Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Kenaikan Tingkat dan Keseruannya
Ah, tidak! Aku harus cepat, waktunya tinggal beberapa detik lagi. Akhirnya ketemu juga tas milikku. Dengan cepat, langsung kupakai baju dan celana silat. Waktu habis, aku terlambat. Aku segera ke lapangan dengan tali sepatu yang tidak diikat dan sabuk silat yang masih menggantung di leher. Saat melihat sekitar, banyak juga yang belum lengkap perlengkapannya. Bahkan ada yang masih menggunakan bokser.
Mereka berjalan seperti zombi, termasuk aku. Berjalan sambil mengangguk. Sekarang jam berapa sebenarnya? Kenapa hari masih gelap? Aku bahkan tidak mendengar azan Subuh. Saat melihat jam yang terpampang di pergelangan tangan kiri salah satu peserta. Terlihat sekarang masih jam 3 pagi. Jam segini aku masih mimpi episode dua karena ketika bermimpi, mimpi itu sering berganti-ganti, makanya sekali tidur bisa saja mendapat minimal tiga mimpi sekali tidur.
Aku mengantuk, aku mau tidur lagi. Tolonglah! Aku benar-benar mengantuk!
Bagi yang perlengkapannya tidak lengkap disuruh melakukan push up sebanyak sepuluh kali, tapi dihitungin pelatih. Perasaanku tidak enak. Biasanya kami push up dua puluh kali atau lebih. Ini tumben sekali hanya sepuluh kali.
“Satu … tahan! Dua … tahan! Tiga … tahan! Satu … tahan!” teriak pelatih.
Benar saja dugaanku! Kapan selesainya kalau push up seperti ini? Harus ditahan, badan setengah diturunkan, tidak boleh langsung diturunkan! Hitungan juga kenapa sudah tiga tapi balik lagi ke satu? Jika begini terus, mungkin kami akan push up sampai pagi.
Akhirnya selesai, total jika dihitung, kami sudah push up sebanyak dua puluh kali tapi lebih berat karena badan harus diturunkan setengah sambil ditahan. Acara dilanjutkan dengan lari-lari kecil di lapangan. Kami seperti orang mabuk dikejar polisi. Ada juga yang lari dengan mata tertutup.
Waktu Subuh tiba, kami berhenti untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Setelah itu, dilanjutkan dengan latihan cara membanting dan latihan pernapasan sebagai dasar dari tenaga dalam. Dilanjutkan dengan sarapan. Sarapan yang sangat menarik, makanannya enak, hari ini makan kornet sapi. Bukan soal makanannya tapi soal cara memakannya. Kami dituntut harus menghabiskan makanan ini dalam waktu tiga menit. Sebenarnya ini bukan masalah untukku karena mudah sekali untuk makan cepat selama makanannya enak. Aku melahap semua seperti orang yang tidak makan seminggu. Namun, di saat minum ada sedikit hambatan karena minumannya begitu banyak dan perutku masih penuh dengan makanan.
Peserta yang makanannya tidak habis disuruh push up dua puluh kali. Untung saja, makanan ini sudah habis. Jika tidak, mungkin bisa muntah di tempat karena push up setelah makan. Kalau dipikir lagi, push up ini sudah seperti hidangan penutup. Setelah sarapan, kami dikumpulkan di lapangan. Kami disuruh menyerahkan semua peralatan elektronik termasuk handphone, MP3, MP4, dan lain sebagainya kepada panitia. Kami tidak boleh menggunakan barang tersebut selama ujian kenaikan tingkat berlangsung. Barang-barang akan dikembalikan setelah ujian selesai di hari Sabtu.
Acara selanjutnya adalah permainan mencari koin di sungai. Kelompok yang mendapat koin paling banyak adalah pemenangnya. Air sungai yang dingin, deras, keruh, dan banyak batu-batu besar seakan-akan seperti waterboom yang unik. Aku bukan mencari koin, tapi justru berenang karena sungguh airnya sangat menyegarkan. Banyak kejadian yang menyenangkan, seperti peserta yang sandalnya terbawa arus. Ada yang kakinya menendang batu besar. Ada yang heboh berteriak karena mendapatkan koin yang dicari.
Permainan selesai, waktunya menghitung hasil pencarian koin. Kelompok yang paling sedikit mendapatkan koin akan menerima hukuman. Kali ini kelompokku selamat, karena ada satu kelompok lain yang paling sedikit mengumpulkan koin. Mereka adalah kelompok kelinci. Mereka mendapat hukuman, bernyanyi di depan peserta lainnya sambil menari dengan gaya yang unik. Ada yang menari dengan bokong diputar-putar, ada yang mengangguk-angguk seakan-akan seperti mengikuti konser musik metal, dan gaya-gaya lain yang benar-benar membuat perut sakit karena tertawa.
