Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Hati yang mudah berpaling.
“Malam ini aku senang sekali bisa mengobrol santai denganmu! Kamu juga ternyata wanita yang asik, tidak seperti kebanyakan wanita yang aku kenal. Selain cantik, kamu juga mandiri,” puji Gavin mengakhiri obrolan panjang di antara mereka.
Terlalu asiknya menikmati waktu kebersamaan, Gavin sampai tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Andai Yonna tak mengingatkan, mungkin mereka berdua akan tetap berada di sana hingga jam operasional kafe selesai.
Yonna tak menyangka seorang Gavin yang selalu bersikap kasar dan ketus terhadapnya bisa memperlakukan wanita dengan begitu lembut. Mereka bahkan bisa ngobrol santai dan saling nyambung satu sama lain.
Tidak seperti saat mereka masih hidup bersama dulu, Gavin kerap berkata ketus dan memperlakukannya dengan begitu kasar. Jangankan untuk berbicara berdua, meliriknya saja pria itu terasa begitu enggan. Selama 2 tahun pernikahan mereka, ia tak ubahnya seperti istri pajangan tanpa malam pengantin.
“Kamu selalu muji-muji aku dari tadi, Mas. Bikin aku malu.” Yonna beranjak dari duduknya yang di ikuti oleh Gavin.
Mereka berdua berjalan keluar kafe. Lagi-lagi Gavin memperlakukannya dengan begitu manis, membukakan pintu untuknya saat dirinya akan keluar. Di balik senyum, untuk sekian kali Yonna merasakan hatinya tercubit nyeri.
“Kecantikan dan keindahan fisik mengubah cara dan perlakuanmu padaku, Mas!” batin Yonna perih. Dadanya terasa begitu sesak, namun sekuat hati ia tahan.
“Aku tidak hanya memuji, tetapi itu memang kesan yang aku tangkap darimu dari beberapa kali pertemuan kita. Oh ya, kamu pulang naik apa? Mau aku antar? Wanita secantik kamu tak aman pulang ke rumah sendiri malam-malam begini.”
Yonna menatap lelaki yang berdiri di sampingnya ini. Lengan baju yang terlipat hingga ke siku, ditambah dua kancing bagian atas yang terbuka memamerkan dadanya yang bidang. Salah satu kriteria lelaki idaman para wanita. Tampan.
“Aku tidak mau merepotkan. Aku tadi datang membawa mobil sendiri, jadi aku akan pulang sendiri saja.” Yonna menunjuk mobil putih yang terpakir di seberang tempat mereka berdiri dan ternyata bersebelahan dengan mobil yang dibawa oleh Gavin.
Yonna tentu saja tidak mengetahuinya karena Gavin yang datang lebih dulu daripada dirinya.
“Baiklah kalau gitu, nanti sampai rumah kabari aku ya, cantik! Aku khawatir,” ujar Gavin menggoda. Yonna membalas tatapan mata nakal Gavin dengan senyuman centil, akan tetapi jauh di dasar hatinya wanita itu begitu muak.
Mungkin saat sampai di rumah ia akan mandi berulang kali dengan kembang setaman agar jejak sentuhan pria itu yang menjijikkan dapat terhapus dari kulitnya.
Yonna melangkah meninggalkan Gavin. Melambaikan tangan sebelum memasuki mobilnya sendiri. Menghidupkan stater mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut denagn segala amarah yang kian menumpuk di hatinya.
Dua tahun ia percaya, jika memberikan cinta dalam sebuah hubungan, maka ia akan mendapatkan balasan cinta itu kembali. Tetapi nyatanya semua itu hanyalah ilusi dari apa yang ia berikan.
Kesempurnaanlah yang menjadi penentu sebuah perasaan. Mungkin istilah “datangnya cinta berawal dari mata turun ke hati” benar adanya. Dan sayangnya dulu ia terlalu naïf hingga tak menyadari hal itu.
Setelah kepergian Yonna, Gavin pun melakukan hal yang sama. Melajukan mobilnya meninggalkan halaman parkiran kafe yang begitu luas dan telah sepi.
Di bawah langit gelap bertaburan bintang yang begitu terang, mobil berwarna hitam itu membelah jalanan kota yang belum lenggang. Bibirnya bersenandung riang, suasana hati Gavin menjadi begitu baik setelah bertemu pujaan hati yang baru.
