Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18: The Silence Before the Storm
Salju pertama tahun itu turun di atas Ravennor tanpa suara, menyelimuti atap-atap istana dengan keheningan yang terasa lebih menusuk dari ribuan teriakan perang. Kabut es melayang di udara, menggigit kulit para penjaga yang berjaga di gerbang, sementara angin membawa kabar bisik-bisik dari perbatasan: pemberontakan semakin dekat.
Di dalam istana, Seraphine berdiri di ruang takhta yang kini kosong. Pilar-pilar tinggi berhiaskan ukiran singa bersayap memantulkan cahaya redup dari obor, dan di ujung ruangan, takhta emas berdiri sendiri—dingin, tak berpenghuni, seolah menunggu siapa yang cukup berani untuk mendudukinya.
“Lucu,” gumamnya lirih, “bahwa benda yang diperebutkan semua orang… hanya sepotong logam dan kursi keras.”
“Coba duduk. Mungkin kau berubah pikiran,” jawab suara dari belakang.
Caelum muncul dari balik tirai pilar, mengenakan pakaian hitam bersulam perak. Matanya sedikit bengkak—kurang tidur atau terlalu banyak beban, Seraphine tak bisa memastikan.
“Aku sudah duduk di sana,” katanya. “Ternyata punggungku terlalu rapuh untuk beban sebuah kerajaan.”
Seraphine tersenyum miring. “Jangan bercanda soal mahkota saat semua orang di luar sana membunuh demi itu.”
Caelum berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapan takhta. “Pernah kubilang padamu… mahkota itu bukan hadiah. Ia kutukan.”
“Mungkin itu sebabnya orang seperti aku cocok memakainya.”
Mereka terdiam. Salju di luar jatuh lebih deras, seolah mendengar percakapan mereka.
Seraphine akhirnya duduk di tangga pertama takhta, bukan di kursinya. Tangannya menggenggam lengan panjang gaunnya, seakan menahan dunia agar tak masuk ke dalam dirinya.
“Ash berangkat subuh tadi,” ucap Caelum, pelan.
“Ke mana?”
“Utara. Untuk menemui pasukan terakhir Ordo Umbra. Mereka akan bergerak ke Ravennor dalam tiga hari.”
Seraphine mengangguk. Ia tak bertanya apakah Caelum mengizinkan itu—karena jawabannya sudah jelas. Mereka sudah melewati titik di mana izin adalah bagian dari percakapan.
“Dan Orin?”
“Masih hilang. Tapi…” Caelum menarik sebuah gulungan kertas dari balik jubahnya. “Kami menemukan ini di reruntuhan menara timur.”
Seraphine membukanya cepat. Tulisan kecil—dengan goresan khas adiknya—mengisi sebagian halaman:
Tell Sera I’m alive. But I don’t know for how long.
Suaranya tercekat. Mata Seraphine membasah, tapi air mata itu tak jatuh.
“Orin masih di istana ini.”
Caelum mengangguk. “Di bawah istana, lebih tepatnya. Tempat di mana bahkan peta pun tidak jujur.”
Seraphine berdiri. “Aku akan menemukannya.”
Caelum meraih tangannya. “Tidak sendiri.”
Sementara itu, di dapur istana, Lady Mirella sedang sibuk menyuapi seekor kucing gemuk dengan potongan ayam panggang.
“Kau tahu,” katanya pada kucing itu, “semua orang di sini sibuk berkonspirasi, membunuh, atau menyelamatkan dunia. Tapi tidak ada satu pun yang memberi makanmu tepat waktu.”
Kucing itu mengeong pelan.
“Aku tahu, aku tahu. Ini tragis.” Ia menatap kucing itu dengan tatapan dramatis. “Mungkin aku satu-satunya bangsawan yang tersisa dengan hati nurani.”
Pelayan dapur menatapnya ngeri.
Malam itu, Seraphine dan Caelum menyusuri lorong bawah tanah rahasia yang hanya bisa dibuka dengan sihir kuno. Dindingnya lembap, dan bau jamur bercampur debu membuat mereka batuk kecil. Tapi di antara kegelapan, mereka menemukan pintu batu—bertanda ukiran Ordo Umbra.
Seraphine menyentuhnya.
