Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU GADIS ANEH INI LAGI DI PERPUSTAKAAN
Sekitar lima langkah di depan perpustakaan, aku mulai menggelengkan kepala untuk menghempaskan pikiran tentang Voni—si wanita pemalas itu. Aku berusaha fokus, membuang bayangan wajahnya yang akhir-akhir ini terus menghantuiku, baik saat belajar maupun saat istirahat. Rasanya seperti ada suara kecil yang terus memanggil-manggil namanya di dalam pikiranku.
Namun, ketika aku melangkahkan kaki lebih dekat ke pintu perpustakaan, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pergelangan tanganku. Sentuhan itu halus, dengan jari-jari lentik yang tak asing. Aku tahu pasti itu bukan Voni. Saat aku menoleh, benar saja—wajah gadis aneh yang kemarin mengajakku bicara di perpustakaan kini berdiri di depanku. Dia lagi.
Aku menatapnya tajam, dan dengan pelan, aku menghempaskan tangannya agar terlepas.
“Kenapa?” tanyaku datar, tetap mempertahankan ekspresi acuh. Dia terlihat sedikit gugup, napasnya terengah seperti habis mengejar seseorang. Mungkin sedang mengumpulkan keberanian. Yah, aku sadar reputasiku memang bukan yang paling ramah di sekolah ini. Aku terkenal jutek dan sinis. Bahkan guru pun sering bingung harus bagaimana memperlakukanku.
“Halo, Dion. Maaf sebelumnya ya kalau aku ganggu waktumu. Aku sebenarnya sudah tahu kamu sejak lama. Kamu itu juara olimpiade matematika dan juga juara umum sekolah. Jadi... aku mau minta tolong, kamu mau nggak jadi mentorku? Aku benar-benar butuh bantuan. Aku rela kok bayar sesuai harga yang kamu tentukan,” ucapnya panjang lebar, matanya penuh harap.
Aku menatapnya malas. Menghadapi satu Voni saja sudah cukup menguras energi dan emosi. Sekarang ditambah lagi gadis aneh ini yang datang dengan permintaan tak terduga. Bukannya aku tak suka membantu, tapi ini terlalu repot. Lagi pula, aku punya trauma sendiri kalau harus datang ke rumah orang, apalagi rumah perempuan. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan menghabiskan waktu dalam satu ruangan tertutup berdua dengan lawan jenis. Terlalu banyak kenangan buruk yang ingin aku hindari.
“Maaf, saya tidak tertarik. Lagipula kamu sudah menghabiskan waktu saya selama empat menit tiga puluh lima detik. Jadi, tolong, jangan ganggu saya lagi untuk hal seperti ini ke depannya,” jawabku tegas. Mataku menatap lurus ke arahnya, tajam namun tetap terkontrol.
Tanpa menunggu reaksinya, aku langsung masuk ke perpustakaan dan mengambil buku berjudul Komunikasi Dasar. Aku berniat membaca sebentar untuk mengisi waktu sebelum bel masuk. Namun, rasa kesal mulai muncul. Waktu membaca yang biasanya menjadi pelarian dari kekacauan sosial sekolah ini malah terpotong karena gangguan tadi. Sial.
Setelah beberapa menit mencoba membaca, bel masuk pun berbunyi. Aku menutup buku itu dengan kasar. Rasa kesalku belum juga reda. Aku tidak jadi meminjam buku tersebut karena sepulang sekolah nanti aku harus fokus membaca Ekonomi Sumber Daya Alam dan belajar untuk ujian kimia esok hari. Bagaimanapun, nilai 100 dalam kimia adalah harga mati bagiku. Aku tidak ingin pencapaian akademikku ternoda.
Untuk mempercepat langkahku menuju kelas, aku memilih jalan pintas dari arah taman belakang. Biasanya rute ini sepi. Tapi tidak hari ini. Di tengah jalan, mataku tertuju pada sosok gadis aneh tadi. Ia duduk sendirian, membungkuk, dan... menangis.
Ada yang menusuk hatiku. Entah kenapa, rasa iba muncul. Padahal aku baru saja menolaknya. Aku berusaha menahan langkah, tapi kaki ini malah bergerak mendekat.
