Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19 Dua Garis
Happy reading
Ucapan Dariel tadi siang masih memenuhi ruang pikir dan membuat Dira merasa tak tenang.
Sore, setelah Dariel pamit pulang, Dira memutuskan untuk segera membeli alat tes kehamilan di apotik dan berencana untuk menggunakannya esok pagi supaya memperoleh hasil yang akurat.
Semalaman, Dira serasa sulit untuk memejamkan mata. Pikirannya terus berkecamuk.
Ia berharap, benih yang ditanam oleh Dariel di malam itu tidak tumbuh di dalam rahimnya.
Dira merasa takut, bingung, dan stres. Sungguh, ia belum siap jika harus menghadapi kenyataan yang teramat pahit dan mungkin akan semakin menghancurkan hidupnya.
Kehilangan reputasi dan yang paling menakutkan ... kehilangan keluarga yang teramat dicinta. Terlebih ayah, bunda, dan Mbok Milah.
Akan berbeda ceritanya jika Dariel memeluk iman yang sama.
Mungkin, Dira tidak akan menolak niat baik Dariel dan dengan keikhlasan hati menerima sahabatnya sebagai pasangan hidup.
Tapi, cerita mereka seakan sulit dicerna. Endingnya pun sukar teraba.
Entah bisa bersama atau berpisah.
Penulis kisah ini hanya bisa termangu dan mungkin dilema, menggoreskan kisah yang indah untuk mereka atau sebaliknya.
Detik mesin waktu terus berputar. Mengiringi kegelapan malam yang mulai merangkak pergi, mempersilahkan pagi untuk hadir mengganti.
Lantunan Kalam Illahi mulai diperdengarkan, diikuti suara kerinduan-Nya yang berkumandang merdu. Membangunkan para insan yang masih terlena di alam mimpi . Tak terkecuali Dira yang sekejap terlelap. Hanya sepuluh menit.
Dira memotivasi diri untuk segera bangkit dan beranjak dari ranjang. Ia tak sabar untuk menggunakan alat tes kehamilan yang sudah disiapkan.
Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga satu menit, Dira memandangi hasil yang ditunjukkan oleh alat itu.
Tangan dan tubuhnya bergetar hebat saat dua garis tercetak jelas.
Itu berarti, benih yang ditanam oleh Dariel telah tumbuh di dalam rahim.
Dira hamil.
Dira mengandung janin yang saat ini tidak diinginkannya hadir.
Lunglai.
Tubuh Dira luruh bersama air kesedihan yang jatuh membasahi pipi.
Dira merutuki dirinya yang telah khilaf.
Ia juga merutuki Dariel yang tak berusaha mencegah hasrat.
Tidak mungkin seorang Dokter yang gemar menolong sesama akan tega melakukan perbuatan bia-dab. Membunuh janin tak berdosa, hasil dari khilaf terlarang yang dilakukannya sendiri bersama seorang pria berstatus sahabat.
Hampir satu jam Dira duduk di bawah guyuran air shower, meluapkan kesedihan bercampur amarah.
Ia marah karena tak bisa menjaga Marwah dan malah menyerahkannya pada Dariel.
Puas meluapkan segala rasa yang membuncah, Dira lantas memaksa raganya yang terasa lunglai untuk bangkit, kemudian membasahi bagian tubuhnya dengan air wudhu.
Di atas sajadah yang terbentang di sudut kamar, Dira tunduk dan khusyu'.
Ia adukan segala keresahan hati dan memohon ampunan pada Zat Yang Maha Kasih.
Rasa nyaman hadir dan mendekap erat. Seakan Illahi mengulurkan tangan dan memeluk tubuhnya sambil membisikkan kata yang menyejukkan kalbu.
Fa'inna ma‘al-‘usri yusrā(n).
Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.
Beserta kesulitan ada kemudahan.
Cukup lama Dira terlelap di atas sajadah dengan mukena yang masih membalut tubuh, hingga suara dering telepon membuatnya terjaga.
Dira meraih gawai yang tergeletak di atas nakas, lalu menerima telepon yang ternyata dari rumah sakit.
"Ya, hallo," ucapnya sambil menempelkan benda pipih itu tepat di telinga.
"Dokter Dira, tolong segera datang ke rumah sakit. Ada pasien yang baru saja mengalami kecelakaan dan harus segera dioperasi."
"Baiklah. Saya akan segera berangkat ke rumah sakit. Siapkan ruang dan peralatannya."
"Baik, Dokter."
Dira meletakkan kembali gawainya di atas nakas, lalu bergegas mengganti pakaian dan menyiapkan peralatan medis yang mesti dibawa.
Ia berjalan tergesa menuruni anak tangga dan hampir saja terjatuh karena kakinya terpeleset. Beruntung tangannya bergerak cepat dan bisa berpegangan pada kayu.
"Ayah, Bunda, Dira berangkat dulu ya." Dira sedikit berteriak tanpa menghampiri kedua orang tuanya yang tengah menikmati sarapan pagi. Kemudian berlari kecil menuju garasi dan menyambar kunci sepeda motor yang tergantung di dinding.
"Dira, kenapa buru-buru, Sayang? Ayo sarapan dulu." Nisa menanggapi dan mengeraskan suara agar terdengar oleh Dira.
Namun tak ada jawaban.