“Darah yang hilang… darah yang diburu… darah yang kembali.”
Pintu itu terbuka sendiri.
Di dalamnya, cahaya kristal biru menyala dari langit-langit batu. Dan di tengah ruangan, seorang pemuda kurus duduk bersandar di dinding, mengenakan pakaian compang-camping dan wajah yang setengah ditutupi kotoran.
“Orin…”
Matanya terbuka.
“Seraphine?”
Tubuhnya gemetar. Tapi bibirnya tersenyum.
“Sudah kubilang… aku masih hidup.”
Dan Seraphine pun menangis.
Tiga hari kemudian, langit Ravennor berubah merah.
Pasukan dari utara menyerbu gerbang luar, sementara dalam istana, para pengkhianat dari kalangan bangsawan membuka jalur dari dalam. Pertempuran pecah.
Seraphine mengenakan baju perang milik ibunya—hitam dan emas. Caelum di sampingnya, sihirnya menyala seperti semburan kilat.
Di atas takhta, Raja Elric berdiri dengan wajah tenang.
“Kalian pikir bisa mengambil kerajaanku?”
“Ini bukan tentang mengambil,” kata Seraphine, langkahnya mantap ke tengah ruang takhta.
“Ini tentang mengakhiri kutukan yang kau mulai.”
Pertempuran terakhir pun dimulai.
Dan mahkota yang dingin itu… akhirnya memilih siapa yang cukup hangat untuk memecah esnya.
Salju turun lembut di atas Istana Ravennor, menyelimuti menara-menara tinggi dan atap-atap berornamen dengan lapisan putih pucat. Tapi tak ada keindahan dalam keheningan pagi itu. Hanya ketegangan yang merambat perlahan, seperti embun beku yang menggigit kulit tanpa suara.
Seraphine berdiri di ruang takhta yang kini kosong. Tanpa Raja Elric, tanpa penjaga istana, tanpa suara trompet. Hanya dirinya dan bayang-bayang yang mengendap di dinding marmer.
Di tangannya, ia memegang mahkota tua—bukan milik Caelum, tapi milik ratu pertama Ravennor. Perhiasan itu dingin dan berat. Sebuah simbol yang selama ini dikubur bersama sejarah kelam perempuan-perempuan kuat yang dilupakan.
"Diam ini," gumamnya, "seperti sebelum badai datang."
Langkah kaki terdengar dari belakang. Caelum masuk, tanpa jubah kerajaan. Hanya mengenakan kemeja hitam dan pedang di pinggang. Rambutnya basah oleh salju, dan mata gelapnya penuh waspada.
“Kita tak punya banyak waktu,” katanya pelan.
Seraphine menatapnya. “Aku tahu.”
“Dewan mulai mempersiapkan pemilihan raja baru. Mereka menganggap kekosongan takhta ini sebagai celah. Dan seseorang… seseorang dari utara mengklaim darah kerajaan.”
Seraphine menyipit. “Siapa?”
Caelum menghela napas. “Pangeran Meraxes dari Yverne. Saudara sepupu jauh. Anak dari selir yang diasingkan puluhan tahun lalu. Tapi dia punya dukungan dari keluarga Ordrin.”
“Ordrin?” Seraphine mengertakkan gigi. “Tentu saja para ular itu akan muncul saat istana goyah.”
Caelum berjalan mendekat. “Kalau dia naik tahta, Ravennor akan jatuh ke dalam perang saudara. Orang-orang yang masih setia padaku akan diburu. Kamu... akan dihancurkan.”
Seraphine tersenyum tipis. “Sudah biasa.”
Caelum mendekat lebih jauh. “Aku tidak ingin kehilanganmu. Bukan sekarang. Bukan setelah semua ini.”
Mata mereka bertemu. Dan dalam sejenak, semua luka, semua kemarahan dan pengkhianatan terasa jauh, seperti bayangan yang tertinggal di koridor masa lalu.
Namun ketukan keras membuyarkan momen itu.
Lady Mirella masuk, napasnya terengah dan wajahnya memerah.
“Kalian harus ke menara pengintai,” katanya. “Sekarang juga. Ada… sesuatu datang dari utara. Bukan pasukan. Bukan kafilah. Tapi… ini kalian harus lihat sendiri.”
