Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Dia Menyebutmu, Papa
"Papa benar! Kita nggak harus sembunyi-sembunyi kalau mau main bareng!" ujar Leon dengan senyum lebar.
"Jadi, masih merajuk?" Jordan tersenyum tipis sambil melirik putra kesayangannya itu.
"Itu ...." Leon menunduk sekilas, kemudian kembali menatap sang ayah.
"Sedikit!" Bocah laki-laki tersebut mengangkat tangannya di hadapan Jordan sambil mendekatkan jari telunjuk dan jempolnya.
"Bagaimana dengan satu skup es krim rasa coklat untuk memperbaiki perasaanmu?" tawar Jordan.
Mata Leon langsung berbinar. Senyum bocah tersebut merekah layaknya mawar yang diterpa embun pagi hari. Sebuah anggukan kecil penuh semangat membuat Jordan terkekeh.
Kali ini Leon bersikap sama seperti sang ibu. Sangat mirip dengan Laura yang sedang merajuk. Laura bisa luluh hanya dengan sebatang coklat kacang almon, lalu semua akan baik-baik saja setelahnya.
Laura dan Noah pulang awal sore itu. Seakan disengaja, Jordan tak lagi meminta keduanya untuk lembur. Sesampainya di apartemen, Noah dikejutkan dengan keberadaan Jordan yang sedang memangku Leon. Bocah tersebut tengah terlelap.
"Untuk apa kamu datang ke sini!" ujar Noah dengan tatapan tajam kepada Jordan.
"Jangan berisik, putraku baru saja tidur." Jordan tak menatap Noah sedikit pun.
Jemari Jordan sibuk mengusap puncak kepala Leon. Dia sesekali bersenandung sambil tersenyum tipis. Noah menoleh ke arah Laura yang kini tengah tegang dengan tatapan tak lepas dari Jordan dan Leon.
"Laura, apa ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuanku?" tanya Noah sambil menatap Laura dengan mata yang mulai menyipit.
Laura mengusap wajah kasar. Dia menghela napas kemudian menoleh ke arah Noah. Perempuan tersebut menyugar rambut pendeknya, lalu membetulkan letak kacamata.
"Aku akan menceritakan semuanya nanti. Sebaiknya kamu pulang dulu. Biar aku urus Leon dan menyelesaikan masalah ini dengan Jordan. Mohon pengertiannya, Noah."
"Aku yang pergi dari sini? Kamu nggak salah?" Noah terkekeh sambil tersenyum miring.
"Bukankah seharusnya dia yang keluar dari rumah ini, Laura? Dia itu cuma masa lalumu yang berusaha mendobrak pintu hatimu untuk kembali masuk!" teriak Noah sambil menunjuk Jordan yang masih mengusap lembut puncak kepala Leon.
"Papa ...." Tubuh Leon menggeliat perlahan.
Leon mulai membuka matanya. Bocah laki-laki tersebut perlahan terduduk sambil mengucek matanya. Leon mulai merengek sehingga membuat Jordan menggendong tubuh mungilnya.
"Kenapa ribut sekali? Aku masih mengantuk. Bisakah Papa bawa aku masuk ke kamar?" pinta Leon sambil menyandarkan kepalanya pada dada Jordan.
"Tentu," jawab Jordan sambil tersenyum penuh kemenangan dengan tatapan mengejek ke arah Noah.
"Berhenti di sana!" teriak Noah ketika Jordan bangkit dari sofa dan hendak membawa Leon masuk ke kamarnya.
Lelaki tersebut berjalan cepat ke arah Leon. Dia hendak mengambil alih tubuh Leon secara paksa. Namun, bocah laki-laki tersebut berontak dan justru menangis histeris.
"No! Aku mau sama Papa! Tolong Paman jangan sakiti aku! Sakit, Paman!" seru Leon sambil menangis histeris dan menatap iba kepada Noah.
Hati Noah seakan diremas mendengarkan ucapan Leon. Kini dia melirik jemarinya yang tengah menggenggam pergelangan tangan Leon. Bocah laki-laki itu bergerak pelan agar tangannya keluar dari genggamannya.
"Sakit, Paman. Tolong lepaskan," pinta Leon lagi.
Perlahan Noah melonggarkan cengkeraman tangannya dari pergelangan tangan Leon. Setelah itu, Jordan membawanya masuk ke kamar. Usai pintu tertutup, Noah menendang badan sofa sambil berteriak dan mengacak rambut.
"Apa yang sudah kamu lakukan di belakangku, Laura? Kenapa bisa dia ada di sini dan menyebut Jordan papa? Kamu berhutang penjelasan! Aku tidak mau mendengarnya nanti, besok, bahkan lusa!"