Dira sudah berlalu pergi dengan mengendarai sepeda motor. Bukan dengan mobil baru yang dibelikan oleh Firman.
"Hah, anak itu. Sudah dibelikan mobil baru, malah pergi dengan tunggangan keramatnya." Firman bermonolog lirih dan menghela napas dalam kala terdengar suara deru mesin sepeda motor yang dikendarai oleh Dira. Begitu juga Nisa.
Mereka hanya bisa mengelus dada dan berdoa semoga Dira terjauh dari mara bahaya yang berulang kali menimpa.
Tepat pukul tujuh pagi, Dira tiba di rumah sakit.
Ia berjalan dengan langkah lebar, melewati lorong rumah sakit dan membawa ayunan kakinya menuju ruang operasi.
Di depan pintu ruangan itu, tersaji pemandangan pilu. Seorang ibu terlihat duduk termenung dengan wajah yang terbingkai sendu.
Bibirnya merayu Illahi. Batinnya tersemat harap, semoga kasih-Nya menaungi putri tercinta.
Haru memenuhi ruang kalbu, mencipta titik-titik air yang mulai menganak di kelopak mata.
Tersirat kasih sayang yang begitu besar dari sikap dan ucap.
Dia, seorang malaikat tak bersayap. Yang memeluk erat sang buah hati dengan kasih dan untaian doa tulus.
Cintanya adalah mata air yang tak pernah kering dan pengorbanannya adalah sumber kekuatan untuk memperjuangkan hidup.
Maka, semestinya ia pun seperti itu.
Mengasihi janin yang kini tumbuh di dalam rahim serta menerima kehadirannya sebagai pemberian Illahi yang harus dijaga dan dicinta dengan sepenuh hati. Bukan malah membenci dan ingin menghabisi.
"Dok, tolong selamatkan putri kami," pinta seorang pria yang tiba-tiba berjalan menghampiri.
Pria itu memohon dengan penuh harap disertai manik mata yang terbingkai air duka.
Dira memaksa bibirnya untuk tersenyum dan bertutur. Membesarkan hati sepasang suami istri yang tidak ingin kehilangan putri semata wayang mereka.
"Pak, Bu, mari kita berdoa. Semoga operasi yang akan kami lakukan diberi kemudahan, kelancaran, dan keberhasilan. Sehingga putri Bapak, Ibu bisa kembali pulih dan ceria seperti sedia kala."
"Aamiin yaa Allah." Rustam dan Asih mengamini ucapan Dira. Begitu juga para dokter dan perawat yang berdiri di sekeliling mereka.
Dengan menyebut asma Illahi yang penuh kasih, Dira dan rekan-rekannya mulai menunaikan tugas mereka. Menyelamatkan nyawa seorang balita berusia empat tahun dari maut yang mungkin saja sedang mengintai.
Lebih dari dua jam, mereka berjuang di ruang operasi.
Peluh mulai bercucuran. Namun harapan tak sedikit pun memudar, meski operasi yang mereka lakukan kali ini cukup rumit dan mungkin memakan waktu lama.
"Bagaimana, Dok?" seorang perawat bertanya pada Dira.
"Alhamdulillah, sudah selesai. Pindahkan pasien ke recovery room dan minta kedua orang tua pasien untuk masuk ke ruangan saya," titahnya.
"Baik, Dok."
Perawat ber-nametag Syila segera menjalankan perintah Dira.
Ia meminta dua rekannya untuk memindahkan pasien ke recovery room, lalu menemui kedua orang tua pasien untuk menyampaikan pesan dari Dira.
"Silahkan masuk Pak, Bu." Dira mempersilahkan Rustam dan Asih untuk masuk ke dalam ruangan, lantas meminta mereka untuk duduk di kursi--berhadapan dengannya.
"Alhamdulillah, berkat doa Bapak dan Ibu ... operasi yang kami lakukan berjalan dengan lancar," tuturnya membuka percakapan.
"Saat ini Dek Aisya kami pindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang itu, putri Bapak dan Ibu akan dipantau secara ketat untuk memastikan kondisinya stabil dan pulih dari efek anestesi. Setelah kondisinya stabil dan tanda-tanda vital normal, kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap untuk pemulihan lebih lanjut," imbuhnya seraya menjelaskan.
"Alhamdulillah, terima kasih ... Dok." Rustam dan Asih kompak membalas ucapan Dira.
Dira lantas menunjukkan botol bening berisi darah yang sedikit menggumpal pada Rustam dan Asih. Kemudian ia menjelaskan bahwa darah itu adalah gumpalan darah yang diambilnya dari kepala Aisya--putri mereka.
"Pak, Bu, jangan lelah berdoa. Mohon pada-Nya, semoga Dek Aisya segera pulih dan kembali ceria."
"Iya, Dok. Kami akan selalu berdoa untuk Aisya, putri kami." Asih menanggapi ucapan Dira dan menyeka air bening yang kembali mengalir.
"Yang sabar, Pak, Bu. Yakin pada kasih sayang-Nya. Insya Allah, ujian yang terasa berat ini akan segera terlewati dan berganti dengan kebahagiaan."
"Fa'inna ma‘al-‘usri yusrā(n). Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan." Dira mengutip salah satu ayat yang terpatri di dalam hati.
Ayat yang membuatnya bangkit dari keputusasaan dan membuatnya ridho pada goresan takdir yang harus dijalani.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah