Seorang gadis berusia tujuh belas tahun secara tak sengaja menyelamatkan nyawa seorang raja mafia yang dingin dan penuh bahaya. Bukannya jadi korban dalam pertarungan antargeng, ia malah jadi istri dari pria yang selama ini ditakuti banyak orang.
Gadis itu polos dan manis. Sedangkan pria itu tegas dan kuat, dan hampir sepuluh tahun lebih tua darinya. Tapi, ia tak kuasa menolak perasaan hangat yang gadis itu bawa ke dalam hidupnya.
Meski membenci dunia gelap yang pria itu jalani, ia tetap tertarik pada sosoknya yang dingin dan berbahaya.
Dan sejak saat itu, takdir mereka pun saling terikat—antara gadis menggemaskan dan raja mafia muda yang tak pernah belajar mencintai...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cloudlane café
Sedari kecil, Talia begitu menyayangi kakaknya.
Namun sejak Renald berusia delapan belas tahun, ia meninggalkan Noturn City dan menetap di Amerika.
Meski mereka masih sering berkomunikasi, Talia tidak pernah benar-benar tahu apa yang kakaknya lakukan di sana.
“Aku sedang di Cloudlane Café. Kalau kamu bisa datang, mampirlah sekarang,” ucap Renald lewat telepon.
“Tapi aku lagi bareng Liora…”
Begitu mendengar nama itu, sorot mata Renald langsung berubah. “Kalau begitu, ajak dia juga,” jawabnya ringan.
“Baiklah, sampai ketemu,” ucap Talia cepat.
“Hmm.” Renald mengangguk singkat sebelum menutup sambungan.
Talia menoleh pada Liora dengan senyum kecil. “Kakakku baru aja pulang ke kota. Dia ngajak kita makan bareng.”
Ia menatap Talia, ekspresinya masih ragu. "Aku gak mau ikut, takut ngerepotin kalian."
"Please, jangan overthinking. Lagian makanannya dijamin enak banget," jawab Talia santai.
Seperti yang diduga, mata Liora langsung berbinar.
Talia tersenyum tipis. Ia tahu betul, sahabatnya itu paling lemah kalau sudah urusan makanan.
......................
Setibanya di Cloudlane Café, seorang pelayan mengantar mereka ke ruang privat.
“Silakan,” ucap pelayan ramah sambil membukakan pintu.
Begitu pintu terbuka, mereka melihat seorang pria duduk di dalam.
Pria itu tampak tenang dengan aura dingin. Kepalanya sedikit tertunduk, helaian rambut hitam menutupi sebagian alis.
“Kakak!” seru Talia riang sambil melangkah masuk.
Belum sempat Renald berkata apa pun, Talia sudah langsung memeluknya.
Liora hanya menghela napas pelan melihat kedekatan mereka.
Setelah melepaskan pelukan, Talia menepuk lengan kakaknya sambil tersenyum lebar. “Kakak tambah ganteng aja sekarang.”
Renald tersenyum, mengusap kepala adiknya. “Kamu juga sudah makin besar.”
Talia terkekeh kecil, lalu menjulurkan lidah iseng.
“Duduk, yuk,” ajaknya sambil tersenyum.
Liora mengangguk pelan dan menarik kursi di sebelahnya. Ia masih sedikit canggung, tapi tatapan lembut Talia membuatnya merasa nyaman.
“Liora, aku sengaja pesan beberapa makanan favoritmu,” ucap Renald, menatapnya hangat.
Liora hampir tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Begitu melihat hidangan favoritnya tersaji, pikirannya langsung teralihkan.
Talia sempat melirik sang kakak, seolah bisa menebak maksud di balik perhatiannya. Namun ia memilih diam. Liora baru saja patah hati—biarlah ia menemukan jalannya sendiri.
“Terima kasih, Kak Renald. Kalau begitu, aku terima dengan senang hati,” ucap Liora, tersenyum lembut sebelum menyantap makanannya dengan antusias.