Tanpa berkata, Seraphine dan Caelum mengikuti Mirella menyusuri tangga spiral hingga ke menara tertinggi. Angin menggigit wajah mereka saat pintu menara dibuka, tapi apa yang mereka lihat lebih dingin dari salju.
Di kejauhan, barisan kabut mendekat. Bukan kabut biasa.
Di dalamnya—makhluk-makhluk hitam berdiri. Mata mereka menyala merah. Tubuh mereka membentuk formasi sempurna, bisu… dan tak bernyawa.
“Mayat…” bisik salah satu pengawal. “Itu… mayat hidup.”
Caelum mencengkeram pagar batu. “Necromancer.”
Seraphine menegang. “Itu berarti… Ordo Umbra tidak lagi hanya mengintai dari bayang-bayang.”
Lady Mirella menambahkan, “Dan mereka bukan sekadar mengintai. Mereka bergerak. Ke istana.”
Caelum memutar tubuhnya, wajahnya gelap. “Siapkan pasukan. Tutup gerbang timur. Dan Seraphine—jika mereka datang untukmu…”
“Aku tidak akan lari,” potong Seraphine. “Biar mereka datang. Aku punya utang yang harus dibayar.”
**
Sementara itu, jauh di bawah tanah istana, Ash—kakak Seraphine—menggenggam keris bercahaya biru. Di sekelilingnya, para pengikut Ordo Umbra membentuk lingkaran. Mereka tidak berseru. Tidak memuja. Tapi mata mereka semua mengarah padanya, sang “Pangeran yang Terlupakan.”
“Waktunya telah tiba,” gumam Ash. “Kita rebut kembali yang menjadi milik kita.”
Dan dari bayang-bayang, sosok remaja dengan jubah abu-abu muncul.
Orin.
Matanya kosong. Tapi keris kecil menggantung di pinggangnya—keris milik ayah mereka. Ia tak mengatakan sepatah kata pun, hanya berdiri di sisi Ash.
Dan dunia bersiap menghadapi badai yang akhirnya tiba.
Bayangan menari di sepanjang dinding istana saat malam turun, seperti roh-roh masa lalu yang kembali menghantui batu-batu tua Ravennor. Di ruang takhta, di balik tirai-tirai berat berwarna ungu tua, Seraphine berdiri membelakangi jendela. Cahaya bulan hanya menyentuh ujung gaunnya, menyisakan siluet yang tampak seperti ratu dalam legenda kelam.
Di hadapannya, Lord Marceau menunduk dengan wajah cemas.
"Tidak ada tanda-tanda keberadaan Orin, Yang Mulia," ucapnya. "Namun mata-mata kita mendengar desas-desus tentang seseorang yang disebut 'Anak Api' di wilayah utara, dekat reruntuhan menara tua di Valeghast."
"Reruntuhan menara..." Seraphine mengulang pelan. Matanya menyipit. Valeghast adalah tempat terlarang. Bahkan penjaga kerajaan jarang berani melintasinya karena kabar angin bahwa tanah itu terkutuk—atau lebih tepatnya, dilupakan.
"Periksa dengan tiga orang terpercaya. Bukan pengintai kerajaan biasa. Kirim mereka malam ini juga. Dan jangan menyebutkan nama Orin," perintah Seraphine.
"Seperti kehendak Anda."
Setelah Marceau pergi, Seraphine menghembuskan napas panjang. Ia menyentuh liontin di dadanya. Tak ada hari tanpa pikirannya terbang ke masa lalu—ke suara tawa Orin yang dulu memanggil namanya saat mereka bermain di taman belakang istana tua mereka.
Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Pintu ruang takhta terbuka dan Caelum masuk. Rambutnya berantakan, jubahnya setengah terbuka, dan matanya gelap seperti hujan badai.
"Kita punya masalah," katanya, tanpa basa-basi.
"Apa kali ini? Rakyat memberontak? Bangsawan mengamuk karena tidak diundang ke perjamuan? Atau tikus istana mulai membaca dokumen rahasia?"
Caelum menyeringai miring. "Lebih buruk. Seseorang membocorkan isi ruang pertemuan terakhir kita ke keluarga Durwald. Mereka tahu tentang rencana reformasi tanah."
