Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22 -- saling memakai topeng
Aruna terbangun dengan jantung berdegup kencang. Sinar matahari yang menyelinap dari celah tirai menandai pagi yang sudah jauh lebih siang daripada biasanya. Ia menelan ludah, menatap jam di meja samping tempat tidurnya—waktu hampir menunjukkan pukul delapan lewat. Ia seharusnya sudah berada di perjalanan menuju kantor ayahnya, Tuan Arsen Surya, tapi kenyataan ini membuat dada kecilnya terasa sesak.
“Ya ampun, aku kesiangan…” gumamnya, suaranya serak karena masih setengah mengantuk. Panik mulai merayap di dalam pikirannya. Hari ini ada rapat penting yang harus ia hadiri, dan keterlambatannya bisa menjadi masalah besar, terutama di mata ayahnya yang perfeksionis.
Aruna buru-buru menyingkirkan selimut dan melompat dari ranjang. Rambutnya yang masih acak-acakan ia ikat setengah sembari melangkah ke kamar mandi. Air dingin mengalir, membasahi wajahnya, seolah ingin mengusir sisa mimpi dan menggantinya dengan kesadaran penuh. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi adrenalin pagi ini membuat tangannya sedikit gemetar.
“Tenang, Aruna. Tenang. Jangan sampai panik, nanti malah makin lambat,” ia berbisik pada diri sendiri, mencoba memaksakan senyum di cermin. Ia merapikan diri dengan cepat: blazer tipis berwarna krem, celana panjang hitam yang rapi, dan sepatu hak rendah yang sudah ia siapkan semalam.
Setelah memeriksa tas yang berisi dokumen penting dan laptop, Aruna melangkah keluar rumah dengan langkah tergesa. Ia menyalakan mobilnya, berharap perjalanan ke kantor akan lancar meski ia mulai sedikit khawatir karena jalanan biasanya padat di jam-jam seperti ini.
Namun, nasib pagi ini tampaknya ingin menguji kesabarannya. Tidak sampai lima menit setelah ia keluar dari kompleks rumah, mobilnya mendadak tersendat, lalu mati total di tengah jalan. Aruna menekan pedal gas beberapa kali, tapi mobil hanya mengeluarkan suara mendesah yang membuat dadanya makin sesak.
“Tidak… tidak mungkin. Kenapa sekarang?” gumamnya panik. Ia mencoba menyalakan ulang mobilnya, memutar kunci beberapa kali, tapi hasilnya tetap sama: mesin tidak merespons. Keringat mulai menetes di pelipisnya, dan tangannya gemetar saat memegang kemudi.
Mobil di belakang mulai membunyikan klakson, dan Aruna merasa semakin terdesak. Ia menepikan mobil sejauh mungkin ke sisi jalan, menahan napas sebentar, mencoba memikirkan solusi. Tapi kepanikan yang muncul membuat pikirannya buntu. Ia bahkan sempat ingin menelepon sopir keluarga, tapi ia sadar sopir sedang cuti hari ini.
“Kenapa harus sekarang? Kenapa harus kesiangan dan mogok bersamaan?!” teriaknya dalam hati, frustrasi. Ia menatap sekeliling—jalan masih ramai dengan kendaraan lain, orang-orang sibuk dengan pagi mereka, sementara ia terjebak di tengah kekacauan kecil ini.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara mobil yang melaju dengan tenang. Mobil itu melambat ketika mendekati Aruna, dan seorang pria berpakaian rapi membuka jendela. Aruna terkejut. Ia mengenali wajah itu—William,
“Aruna! Mobilmu bermasalah, ya?” sapanya dengan suara lembut tapi tegas, sementara ia menepikan mobilnya di sisi jalan. Aruna mengangguk tergesa, masih sedikit panik.
“Ya… ya, William. Mobilku mati, dan aku… aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana,” jawabnya tergagap. Ia menunduk, mencoba menenangkan napasnya.
William mengangguk, tanpa banyak bicara. Ia menurunkan kaca mobilnya sepenuhnya. “Ayo, masuk saja ke mobilku. Aku bisa mengantarmu ke perusahaan.”
Aruna ragu sejenak, tapi rasa terdesak dan keterlambatan membuatnya mengangguk cepat. Ia melompat ke kursi penumpang, membawa tasnya dengan cepat. Begitu duduk, William menutup pintu mobil dengan lembut dan menyalakan mesin. Suara mesin mobilnya yang stabil dan halus seolah memberikan rasa aman instan pada Aruna.