~ ~ ~
Gisella mondar-mandir di kamarnya dengan hati yang gelisah. Telpon di genggaman tangannya berulang kali mengeluarkan suara operator yang memberitahukan jika nomor yang ia tuju berada di luar jangkauan. Jangankan untuk menunggu beberapa saat seperti pesan suara wanita dari operator tersebut, menunggu sedetik saja sudah membuat wanita itu uring-uringan.
Sejak Bryan lahir sikap Gavin berubah padanya, tak lagi bersikap romantis apalagi memanjakannya. Sampai putra mereka menginjak umur satu tahun, hubungan yang awalnya hangat itu pun berubah menjadi semakin dingin dan nyaris hambar bagi keduanya.
“Di mana sih kamu, Mas? Kenapa jam segini belum juga pulang!” gerutu Gisella yang sedang berdiri di balkon kamar. Ia berharap dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya bisa meredakan panas hatinya saat ini.
Gisella menarik ponsel yang sedang menempel di telinganya. Menekan ulang kombinasi nomor tersebut untuk kembali menghubungi suaminya itu. Hal itu Gisella lakukan berulang-ulang kali hingga akhirnya matanya menangkap bayangan mobil yang memasuki pekarangan rumah. Gisella langsung turun ke lantai bawah untuk menyambut ke datangan suaminya.
Rumah besar dengan empat pilar yang berdiri kokoh di tengah sebagai penopang. Bagian luar rumah itu di dominasi warna putih dengan gradasi warna kuning emas di setiap ukiran pinggirnya. Berdiri di atas tanah yang luasnya bisa untuk membuat dua buah lapangan bola.
“Dari mana saja kamu, Mas? Kenapa sedari tadi telponku tidak kamu angkat? Aku tanya pada asistenmu, kamu sudah pulang sejak sore tadi!” Gisella mencecar Gavin yang baru saja masuk dengan banyaknya pertanyaan. Gavin tampak melengos, melewati istrinya dan mengabaikan pertanyaan istrinya yang menurutnya tak penting itu.
“Mas, tunggu! Jawab pertanyaanku.” Gisella menahan lengan suaminya yang langsung di tepis Gavin kasar. Gisella terhuyun ke belakang, andai saja ia tidak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Mungkin ia sudah jatuh terjerembak ke lantai.
“Mas kamu, kamu mau kemana? Jawab dulu pertanyanku!” Gisella mengejar suaminya hingga ke kamar mereka.
Hingga di kamar pun Gisella masih tidak ingin melepaskan suaminya. Bukan pertama kali Gavin melakukan hal ini padanya. Hatinya sebagai seorang istri begitu sakit menahan kegelisahan membayangkan suaminya sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luaran sana.
“Mas! Jawab aku!” sentak wanita itu semakin emosi karena tak kunjung mendapatkan jawaban.
“Apa sih! Kamu cerewet sekali, suami pulang bukannya diurusi malah banyak sekali tanya seperti polisi saja!”
Pasangan suami-istri itu berhadapan. Gavin membuka kancing lengan dan bajunya, ia yang gerah sudah ingin menyegarkan tubuhnya di bawah pancuran air dingin yang menyegarkan.
“Malam ini wanita mana lagi yang kamu temui, Mas! Jawab aku, Mas!”
“Berisik!” teriak Gavin pada Gisella yang terus menekannya. Gavin juga mendorong tubuh wanita yang telah memberinya seorang putra itu kasar hingga terjerembak ke atas ranjang.
“Tugasmu hanya di rumah dan mengasuh anak dengan baik. Jadi jangan ikut campur dengan urusanku kalau kau masih mau hidup enak di rumah ini sebagai istriku. Mengerti!” tandas Gavin tegas. Langkah kakinya terhentak memasuki kamar mandi dengan begitu kesal.
Gavin tidak suka dengan sikap cemburu wanita itu, sejak awal Gavin tidak benar-benar mencintai Gisella. Lalu bagaimana Gisella dapat mengaturnya akan kapan dan ke mana ia pergi serta bersama siapa ia bermalam.
“Mas, kamu keterlaluan!” Geram Gisella dengan bulir Kristal yang kini mengalir di kedua pipi.