Melihat ekspresi bahagia itu, Renald ikut tersenyum samar.
“Kakak pilih kasih! Makanan favoritku mana?” keluh Talia setengah manja.
Renald hanya tersenyum lalu menyodorkan kotak kecil. “Aku sudah pesan ini. Kamu suka mochi stroberi, kan?”
“Hmm, masih inget aja,” gumam Talia sambil menopang dagu. Ia melirik Liora yang tengah makan lahap, lalu hanya menggeleng kecil.
“Liora, kamu kelihatan makin dewasa sekarang… dan juga semakin cantik,” ujar Renald tenang.
“Terima kasih, Kak,” jawab Liora, tersenyum manis.
Renald menatapnya lekat-lekat, tatapannya menyimpan sesuatu yang tak ia ucapkan. Dulu, saat masih di luar negeri, ia sering melihat Liora lewat panggilan video bersama Talia.
Dari situlah segalanya bermula—perhatian kecil yang perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu.
......................
Setelah cukup makan, Liora bersandar sambil menepuk perutnya ringan. Wajahnya tampak puas, seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. “Aku kenyang banget,” katanya sambil terkekeh.
Renald menoleh, suaranya lembut. “Sudah cukup?”
Liora mengangguk.
Talia kemudian bertanya, “Kak, sudah hubungi Mama sama Papa?”
“Belum. Tapi nanti malam aku pulang ke rumah,” jawab Renald santai.
Liora menatap Renald penasaran. “Kak Renald, apa setelah ini kakak akan balik ke Amerika?”
Renald tersenyum tipis. “Tidak. Aku akan menetap di sini.”
Talia melirik jam tangannya. “Liora, kita harus balik. Besok ada ujian, ingat?”
Liora menepuk keningnya. “Duh, aku lupa!” katanya, tertawa kecil.
Renald menatap wajah bingung gadis itu, lalu tersenyum tipis tanpa berkata apa-apa.
“Kak, kami pamit dulu ya,” ujar Talia sambil bangkit dari duduknya.
“Biar aku antar,” sahut Renald.
“Gak usah repot-repot, Kak,” Liora menolak halus.
Talia menepuk kepala Liora sekilas lalu segera berlari keluar. “Lia, kamu nepuk kepalaku lagi!” gerutu Liora, buru-buru mengejarnya.
Renald hanya bisa menggeleng kecil melihat punggung keduanya yang menjauh.
......................
Di luar, Liora merengut kecil. “Aku ini sudah pelupa, jangan ditambah nepuk-nepuk kepala. Nanti makin parah."
Talia terkekeh pelan, "Iya, tapi kamu masih ingat kan, besok ada apa?"
Liora terdiam, jari telunjuknya menyentuh bibir sambil mencoba mengingat. Wajahnya jelas kebingungan
Talia hanya bisa menghela napas pelan, lalu dengan pasrah menganggukkan kepala Liora seperti anak kecil.
“Besok adalah hari pertunangan Damien dan Selina,” ucapnya pelan.
Seketika sorot mata Liora meredup. Sekilas, bayangan luka lama melintas—luarnya tampak tenang, tapi di dalam hatinya rapuh.
“Liora…” bisik Talia lembut.
“Aku tahu. Aku akan datang besok. Dan aku akan buktikan, tanpa mereka aku tetap bisa berdiri dan melangkah,” ucapnya dengan suara mantap.
Talia menatapnya penuh empati, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Kalau kamu ingin menangis, nggak apa-apa.”
“Aku gak nangis kok,” gumam Liora sambil cemberut.
“Kalau begitu, besok aku akan menemanimu,” sahut Talia sambil menepuk punggungnya lembut.
Pelukan hangat itu seolah menenangkan badai kecil yang bergemuruh di hati Liora.
ditunggu up nya lagi...😊