“Tenang saja, Aruna. Aku akan memastikan kamu sampai dengan selamat dan tepat waktu,” kata William, matanya menatap jalan di depan dengan fokus. Aruna hanya bisa mengangguk, mencoba menenangkan diri. Di dalam hati, ia bersyukur—hari yang dimulai dengan panik ini, setidaknya masih memiliki secercah bantuan.
Perjalanan ke perusahaan berjalan lebih lancar dari yang Aruna bayangkan. William mengendarai mobil dengan tenang, meski jalanan ramai. Ia tetap menjaga jarak aman, sesekali menoleh ke Aruna untuk memastikan gadis itu tidak terlalu cemas. Aruna sendiri diam, sesekali menatap jalan di luar jendela, tapi pikirannya masih sibuk dengan kemungkinan akibat keterlambatannya.
“Kalau aku telat hari ini, pasti Ayah akan marah… dan dokumen rapat itu…” gumam Aruna, suaranya kecil. William mendengar tapi hanya tersenyum tipis, seolah ingin memberinya ketenangan tanpa mengucapkan banyak kata.
Setelah beberapa menit, gedung Surya akhirnya terlihat di kejauhan. Aruna menegakkan badan, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kembali rasa percaya dirinya. William melambatkan mobil di depan gerbang, memastikan Aruna bisa turun dengan aman.
“Terima kasih, William… aku—aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa,” kata Aruna dengan suara sedikit gemetar, masih terengah-engah karena kepanikan sebelumnya.
William tersenyum hangat. “Tidak apa-apa, Aruna. Anggap saja ini bagian dari hari yang penuh tantangan. Yang penting, kamu sampai dengan selamat.”
Aruna menuruni mobil, menatap William sebentar sebelum melangkah ke pintu utama gedung. Ia bisa merasakan getaran pagi yang berbeda—keterlambatan, mobil mogok, dan bantuan yang datang tiba-tiba dari William membuatnya sadar betapa pentingnya orang-orang yang dapat diandalkan di sekitarnya.
Begitu masuk ke dalam gedung, Aruna langsung menuju ruang rapat, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme kantor. Ia masih merasakan sedikit degup jantung yang tidak biasa—bukan karena takut, tapi karena rasa lega dan sedikit kagum pada William yang hadir tepat pada waktunya.
Di dalam hati, Aruna berbisik pelan, hampir seperti doa. “Semoga hari ini, semuanya berjalan lancar… dan aku bisa tetap tenang menghadapi semuanya, seperti pagi ini.”
Dan meski wajahnya tetap tersenyum saat berinteraksi dengan staf dan kolega, pikirannya sesekali melayang ke momen di jalan—mobil yang mogok, ketakutan, dan bantuan yang muncul di saat tepat. Ia tersenyum tipis, menyadari bahwa di balik kekacauan kecil, ada tangan-tangan yang menjaga.
Hari itu, pagi yang hampir kacau berakhir dengan langkah Aruna yang mantap masuk ke ruang rapat, dengan tas di tangan dan rasa percaya diri yang mulai kembali. Sementara di luar jendela, sinar matahari menembus gedung, menandai awal dari serangkaian hari yang penuh tantangan dan kejutan.
Aruna menarik napas panjang setelah akhirnya duduk di kursi ruang rapat. Pagi yang kacau seketika terasa reda—setidaknya sampai ia baru saja menatap layar dokumen di depannya.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
“Aruna…”
Sebuah suara lembut tapi tajam memecah udara ruang rapat. Suara itu familiar, terlalu familiar. Detik itu juga, jantung Aruna serasa berhenti.
“Naya?” gumamnya pelan, tak bisa menahan napasnya sejenak.
Aruna menoleh ke arah pintu. Sosok Naya berdiri di sana, rambutnya sedikit kusut, wajahnya memudar karena beberapa bekas luka di pipi dan lengan—jejak dari kecelakaan yang terjadi beberapa hari lalu bersama Andrian.
Detik pertama, kejutan itu membuat Aruna menegang. Namun secepat kilat, ia mengubah ekspresinya. Senyum lembut terbentuk di bibirnya, nada suaranya menjadi hangat dan tulus—peran yang sudah ia latih berulang kali.
