Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan Jejak
Cahaya bulan tak cukup menjadi penerangan, apalagi medan pengejaran Parto bukan tempat yang mudah. Lebih buruknya, dua sosok yang diharapkan bisa membantu, nyatanya justru tak bisa melakukan apapun.
“Kemana dia pergi tadi?” tanya Parto diantara napasnya yang terengah. “Loh!” Langkah Parto terhenti, tertegun menatap ke sekeliling.
“Kalian nggak salah kan, tadi dia ke arah mana?” Parto kembali memastikan, jika apa yang dilihatnya tak keliru.
Dua sosok itu pun mengangguk, membenarkan pemandangan di depan mata mereka.
“Tunggu sebentar, jika di sebrang jalan itu rumah pak RT—” Parto berpikir sejenak, memperhatikan dimana lokasi tempat ia berdiri saat ini.
Dari tempatnya, ia melihat jalan tengah desa, dengan rumah pak Ngatnu terlihat sedikit lebih kecil di ujung jalan. Lalu Parto menghitung dan mengingat jarak-jarak antar rumah warga.
“Berarti rumah di depan kita ini, adalah rumah Sukijo.” rasanya tak bisa berpikir jernih, saat mendapati dirinya tengah berada di sawah kecil tepat di belakang rumah Sukijo.
Entah bagaimana caranya dan berapa kali ia berbelok di perkebunan tebu tadi, hingga Parto kehilangan arah dan berakhir di tempat itu setelah keluar dari rimbunan pepohonan tebu.
“Aku tak yakin pasti, tapi jejak orang itu benar-benar menghilang di sini!” terang Jumini bernada kecewa karena tak bisa membantu mengejar si pria bertopeng.
Lalu mereka melihat siluet bayangan bergerak wajar layaknya seseorang berjalan di jalanan kampung.
“Mungkin itu dia!” tunjuk Jumini.
Parto segera berlari melewati pinggiran sawah, menuju ke orang itu. Beruntung cahaya bulan cukup untuk penerangan.
“Kalian kan hantu, harusnya bisa melesat dan melayang lebih cepat dari manusia, tapi—”
“Orang itu pasti punya aji-aji, sampai kita kesulitan mengejar!” kilah Jumini.
“Apaan aji-aji, bilang aja kalian nggak bisa cepet!”
Hingga akhirnya sosok yang berjalan di jalan utama itu pun menghentikan langkah kakinya karena melihat Parto yang berlarian.
“Kamu ngapain malah lari-lari di sawah?” Sapa orang itu penuh rasa penasaran setelah Parto mencapai jalan, lalu mengatur napas.
“Mas Kijo, tadi apa ada pria aneh ke pekarangan rumahmu?” Napasnya masih tersengal karena habis berlarian.
“Orang aneh?” tanya balik Sukijo memastikan ia tak salah mengerti, lalu menggeleng. “Di rumahku cuma ada ibu, Seli, Pak Mangun, Pak Kario, Mbah Jumar, sama Bu kariyem. Eh, sama Bu Jemiyem juga ada.”
Parto berjalan mendekati Sukijo lalu berdiri tepat di sebelahnya.
“Coba kamu inget-inget, Mas. Orangnya tingginya hampir sama kayak kamu segini,” terang Parto seraya mengibaskan tangan membandingkan tinggi Sukijo yang hanya sepundaknya Parto.
“Terus?” tuntut Sukijo tak paham, sedangkan Parto masih berusaha mengingat dan mencari ciri lain dari pria bertopeng.
“Rambut? Atau suaranya? Tangan, kaki, mata, atau ciri lainnya?” Ucap Sukijo, kalau saja bisa membantu Parto memikirkan hal-hal mendasar pada bagian tubuh yang mudah terlihat.
Parto tampak mendesah kecewa. “Dia pakai topeng, dan sulit aku melihat hal lain, karena gelap. Tapi bau tubuhnya itu khas, kayak bau oli atau bensin gitu.”
“Heh? Masa orang kok bau bensin?”
“Ya hampir mirip-mirip kayak gitu lah, Mas. Kita lihat ke rumahmu pie? Kali aja dia sembunyi disana.”
“Wes gini aja, kenapa dan bagaimana kamu bisa ketemu orang itu? Ayo sambil kita ke pos ronda, kita lapor dulu, aku takut ngejar orang malem-malem.”
Parto pun menurut, lalu menceritakan sedikit bagaimana ia bertemu hingga akhirnya bertarung dan berakhir kehilangan jejak.
“Jadi, kemungkinan besar, dia pelaku yang tega membunuh wanita itu? Ah! Pantas kamu yakin banget kalian yang dikubur itu bukan Jumini!” Sukijo baru bisa memahami alur kejadian yang dialami Parto, namun Parto masih tak tega menceritakan mengenai keberadaan Jumini yang sejak tadi cemberut melirik ke arah Sukijo.
“Ya kira-kira seperti itulah, Mas. Makanya aku pengen nangkep orang itu, soalnya dalam mimpiku itu, aku ditunjukkan kejamnya pria itu ngannu-in ceweknya itu, Mas.”
Sukijo pun mendesah kecil, “Kok tega ya. Wanita itu harusnya dilindungi dan dicintai.”
“Cih! Gombale Sukijo! Laki-laki curigaan gitu kok bilang mencintai wanita, ngapusi huh!”