“Kenapa nangis?” tanyaku, tetap dengan nada datar.
Dia tampak terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya dan berusaha tersenyum. “Nggak, kok. Aku nggak nangis,” jawabnya. Jelas-jelas berbohong. Apa dia pikir aku tidak tahu membedakan air mata dan embun?
Aku berbalik. Langkahku menjauh darinya. Tapi pada langkah ketiga, aku menghentikan diri dan berteriak tanpa menoleh.
“Terserah, ya! Saya juga nggak peduli!”
Namun, dia malah membalas dengan suara lebih keras, “AKU CUMA MAU KAMU JADI MENTORKU, TOLONG!”
Suaranya membuat jantungku berdebar. Tapi aku tetap melanjutkan langkah. Tak kupedulikan. Dalam hati, aku merasa... bersalah? Mungkin.
Aku mencoba menenangkan diri. Menyadari bahwa hidupku yang terlihat sempurna dari luar—pintar, punya uang, dan tampang yang katanya menarik—ternyata tidak membuatku kebal terhadap rasa bersalah, rasa empati. Maaf jika terdengar sombong, tapi begitulah aku dipandang banyak orang.
Sesampainya di kelas, aku dikejutkan lagi oleh pemandangan yang membuat darahku naik. Tempat dudukku diduduki oleh orang yang paling ingin kuhindari—Varo. Si pria sialan yang kini menjadi pacar Voni. Si wanita pemalas yang entah kenapa selalu berhasil mengusikku, meski aku berusaha tak peduli.
Aku berdiri di hadapannya, menatapnya dalam diam. Sudah jelas maksudnya—itu kursiku. Tapi dia tetap diam di sana. Lalu, suara lembut menyela.
“Varo duduk di sini, ya, Ion. Kali ini saja. Please,” pinta Voni dengan nada memohon.
Matanya yang besar dan polos menatapku penuh harap. Wajahnya begitu imut, dan entah mengapa, aku tak bisa menolak. Lagi. Mau sekuat apa pun aku menjaga ekspresi datar, aku tetap luluh. Dengan enggan, aku pun duduk di kursi Varo.
Varo menatapku. Tatapannya seperti ingin berkata, “Lihat, aku bisa buat kamu geser.” Pria itu menyebalkan. Tapi selama dia tidak menyakiti Voni, aku bisa tahan. Aku masih waras.
Lalu tiba-tiba, Voni meraih tanganku. Elusannya lembut.
“Ion, jangan tatap Varo seperti itu, kamu bikin dia takut, tahu,” ujarnya lembut.
Hah? Jadi Varo itu penakut? Tapi kenapa wajahnya malah seperti mengejekku? Menyebalkan. Aku mengalihkan pandanganku dari Varo dan menatap Voni.
“Coba kamu senyum manis seperti biasanya,” pintanya tiba-tiba.
Aku mengerutkan dahi. Permintaan aneh. Tapi karena itu keluar dari mulut Voni, aku berusaha tersenyum. Namun yang keluar malah seperti senyum meringis.
“Ihh, Ion, bukan kayak gitu. Seperti biasanya dong. Matamu juga ikut senyum,” keluhnya cerewet.
Dasar wanita pemalas tapi cerewet. Tapi... dia memperhatikan senyumanku? Aku mencoba lagi, dan kali ini aku benar-benar tersenyum seperti biasanya.
Tiba-tiba, suara gadis-gadis di kelas pecah.
“Dion! Manis banget senyumnya!”
Refleks, aku kembali menunjukkan wajah datarku. Malu. Tapi Voni justru terkekeh.
“Hahaha, kamu nggak bisa sembunyiin ekspresi senyummu, Ion,” ujarnya pelan.
Aku hanya menggeleng. Dalam hatiku, aku sadar satu hal—Voni memang pemalas, cerewet, dan sering bikin repot. Tapi entah mengapa, aku tidak pernah bisa benar-benar marah padanya.
Bahkan saat dia membuatku merasa lemah, aku tetap tidak bisa pergi.
Dan itu... menakutkan.