“Oh, Naya! Aku… aku sempat khawatir sama kamu, loh,” kata Aruna, berdiri perlahan seolah ingin mendekat. “Kamu kan baru saja kembali dari cuti. Aku dengar kecelakaan itu… gimana rasanya? Tidak terlalu parah, kan?”
Naya melangkah masuk, menahan napas sebentar sambil menatap Aruna. Bekas luka di wajah dan lengan terlihat jelas, namun ia menutupinya dengan senyum tipis. “Ah… nggak apa-apa, Aruna. Aku… sudah lebih baik sekarang. Terima kasih sudah khawatir.”
Aruna tersenyum hangat, menepuk punggung tangan Naya seakan menyalurkan perhatian tulus. Dalam hatinya, tiap gerakan ini adalah permainan—setiap kata dan sentuhan harus terlihat alami, tanpa sedikit pun menyingkapkan amarah dan dendam yang masih membara di dalam dirinya.
Sementara itu, pandangan Aruna terus mengamati bekas luka di wajah Naya. Ada sesuatu yang mengganggu dalam pikirannya—mungkin cara Andrian menatap Naya saat kecelakaan itu, atau mungkin juga rahasia yang Naya sembunyikan. Namun, ia menelan semua kecurigaan itu untuk sementara. Hari ini, peran utamanya adalah menjaga citra sebagai Aruna yang peduli, lembut, dan seakan memaafkan sahabatnya.
“Kalau begitu, jangan dipaksakan ya. Istirahat dulu kalau perlu,” Aruna melanjutkan, suaranya lembut tapi hangat. “Aku yakin kantor nggak bakal runtuh karena beberapa hari cuti.”
Mereka duduk bersama di meja rapat. Aruna mengambil dokumen yang berada di depannya, mengatur pena di tangan, dan menatap Naya seakan menunggu ceritanya tentang beberapa hari yang lalu. Semua ini tampak natural—Aruna tertawa pelan ketika Naya menceritakan sedikit kejadian lucu selama cuti, mengangguk penuh perhatian ketika Naya menyinggung hal-hal serius, dan sesekali menanyakan kabar keluarga Naya.
Di balik senyumnya yang tulus, Aruna menahan amarah dan rasa sakit yang muncul ketika mengingat pengkhianatan Naya—pengkhianatan yang dulu membuatnya kehilangan nyawa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya harus sempurna; setiap gerakan harus terlihat wajar. Ia bahkan mencondongkan tubuh sedikit, memberi kesan perhatian dan kepedulian yang tulus, seolah masa lalu yang kelam antara mereka tak pernah ada.
Namun, pikiran Aruna terus mengamati Naya. Bekas luka itu bukan hanya tanda fisik, tapi juga simbol bahaya yang baru saja muncul kembali di hadapannya. Andrian dan Naya—mereka masih menjadi ancaman, dan setiap interaksi sekarang bisa menjadi alat untuk membaca strategi lawan.
“Naya, kamu harus hati-hati, ya. Jangan terlalu memaksakan diri. Aku… aku khawatir kalau kamu terlalu cepat kembali ke kantor,” ujar Aruna, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tampak alami. Sekilas, Naya tersentuh, tapi tatapan matanya tetap menyembunyikan sesuatu—rahasia yang hanya diketahui dirinya sendiri dan Andrian.
Aruna menelan napas. Ia tahu, hari ini bukan hanya soal memainkan peran sebagai Aruna yang peduli, tapi juga soal mengumpulkan informasi. Setiap gerakan, setiap kata, setiap ekspresi—semuanya adalah bagian dari strategi diam-diam untuk memetakan kelemahan musuh yang dulu mengkhianatinya.
Saat rapat dimulai, Aruna duduk di sisi meja dengan Naya di sebelahnya. Ia memperhatikan dengan seksama: bagaimana Naya berinteraksi dengan kolega, bagaimana ia menanggapi pertanyaan, dan bagaimana Andrian—yang belum muncul—akan bereaksi begitu melihatnya. Semua detail ini akan disimpan di ingatannya, menjadi bahan rencana selanjutnya.
Di balik ketenangan dan senyum lembut itu, Aruna menegaskan satu hal di hatinya: ia mungkin harus berpura-pura ramah dan peduli, tapi dendam dan strategi yang telah direncanakan tidak akan pernah hilang. Hari ini, Naya mungkin melihatnya sebagai sahabat yang peduli, tapi Aruna tahu—di balik topeng itu, ia tetap waspada, tetap berhitung, dan tetap siap menghadapi setiap ancaman yang akan datang.