"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa?
Tangis itu pecah pelan, tak terdengar. Hanya bahunya yang berguncang kecil, seperti anak kecil yang menahan sakit di sudut gelap. Tangannya masih setia menggenggam tangan Brivan. Biasanya, dia tak pernah berani. Hanya menyentuh sebentar, itu pun hanya untuk sekedar mengusap saja. Tapi hari ini… tubuhnya terlalu lelah untuk menjaga jarak dari satu-satunya tempat ia bisa merasa pulang.
Hania menunduk, menyandarkan dahinya ke punggung tangan Brivan. Mata wanita itu sudah sembab, tapi air mata tak bisa berhenti mengalir meski sudah ia coba hentikan.
“Aku lapar… tapi aku nggak mau makan ikan, aku harus bagaimana?"
"Kenapa Hamil bisa seribet ini, aku nggak suka,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, suaranya gemetar menahan isak.
Hania tidak suka sikapnya yang cengeng. Dia tahu ini hal kecil, dia bisa memakan makanan lain. Mengambi buah di kulkas atau roti yang ada di meja makan tadi. Tapi hatinya sakit, tidak nyaman. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Mungkin karena tatapan mereka, mungkin karena lelah atas kejadian yang sudah-sudah. Mungkin karena semuanya ...Hari ini, hati kecil Hania hanya ingin mengadu, ingin keluhnya didengar seseorang.
Meski Brivan hanya diam, tapi selama ini hanya Brivan yang mau mendengar dia.Udara di kamar seperti membeku, tak ada suara, hanya detik jam, suara alat monitor jantung dan isak kecil Hania
"Kamu nggak mau bangun bentar, ... Aku nggak tau kenapa aku minta kamu buat bangun, tapi mungkin akan lebih baik kalau kamu ada."
"Benar-benar ada ... Di sini," lirihnya nyaris berbisik.
Hania juga tidak yakin dengan apa yang ia katakan. Apa sudah benar apa yang dia minta? Apa semua akan membaik saat Brivan membuka mata? Mereka akan memperlakukan Hania dengan lebih baik, dan Brivan akan berdiri di sisinya. Atau justru sebaliknya? Pria ini akan membencinya, karena sudah lancang mengandung benihnya di saat dia tidak berdaya. Semua mungkin terjadi. Kebenaran bisa dengan mudah dibolak-balikan. Tapi Hania, hanya ingin melihat Brivan membuka mata, sekali saja.
Tapi.... sesuatu terjadi. Gerakan. Kecil. Hampir tak terasa. Tapi cukup untuk membuat napas Hania tercekat. Ia mengangkat kepalanya perlahan. Matanya membelalak. Jari Brivan… bergerak.
Sejenak, Hania membeku. Tak berani bernapas. Tubuhnya menegang, pikirannya kosong.
Lalu ia berseru pelan, “Bri-Brivan…? Apa… kamu barusan… kamu gerak? Apa mungkin ?”
Jemari itu masih masih dalam genggam Hania. Diam, tapi Hania sangat yakin ujung telunjuk Brivan bergerak. Hania bahkan masih merasakan sisa gores kuku pria itu di telapak tangannya. Mata Hania menatap lekat tangan mereka yang masih bertaut, lalu beralih menoleh menatap wajah damai Brivan.
Tangis yang tadinya sendu, kini berubah menjadi senyum yang bercampur haru. Air matanya deras mengalir, membasahi kulit Brivan yang dingin.
“Kamu denger aku, ya? Kamu denger aku tadi? Kamu gerak! Tuhan… kamu!”
Ia tak bisa menahan dirinya. Ia menggenggam tangan Brivan semakin erat, menggigil. Seolah tubuhnya meledak oleh perasaan yang menumpuk terlalu lama. Bahagia. Syok. Harap. Tak percaya. Semuanya menyatu.
Pintu kamar terbuka. Suster Fira masuk dengan nampan kecil.
"Aku bawa buah untuk mu, kata koki kau tadi—”
Suster itu terdiam.
Ia melihat Hania terduduk di sisi ranjang, menangis sambil mengenggam tangan Brivan. Tatapannya langsung mengarah pada jemari Brivan yang masih sedikit tertekuk.
Hania buru-buru mengangkat wajahnya, menoleh menatap Suster FIra dengan wajah bahas namun penuh bahagia.
“Suster! Tadi dia gerak! Tangannya! Aku ngerasain banget! Dia denger aku, Suster!”
Tapi… tidak ada reaksi seperti yang Hania harapkan. Senyum itu tidak muncul. Tidak ada pelukan bahagia. Wajah Suster Fira yang mendadak pucat pasi. Matanya menatap Brivan seolah baru melihat bom waktu, yang detiknya siap meledak. Tangan Suster Fira mencengkram kuat nampan yang ia bawa.
“Suster?” suara serak Hania memanggil Suster Fira dengan ragu.
Fira tak menjawab. Wajahnya tegang. Nampan yang ia bawa diletakkan di meja begitu saja. tergesa. Tangannya gemetar saat menyentuh ponsel di sakunya.
“Suster ? Anda kenapa?” suara Hania melemah.
Suster Fira melangkah cepat keluar ruangan, tanpa menoleh.
“Dokter Mario… dia ....—”
Pintu menutup sebelum Hania bisa mendengar lebih lanjut. Dan dia kembali sendiri. Di ruangan yang semula hangat karena harapan, kini kembali mencekam. Hania duduk perlahan, masih menatap dimana Suster Fira hilang. Tangannya gemetar, wajahnya kebingungan.
“Ada apa sebenarnya…” bisiknya, pandangannya kosong.
Ia menggenggam tangan Brivan lebih erat, seolah takut pria itu kembali tenggelam dalam diam.
“Kalau kamu sadar… kenapa mereka nggak bahagia, Brivan? Kenapa mereka takut?”
Matanya mulai kembali berkaca-kaca.
“Aku harusnya senang… tapi sekarang aku takut. Kalau semua orang panik karena kamu gerak… apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?”
Jantungnya berdebar, bukan karena haru—tapi karena firasat. Firasat bahwa… ada kebenaran besar yang sedang coba ditutup rapat.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya