"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Hujan dini hari itu masih menyisakan bau tanah basah yang pekat. Rumah sakit tampak lengang, hanya suara langkah perawat sesekali terdengar di lorong panjang. Di ruang tunggu, Gus Zizan duduk dengan wajah letih, mata merah karena semalaman tak tidur, sementara tasbih masih berputar di jemarinya.
Pintu ruang perawatan terbuka, seorang dokter keluar. Wajahnya masih serius.
“Alhamdulillah, kondisinya sedikit membaik setelah diberikan obat dan cairan. Namun pasien harus dirawat intensif, kami perlu cek laboratorium dan pemeriksaan lebih dalam. Kalau telat, penyakitnya bisa makin berbahaya.”
Salsa yang mendengar kabar itu langsung menangis lega. Ia memeluk Dewi dan Mita yang baru datang menyusul. “Alhamdulillah… setidaknya sekarang Lara sudah lebih baik…”
Gus Zizan menunduk, hatinya sedikit lega. Tapi di balik syukur itu, ia merasa semakin yakin. Keyakinan yang sejak lama ia simpan dalam-dalam, kini bergejolak, menuntut keluar.
Pagi itu, ketika sinar matahari malu-malu masuk melalui jendela rumah sakit, Kyai Zainal datang bersama beberapa ustadz senior pondok. Aura wibawa dan kemarahan menyelimuti langkahnya. Semua santri yang kebetulan melihat langsung menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajahnya.
“Zizan, ikut Abi sekarang,” suara Kyai Zainal tegas, dingin, dan tak bisa dibantah.
Salsa dan teman-temannya saling pandang, khawatir. Tapi Gus Zizan hanya mengangguk, lalu bangkit, meninggalkan Dilara yang masih terbaring lemah. Sebelum keluar, ia sempat menoleh sebentar, menatap wajah pucat itu dengan doa yang tak sempat diucapkan.
Di sebuah ruangan khusus rumah sakit yang dipinjam untuk pertemuan, Kyai Zainal duduk dengan wajah tegang. Beberapa ustadz mendampingi, suasananya seperti majelis penghakiman.
“Zizan,” suara Kyai Zainal akhirnya terdengar. “Abi sudah cukup bersabar denganmu. Berulang kali Abi peringatkan, berulang kali Abi larang, tapi kamu masih saja keras kepala. Apa kamu sudah lupa siapa dirimu? Kamu itu pewaris pondok ini! Masa depan ribuan santri ada di pundakmu! Dan kamu berani menukar semua itu hanya karena seorang santri perempuan?”
Suara Kyai Zainal menggema, membuat dada Gus Zizan bergetar. Namun kali ini, ia tidak mundur. Ia menatap langsung ke arah ayahnya, dengan mata yang penuh tekad.
“Abi… saya tahu siapa saya. Saya tahu amanah besar yang Abi titipkan. Tapi apakah salah kalau saya juga ingin bahagia? Apakah salah kalau saya ingin mencintai dengan benar?”
“Cukup, Zizan!!!” bentak Kyai Zainal. “Cinta? Kamu bicara cinta pada Abi? Cinta itu bisa menyesatkan kalau tidak ditempatkan di jalan yang benar! Dan perempuan itu… perempuan itu hanya akan jadi fitnah untukmu!”
Hening sejenak. Lalu, dengan suara yang bergetar tapi tegas, Gus Zizan berdiri, menunduk hormat, lalu berkata lantang,
“Saya ingin menikahi Dilara, Abi!!!”
Kalimat itu meledak seperti petir di ruangan. Semua ustadz terperangah. Salah seorang bahkan terbatuk, menahan keterkejutannya.
Kyai Zainal terdiam, wajahnya merah padam, urat di pelipisnya menegang. Seakan tak percaya telinganya sendiri mendengar kalimat itu keluar dari mulut anaknya.
“Zizan… apa kamu sadar apa yang kamu katakan?” suaranya pelan tapi berbahaya.
Gus Zizan mengangguk mantap. “Saya sadar, Abi. Justru karena saya sadar, saya tidak ingin main-main. Saya tidak ingin terus menerus dicap mendekati Dilara dengan sembunyi-sembunyi. Jalan satu-satunya agar semua jelas, agar semua halal, adalah pernikahan. Saya mencintainya, Abi. Demi Allah, saya mencintainya.”
“Na’udzubillah!” seru salah satu ustadz senior. “Gus, istighfar! Bagaimana mungkin seorang putra Kyai besar seperti Anda menjatuhkan pilihan pada seorang santri biasa? Banyak ulama, banyak kyai, banyak keluarga terhormat ingin menjodohkan putrinya dengan Anda! Tapi Anda malah… malah… Apalagi anda sudah mengkhitbah Ning Lydia.”
“Cukup!” potong Kyai Zainal. “Biarkan aku sendiri yang berbicara!”
Tatapan Kyai Zainal menusuk ke arah anaknya. “Zizan, dengar baik-baik. Abi tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan Dilara. Kalau kamu tetap nekat, jangan pernah sebut dirimu anakku lagi. Jangan pernah pulang ke pondok ini lagi!”
Suasana menjadi beku. Kalimat itu bagai pedang yang menebas hati Gus Zizan.