Kami semua tertawa, baru kali ini aku merasa bebas. Seakan-akan punya kehidupan baru di sini. Sekitar jam setengah 3 sore kami dikumpulkan di lapangan. Panitia menyuruh kami membuat yel-yel dan melakukan kolaborasi dengan sembilan gerakan pasang kuda-kuda. Yel-yel akan ditampilkan di hari terakhir ujian. Selepas Magrib, kelompokku yaitu kelompok plankton, mulai merencanakan semuanya. Namun, sepertinya malam ini kami belum mendapat titik terang untuk gerakan, yel-yel, serta lagu yang akan digunakan.
Malam harinya ada acara sejenis ceramah oleh para guru-guru silat. Aku benar-benar mengantuk. Aku tertidur di tengah ceramah hingga kakak senior menegur dan menyuruhku untuk membuka mata. Aku hanya mengangguk. Tidak lama, kami disuruh ke kamar masing-masing dan tidur.
Keesokan harinya, aktivitas pagi hari sama seperti hari sebelumnya. Namun, di siang hari, kelompok kami kembali memutar otak untuk mempersiapkan penampilan kelompok plankton di akhir acara ujian kenaikan tingkat. Menjelang sore kami dibawa ke sebuah kolam yang di dalamnya berisi ikan-ikan, lalu panitia menyebarkan koin-koin ke dalam kolam. Kami disuruh menyelam dan menangkap koin-koin yang tersebar di dalam kolam.
Aku masuk ke dalam kolam dengan perasaan teramat senang, dengan baju olahraga yang aku kenakan. Aku berenang menelusuri kolam, dalam pikiran, aku menganggap ikan-ikan ini hanya ikan mas yang tidak terlalu berbahaya. Namun, tiba-tiba ada kakak senior yang naik ke atas permukaan kolam, sambil menggenggam tangannya. Apa yang terjadi?
Mengenaskan, ada kakak senior yang tangannya berdarah karena terkena sirip ikan. Mendengar hal itu, aku langsung khawatir, berarti ikan di dalam kolam ini memiliki sirip yang tajam. Aku berusaha untuk waspada dan tetap mencari koin. Sekarang, dengan mengandalkan kaki untuk meraba-raba dasar kolam, aku tetap tidak berhasil mendapatkan koin itu sampai permainan selesai. Aku langsung berenang keluar dari kolam dengan cepat. Aku khawatir akan ikan-ikan ini.
Selepas Magrib, kami mulai berlatih memperagakan gerakan-gerakan yang akan dibawakan untuk penampilan kelompok besok. Karena waktunya singkat, kami hanya mendapatkan perpaduan gerakannya. Sekitar jam 1 malam peristiwa besar yang menyenangkan terjadi. Waktunya acara malam!
Kami dipisah berdasarkan warna sabuk masing-masing. Sabuk hijau dan biru, malam ini mereka akan diuji untuk menggunakan tenaga dalam. Terlihat mereka sedang duduk sila, seperti orang yang sedang bertapa, sedangkan kami yang masih sabuk putih dan kuning, dipanggil masing-masing dua orang. Aku penasaran, katanya kami akan diajak jelajah malam, tapi aku melihat mereka ditutup matanya, lalu dibawa oleh kakak senior ke suatu tempat, keluar dari pondok. Aku mulai khawatir. Aku berpikir mereka akan membawa kami untuk uji nyali di sebuah rumah kosong dan kakak senior itu menyamar menjadi hantu untuk menakuti kami.
Tidak! Tidak! Tidak! Jangan hantu pokoknya!
Sekarang giliranku, aku berpasangan dengan adik kelas bernama Nisa. Ini lebih parah dari yang dibayangkan. Jika aku takut, harga diriku akan jatuh. Badanku gemetar, sepertinya keringat dingin. Semoga saja Nisa tidak menyadarinya. Kakak senior menutup mata kami berdua dengan kain. Badan kami diputar-putar, sehingga kami tidak tahu arah. Kami dituntun oleh kakak senior menuju ke suatu tempat.
“Iya hati-hati, perhatikan jalannya,” kata kakak senior.
Bagaimana bisa memperhatikan jalan? Kami saja tidak bisa melihat apa pun di sini.
“Awas di depan banyak lubang,” kata kakak senior.
“Iya Kak, baiklah,” kata Nisa.
Kenapa Nisa bilang ‘Iya’? Apa dia bisa melihat jalannya?
Kami berdua disuruh berpegangan tangan agar tidak tersesat. Pernyataan itu membuatku makin merinding. Pikiranku selalu menggambarkan hutan, kuburan, rumah kosong yang menyeramkan. Aku masih terus merinding dengan segala imajinasi yang ada di pikiran.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...