Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Dilarang Masuk!
Hari itu, pusat perbelanjaan dipenuhi suara riuh rendah dan aroma parfum mahal yang samar-samar menyelimuti udara. Orang-orang berlalu-lalang, sebagian besar dari kalangan atas, sibuk memilih barang mewah yang tak semua orang bisa jangkau. Di antara keramaian itu, sesosok gadis berwajah anggun menarik perhatian lebih dari beberapa pasang mata.
Melihat punggung Vilya, gadis itu langsung menyikut lengan anak laki-laki di sampingnya. “Eh, bukankah itu Vilya?”
“Serius itu dia?” Anak laki-laki itu menatap ke arah mobil mewah yang baru berhenti.
“Wah, mobilnya keren banget… jangan-jangan dia jadi simpanan?”
“Jelas aja!” Gadis di sampingnya mendengus.
“Gayanya sok cuek gitu, tapi ternyata bisa juga santai naik mobil mahal!” Ujarnya.
Anak laki-laki itu terkekeh kecil, lalu menggeleng pelan. “Dulu banyak yang suka dengannya, tapi dia nolak semua dengan alasan fokus belajar. Sok banget. Padahal, dari sikapnya sekarang, jelas-jelas dia nggak peduli sama cowok-cowok seangkatan kita.”
“Cih, belajar apanya?" Gadis itu hanya mencibir.
"Orang kaya memang beda!" ujar anak laki-laki itu sambil memandangi mobil mewah yang barusan lewat. Dalam hati, ia tahu, mobil seperti itu mungkin tak akan bisa ia miliki seumur hidup.
"Tapi lihat deh," celetuk gadis di sampingnya dengan nada sinis. "Yang duduk di sampingnya itu nggak kelihatan muda. Umurnya kayak seumuran ayahku!"
"Yah, emang begitu. Lelaki tua memang suka sama siswi muda seperti itu," sahut si anak laki-laki sambil menyikut gadis di sebelahnya. "Mungkin aja Vilya juga suka yang dewasa dan... berpengalaman."
"Ew, Andreee! Gadis itu langsung menjauh dengan ekspresi muak.
Andre malah tertawa puas, geli dengan reaksinya.
Sementara itu, Vilya yang duduk tenang di dalam mobil sama sekali tidak menyadari percakapan mereka. Ia tidak punya waktu untuk mengurusi suara-suara dari masa lalu yang sudah tak berarti. Fokusnya hanya satu: ke mana langkah ini akan membawanya selanjutnya.
Saat ini, Arabelle masih ada di kediamannya. Melihat dari sikapnya, ia pasti belum akan berhenti sampai puas.
Tapi justru itu bagus. Sedikit demi sedikit, dia akan merasakan sendiri balasan dari semua hal buruk yang pernah dilakukannya di kehidupan lalu.
Memikirkan itu, Vilya mengulum senyum tipis.
Tatapannya melirik ke arah gaun baru yang terlipat rapi di pangkuannya.
“Paman Edgar,” panggilnya lembut, “boleh aku minta tolong sesuatu?”
“Tentu, Nona. Ada apa?” tanya Edgar sambil tetap fokus menyetir.
“Aku ingin titip gaun ini dulu, boleh? Takutnya nanti kena noda. Tiga hari lagi pesta, aku nggak mau ambil risiko.”
“Baik, serahkan saja padaku. Akan kusimpan dengan aman,” jawab Edgar tanpa ragu.
“Terima kasih,” ujarnya sambil tersenyum.
Di kehidupan sebelumnya, pria paruh baya itu banyak membantu ayahnya menyelesaikan berbagai urusan penting. Bahkan tak jarang ikut memberi saran—meski beberapa di antaranya tidak sepenuhnya menguntungkannya. Tapi sekarang, semuanya berbeda. ia tak akan lagi jadi gadis yang bisa dipermainkan.