Air matanya menitik, tapi ia tersenyum getir. “Kalau itu harga yang harus saya bayar, Abi… saya rela. Tapi tolong, jangan salahkan Dilara. Semua ini keputusan saya. Semua ini cinta saya.”
Malam itu, Gus Zizan kembali ke mushola rumah sakit. Ia bersujud lama, air matanya membasahi sajadah. Hatinya sakit, tapi tekadnya semakin bulat.
Di sisi lain, Dilara terbangun dari tidurnya. Salsa menemaninya.
“Salsa…” suara Dilara pelan. “Kenapa matamu bengkak?”
Salsa tersenyum hambar. “Nggak apa-apa. Aku cuma khawatir sama kamu.”
Namun Dilara bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. Ia menatap sahabatnya, lalu bertanya lirih, “Salsa… apa Gus Zizan baik-baik saja? Aku… aku takut, semua ini bikin beliau susah.”
Air mata Salsa akhirnya jatuh. Ia memegang tangan Dilara erat-erat. “Lara… kamu nggak tahu. Demi kamu, Gus Zizan berani melawan Kyai Zainal. Demi kamu… dia rela kehilangan semuanya.”
Dilara terperanjat. “Astaghfirullah… jangan… jangan begitu, Salsa. Aku tidak pantas. Aku hanya santri kecil. Aku tidak ingin jadi penyebab kehancuran keluarga pondok ini…”
Suaranya pecah, air matanya jatuh.
Keesokan harinya, kabar meledak di dalam pondok. Bisik-bisik santri menyebar cepat: “Gus Zizan ingin menikahi Dilara.”
Sebagian terkejut, sebagian mencibir, sebagian lagi diam-diam mendukung. Tapi yang jelas, suasana pondok menjadi panas.
Kyai Zainal semakin murka. Beliau mengumpulkan semua ustadz dan pengurus pondok. “Mulai hari ini, jangan ada lagi yang menyebut-nyebut nama Dilara di dekatku. Dan kamu, Zizan…” suaranya berat, “Abi akan menikahkanmu dengan putri ustadz Yusuf, Ning Lydia bulan depan. Itu sudah Abi tetapkan. Tidak ada tawar-menawar!”
Gus Zizan menggeleng... "Tidak, Abi.."
"Jangan membantah! Abi tidak mau mendengar bantahan kamu!" Kyai Zainal pergi meninggalkan Gus Zizan yang terdiam.
Berita itu sampai ke telinga Dilara di rumah sakit. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Air matanya mengalir deras.
“Kalau begitu… aku harus pergi. Aku harus keluar dari pondok, Salsa. Aku tidak boleh menghancurkan hidup Gus Zizan.”
Salsa memeluknya erat. “Tapi Lara… bagaimana dengan perasaanmu sendiri?”
“Apa pun perasaanku, aku tidak boleh egois. Aku harus mengalah…”
Malam itu, Gus Zizan berhasil menyelinap masuk ke ruang perawatan Dilara. Ia duduk di sampingnya, wajahnya penuh luka batin.
“Lara…” suaranya serak. “Aku sudah bilang pada Abi. Aku ingin menikahimu.”
Dilara terkejut, tubuhnya gemetar. “Gus… kenapa Anda melakukan itu? Itu hanya akan membuat Anda dimusuhi Abi… membuat pondok jadi kacau…”
“Biar aku yang tanggung semua, Lara. Biar aku yang jadi durhaka, biar aku yang dibenci. Asal kamu tetap hidup. Asal aku bisa menjagamu.”
Air mata Dilara mengalir deras. Ia menggenggam tangan Gus Zizan. Membuat pria itu tersentak, Gus Zizan ingin menarik tangannya, namun urung saat Dilara menggenggam tangannya dengan erat.
"Dilara...."
“Maaf Gus... Tapi.. Kenapa… kenapa Anda rela sejauh ini untuk aku? Aku bukan siapa-siapa…”
Gus Zizan menatapnya dalam-dalam. “Kamu adalah segalanya untukku, Lara.”
Namun, tanpa mereka sadari, dari balik pintu, Kyai Zainal berdiri dengan wajah membara. Matanya menyala bagai bara api. Ia mendengar setiap kata anaknya, dan itu membuat hatinya semakin hancur.
“Zizan!!!” suara Kyai Zainal mengguntur.
Keduanya terkejut. Dilara langsung melepaskan genggaman tangan Gus Zizan, pucat pasi.
Kyai Zainal melangkah masuk, sorbannya basah oleh keringat meski udara malam dingin.
“Mulai malam ini, Zizan, kamu bukan lagi pewaris pondok ini. Abi sudah cukup! Kamu lebih memilih perempuan itu daripada amanah ribuan santri. Silakan! Tapi jangan pernah kembali mencari Abi lagi!”
Suasana meledak. Tangisan Dilara pecah, tubuhnya bergetar keras. “Kyai… jangan salahkan Gus Zizan! Semua ini karena aku… aku yang salah… aku yang harus pergi…”
Namun Gus Zizan berdiri, menatap ayahnya dengan penuh luka tapi juga keberanian. “Abi… kalau itu keputusan Abi, saya terima. Tapi saya tidak akan berhenti memperjuangkan Dilara.”