Parto yang mendengar gerutu-an Jumini hanya bisa menahan tawa.
“Tapi nanti kalau laporan, jangan bilang soal mimpimu ya, nanti kamu dikira wong edan suka ngarang. Cukup bilang aja kalau nggak sengaja ketemu di jalan, pas kamu habis dari pemakaman.”
“Nggih, Mas.”
“Eh, jangan bilang kalau dari makam juga deng, kan kamu tadi diusir, bilang aja kamu dari rumahku.”
“Oh, iya, Mas. Betul juga itu.”
“Tuh, Kan. Kumat plin-plan, katanya cinta, tapi nafkah nggak ada! Giliran wong wedok kerja, dicurigai, opo ngono kui!” gerutu Jumini lagi.
“Loh, Mas Kijo mau kemana, jam segini malah jalan sama Mas Parto?”
Tiba-tiba sapaan dari pak Ngatnu yang muncul dari halamannya.
“Eh, kebetulan, Pak. Sampeyan belum istirahat?”
Akhirnya Sukijo dan Parto pun menceritakan kejadian yang dialami Parto malam itu, mengenai si pria bertopeng.
“Kita nggak mungkin mencari keliling desa malam begini, beberapa hari ini warga sudah sangat kelelahan. Besok kita rembuk dulu, baru nanti kita cari tahu.” Dengan bijak pak Ngatnu terlihat begitu memperhatikan warganya.
“Sekarang, kalian istirahat saja dulu, Mas Parto pasti juga tertekan karena banyak hal kan? Maaf jika saya tak bisa berbuat banyak, bagaimanapun saya harus adil dengan warga-warga saya juga.”
Parto pun akhirnya berpamitan, dan kembali ke ruko. Kali ini ia melewati jalan utama dengan ditemani dua sosok teman barunya.
“Huh! Rasanya lelah sekali!” ucapnya lalu merebahkan badan di lantai, dekat meja kasir.
“Bersih-bersih badan dulu, Tok! Kamu habis dari kuburan loh! Awas nanti ada arwah lagi yang nemplok!” Jumini mengingatkan, lalu entah kenapa dua arwah itu menghilang dari pandangan Parto.
Dengan malas Parto bangkit dan membersihkan diri, lalu tertidur dengan pulas.
.
.
.
Sementara itu di tempat lain, seseorang menatap lurus pada ruko yang sekarang di tinggali Parto. Tampak jauh dari pandangannya, hanya terlihat kerlip lampu kecil yang terpasang di balkon belakang.
“Lagi lihatin apa Pak?” seorang warga menepuk pundaknya membuatnya terkejut lalu menoleh.
“Oh? Lagi lihatin ruko, kangen anakku, Mas.”
“Nggak ada kabar sama sekali toh, Pak, dari Mas Walji?”
Pak Ngatnu menggeleng seraya tertunduk. “Enggak, Pak. Lapor polisi pun cuma disuruh menunggu, mereka bilang kemungkinan Walji sengaja kabur dari rumah.”
“Sabar, Pak. Kami para warga juga bersalah, karena tega mengusir Mas Walji, mau bagaimana pun kami waktu itu juga sangat marah.”
“Benar, mungkin Mas Walji hanya sedang merenungi perbuatannya, Pak. Dan nanti saat kembali ke kampung ini lagi, semoga sudah jadi lebih baik.”
“Iya, benar. Maafkan anak saya juga ya, bapak-bapak sekalian.”
.
.
.
Malam pun berlalu, dan kini matahari telah menghangatkan kampung Kalibaru dan sekitarnya.
Parto telah siap dengan ransel, tak lupa benda-benda penting yang harus dia bawa ke kota, ia cek kembali.
“Kali ini aku ke kota buat ketemu temenku yang bisa melihat apa yang terjadi dengan benda-benda ini! Jangan ganggu dan jangan buat aku tersesat!” seru Parto ke udara di dalam kamarnya.
Tentu tak ada sahutan, ia hanya berharap sosok si pemilik kasar itu mengerti ucapannya. Pasalnya Parto masih ingat jelas bagaimana sebelumnya ia tiba-tiba kembali tertarik ke kampung itu saat berusaha melarikan diri.
Parto mengunci pintu ruko, lalu berjalan menuju ke halte mini.
“Loh? Ngapain di sini? Nggak sekolah?” berondong Parto saat melihat Lasmi ada di sana.
“Lama banget sih, Mas! Tak tunggu dari jam enem loh! Kan aku mau ikut ke kota!”
“Heh!aku ngapain? Aku mau ketemu—”
“Temanmu yang jadi petugas polisi fosforik kan? Aku mau ikut pokoknya!”
“Fosforik apaan? Forensik elah!” Parto terkekeh dengan kepolosan Lasmi.
“Nah itulah, kenapa nggak telpon dulu, Mas?”
“Nggak tahu dimana biar dapet sinyal, jadi ntar aja telponnya kalau udah di terminal.”
Perjalanan pun tampak lancar, hingga ke terminal. Namun Parto masih harus menempuh perjalanan hampir delapan jam dengan bus antarkota.
“Resiko kalau bawa kamu ke kotaku, kamu jagain kampung aja, dan laporkan padaku nanti jika aku kembali!" pamit Parto yang disambut wajah Lasmi yang merenggut.
...****************...
Bersambung ....