Ia menatap kosong ke luar jendela. Di kehidupan ini, ia tidak lagi ingin di mengerti—kalau mereka ingin membencinya, biarlah. Ia akan membuat mereka semakin membencinya.
Setibanya di kediaman, Edgar membawa masuk tas-tas belanjaan ke ruang tamu. Elmira dan Arabelle sudah duduk di sana seperti nyonya besar, ditemani Elena yang langsung melirik tajam begitu melihat beberapa peper bag tas bermerek di tangan Edgar. Matanya membulat. Semua itu… seharusnya miliknya!
Elena mengepalkan tangannya. Rasa kesal dan iri menumpuk di dadanya. Sejak gadis itu kembali, ia bukan lagi putri tertua keluarga ini.
Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut posisinya.
Tidak akan.
“Vilya, kamu sudah pulang?” Elmira menyapa sambil melirik tas-tas belanjaan di tangan Edgar. Ada kilatan tidak suka, tapi cepat-cepat disembunyikannya. "Ternyata Edgar juga ikut."
"Nyonya." Edgar menunduk sopan.
"Belanjaannya banyak juga, ya." Elmira berdiri dan tersenyum lagi, "Apa masih ada yang kurang, perlu bibi tambahkan uang?"
“Tidak perlu,” ucap Vilya datar. Ia lalu menoleh pada Edgar. “Paman Edgar, bisa tolong bawa barang-barangnya ke kamar?”
“Tentu, Nona.” Edgar langsung meraih tas-tas itu tanpa keberatan. Wajar saja, ia tidak mungkin mengangkat semuanya sendiri.
Elmira buru-buru menyela, “Erland, kenapa kamu diam saja? Cepat bantu!”
“Ya, Nyonya.” Kepala Pelayan Erland maju sambil tersenyum, menerima barang dari Edgar. “Terima kasih, Tuan Edgar. Sudah repot-repot.”
“Tidak masalah.” Edgar mengangguk sopan. Ia hanya menjalankan tugas dari Tuan Marvin.
Vilya tidak berkata apa-apa dan langsung melangkah menuju kamarnya. Erland mengikuti di belakang, tapi baru selangkah hendak masuk—
“Berhenti.” Suaranya terdengar dingin. Ia duduk di kursi dan menatapnya tajam. “Aku tidak mengizinkanmu masuk.”
Erland terdiam, wajahnya kaku. Ia berdiri di ambang pintu, matanya membulat karena kesal.
“Kamarku bukan tempat untuk anjing liar.” Vilya menyipitkan mata. “Letakkan saja barang-barangnya di depan pintu.”
Ekspresi Erland langsung berubah. Tepat saat ia hendak meletakkan barang-barang itu dengan kasar, ia dengan santai berkata “Ayah yang meminta Sekretaris Edgar membelikannya untukku.” Kalimat itu membuat tangan Erland sedikit gemetar, lalu ia mencibir pelan.
Akhirnya, ia menahan amarah dan dengan terpaksa meletakkan tas-tas belanja itu satu per satu di depan pintu kamar. Ia sudah bekerja di kediaman Elora bertahun-tahun, tapi baru kali ini dibentak seperti itu.
“Erland, kau kelihatannya lebih taat pada perintah Ibu tiri ku itu dari pada pada Tuan mu sendiri. Aku mulai ragu, sebenarnya gajimu dibayar Tuan mu, atau Ibu tiri ku” sindir Vilya tanpa ragu.
Mendengar itu, ekspresi wajah Erland kaku. Ia tahu, Vilya sedang membalas perlakuan buruknya selama ini. Dengan bibir tertarik ke samping, ia hanya tersenyum dingin, seolah menganggap kata-kata itu tak berarti.
“Kau boleh pergi sekarang.”
Erland mengepalkan tangannya diam-diam lalu membalikkan badan, dan meninggalkan kamar dengan kesal.
Baru setelah itu ia mengangkat wajahnya. Tidak peduli siapa yang lebih dulu menekan, kali ini, tidak ada yang boleh seenaknya lagi.