Seraphine memutar mata. "Durwald. Tentu saja. Tikus bertubuh manusia."
"Aku mencurigai Countess Virelle."
"Aku mencurigai meja pertemuan itu sendiri. Kau yakin tidak ada mata-mata di balik ukiran naga itu?"
"Seraphine."
Ia mendekatinya, memegang lengannya lembut. "Aku tahu ini rumit. Tapi reformasi ini harus tetap jalan. Kalau kita gagal sekarang, tak akan ada kesempatan kedua."
"Aku tidak takut gagal," gumam Seraphine. "Aku hanya muak mengulang sejarah yang sama."
Caelum memandangnya lama. Kemudian berkata, "Kalau begitu, mari kita tulis ulang sejarahnya."
Di tempat lain, jauh di bawah tanah, Orin berjongkok di ruangan gelap, dikelilingi oleh dinding batu lembap dan ukiran kuno yang bersinar samar.
"Mereka tahu aku masih hidup," katanya lirih.
Di hadapannya, berdiri sesosok wanita bertudung hitam. Mata hijaunya menyala dalam kegelapan. Ia adalah Silea, mantan tangan kanan Ordo Umbra.
"Saudari kandungmu ada di istana sekarang. Bersama sang pangeran."
Orin mendengus. "Caelum? Sungguh ironis."
"Dia menginginkan perubahan. Tapi perubahan sejati tak bisa lahir dari istana. Itu harus dibakar dulu."
Orin menatap ukiran di dinding: simbol kerajaan Ravennor, dicoret dengan darah.
"Kalau begitu, kita mulai dengan mahkotanya."
Kembali di istana, Seraphine berjalan di koridor atas bersama Mirella, yang seperti biasa membawa dua cangkir teh dan satu komentar sinis.
"Kau terlihat seperti baru saja menusuk seseorang."
"Baru menyusun strategi," jawab Seraphine.
"Sama saja di tempat ini. Kau tahu, kadang aku bertanya-tanya apakah batu-batu di dinding ini bisa berbicara."
"Mereka bisa. Tapi mereka akan mengutuk semua yang mendengarnya."
Mirella terkekeh. "Kau benar-benar putri gelap dari Ravennor, ya."
"Ssst." Seraphine berhenti.
Langkah mereka berhenti saat mereka mendengar sesuatu dari lorong sepi: suara gesekan—seperti sepatu bot menyentuh batu licin.
Seraphine memberi isyarat diam. Ia dan Mirella bersembunyi di balik pilar.
Dari ujung lorong, muncul sosok bertudung, tinggi dan tegap, berjalan cepat namun tanpa suara. Ia menoleh ke kanan, lalu menyelipkan sesuatu ke balik dinding sebelum menghilang.
Mirella berbisik, "Itu bukan pelayan."
Seraphine bergerak cepat, menuju tempat si penyusup. Ia menemukan celah di dinding, cukup besar untuk menyimpan gulungan surat.
Dengan hati-hati, ia mengambilnya dan membuka. Hanya satu kalimat di sana:
"The rightful heir walks beneath."
Malam itu, Caelum berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit malam dengan ekspresi gelisah. Ia mendengar langkah datang dari belakang.
Seraphine muncul, masih memegang surat misterius itu.
"Caelum," katanya tanpa basa-basi, "kau pernah mendengar tentang pengkhianat dari bawah tanah?"
"Maksudmu... legenda lama tentang 'Anak Mahkota yang Tersembunyi'?"
Seraphine mengangguk. "Aku rasa itu bukan legenda. Aku rasa itu Orin."
Caelum terdiam cukup lama, lalu bertanya, "Dan kalau dia kembali, lalu apa?"
"Maka semuanya akan berubah. Bukan hanya tahta. Tapi alasan kita bertarung."
Caelum menatapnya. "Kau takut dia membencimu?"
"Aku takut dia sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang, sampai tak bisa lagi mengenali cahaya."
Di reruntuhan menara Valeghast, sekelompok pengintai Seraphine tiba.
Hanya satu dari mereka yang kembali hidup.
Dan ia membawa pesan:
"Yang kau cari... sudah menjadi sesuatu yang lain."
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~