa sedikit tidak nyaman. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan rasa tidak nyaman itu dan membalas senyum Diederik dengan sopan. "Senang berkenalan dengan Anda juga, Tuan Samson." katanya dengan nada yang netral.
Sementara itu, Nyai Galuh secara diam-diam mengamati Diederik Samson, mencoba untuk menilai karakter dan niatnya. Ia berharap bahwa pertemuan ini akan berjalan dengan baik dan profesional, tanpa ada gangguan atau kesalahpahaman.
Dengan percaya diri, Nyai Galuh mengambil tempat duduk yang telah disiapkan dan menunggu Diederik Samson memulai diskusi. "Silakan, Nyai Galuh Saya siap mendengarkan," katanya dengan sopan.