"Noah, bersabarlah. Aku juga butuh waktu untuk menjelaskannya padamu. Aku tidak menyangka Leon sudah semakin akrab dengan Jordan. Aku baru saja memberikan izin kepada Jordan untuk menemuinya dan mengajak Leon bermain sesekali." Laura mengusap wajahnya sambil menunduk menatap ujung kaki.
"Kamu membiarkan orang lain masuk ke rumah ini tanpa memberi tahu aku? Apa arti aku bagimu, Laura?" tanya Noah dengan suara yang begitu dingin.
"Apa maksudmu, Noah?"
"Aku merasa nggak ada artinya untukmu. Aku melakukan semuanya selama ini agar kamu bahagia dan nyaman menjalani hidup. Tapi, kamu justru menancapkan luka yang sangat dalam di hatiku!" ujar Noah sambil menunjuk dada kirinya.
"Noah, kamu ngomong apa? Kamu belum pernah menjadi orang tua! Aku hanya berusaha memberikan kesempatan kepada Jordan untuk dekat dengan anaknya! Dia berhak atas Leon, Noah!" Laura justru kini terbawa emosi.
"Lalu, bisakah aku menjadi orang tua sekarang?" Noah mendorong tubuh Laura sehingga dia terduduk di atas sofa.
Noah langsung mendekati Laura dan mendudukkan perempuan itu di pangkuannya. Noah berusaha mendapatkan ciuman Laura. Akan tetapi, Laura berontak.
"Noah, apa yang kamu lakukan! Berhenti!" ujar Laura.
Noah tak lagi mendengarkan Laura. Lelaki tersebut seakan kehilangan akal sehatnya. Noah menarik kedua lengan Laura ke atas dan menempelkannya pada dinding. Dia terus berusaha mendaratkan ciuman kepada calon istrinya itu.
"Noah, aku bilang berhenti! Noah aku mohon jangan lakukan itu!" sontak tangis Laura pecah.
Mendengar isak tangis Laura membuat hati Noah hancur. Dia langsung tersadar. Lelaki tersebut bergegas melepaskan Laura dari cengkeraman.
"Haaaah!" teriak Noah frustrasi.
Laura kini meringkuk di atas sofa sambil terus menangis. Dia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang tengah dilanda kebimbangan dan terasa kacau. Noah langsung tersadar kalau telah melakukan kesalahan.
Lelaki tersebut mengambil langkah cepat. Dia kini duduk bersimpuh di dekat sofa dan kembali berusaha menyentuh Laura. Akan tetapi, perempuan tersebut langsung menepis tangan Noah.
"Pulanglah dulu, Noah. Kita akan bicarakan semuanya besok setelah pikiranmu jernih." Suara Laura bergetar dan tak menatap Noah sedikit pun.
Bahu Noah merosot detik itu juga. Dia tak menyangka telah menorehkan luka kepada Laura. Perempuan yang selama ini dia jaga hatinya.
"Maaf," ucap Noah sambil berusaha bangkit dari atas lantai.
Noah berjalan gontai menuju pintu keluar. Dia memutar tuas pintu. Sebelum membuka pintu di hadapannya Noah menoleh lagi ke belakang.
Laura yang tengah meringkuk, kini memunggunginya. Hatinya kembali hancur saat melihat pemandangan itu. Noah mulai merasa bersalah karena telah terbakar amarah.
Akhirnya lelaki tersebut mengambil langkah untuk keluar dari apartemen. Dia berjalan gontai menyusuri lorong dan meninggalkan kepahitan di sana. Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa, hanya saja hubungan Laura dan Noah sedikit renggang.
"Mama, besok hari ayah. Miss Karen meminta semuanya untuk datang ke sekolah bersama ayah masing-masing," celetuk Leon sambil mengunyah makanan dalam mulut.
"Baiklah, besok mama akan izin dan menemani kamu." Laura tersenyum tipis sambil mengusap lembut pipi sang putra.
Leon tiba-tiba menghentikan gerakan mulutnya. Dia menautkan kedua alis lalu menelan makanan. Alisnya saling bertautan dan bibirnya mulai terbuka untuk melayangkan protes.
"Mama, ayah itu bukannya orang tua laki-laki? Mama itu ibu, orang tua perempuan, aku nggak mau!" ujar Leon sambil melipat lengan di depan dada.
Laura menoleh ke arah Noah yang sejak tadi hanya diam. Noah menelan ludah sebelum akhirnya mencondongkan tubuh ke depan. Dia tersenyum tipis dan mengusap puncak kepala Leon.
"Kalau begitu biar Papa Noah yang datang ke sekolahmu. Oke?"