Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Relokasi
...“Ketika rahasia dunia mulai berpindah tangan, satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah bergerak lebih cepat dari bahaya itu sendiri.”...
Laboratorium Desa masih diselimuti aura kecemasan. Di antara layar-layar monitor yang berkedip, suara langkah kaki dan ketukan tombol terdengar seperti denyut jantung yang tidak stabil. Percakapan berlangsung dalam nada rendah tapi tegang, seperti perang dingin yang tak pernah benar-benar padam.
Robert berdiri di depan panel utama ruang kendali data, matanya terpaku pada rekaman log akses terakhir dari Jerry.
“Dia hanya ambil MR-112_A,” gumamnya, nyaris tidak terdengar.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkan ini, Robert...” bisiknya pelan. “Kalau mereka benar-benar mulai mengembangkan versi A ... kalau mereka menggabungkannya dengan metode manipulasi sistem imun atau viral transport ... itu bisa berubah jadi senjata biologis. Bukan terapi, tapi kutukan.”
Robert yang berdiri di sisi ruangan menoleh perlahan. Ia tak menjawab segera, melainkan melangkah ke arah Jesika dan duduk di kursi di sampingnya. Tatapan matanya tenang, namun penuh dengan sesuatu yang tak bisa Jesika definisikan. Mungkin itu kelelahan, mungkin keyakinan.
“Jes,” kata Robert akhirnya, “aku mengerti ketakutanmu. Tapi dengar baik-baik ... MR-112_A itu hanya dasar. Lapisan paling luar. Seperti cetak biru bangunan tanpa fondasi.”
Jesika menoleh cepat, wajahnya tegang. “Tapi cetak biru bisa dipakai siapa pun, Robert. Bahkan orang gila bisa bangun sesuatu dari situ.”
Robert mengangguk pelan. “Benar. Tapi cetak biru itu tidak lengkap. Karena sengaja kupisahkan. Versi A hanya memiliki potensi efek sementara. Ia bisa menstimulasi sistem sel tertentu, memunculkan respons fisiologis, bahkan mengaktifkan gen target ... tapi hanya dalam jangka pendek.”
Jesika mengerutkan dahi. “Kau ... sengaja membatasi durasi aktifnya?”
“Ya,” jawab Robert. “Ada satu unsur krusial. Hanya ada di versi X. Unsur itu yang mengikat stabilitas perubahan pada genom target secara permanen. Tanpa itu ... reaksi dalam tubuh akan hilang dalam waktu 96 jam.”
Jesika terdiam.
Robert melanjutkan dengan suara lebih rendah. “Itulah kenapa aku tak panik waktu tahu Jerry hanya mengambil MR-112_A. Mereka bisa pikir mereka memegang segalanya, padahal mereka hanya menggenggam bayang-bayang.”
Perlahan, bahu Jesika merosot. Ia meletakkan cangkir kopi ke atas meja, lalu menyandarkan diri ke kursi.
“Kau pisahkan dua versi itu ... sebagai langkah pencegahan?”
Robert menatapnya. “Sebagai proteksi. Aku tahu sejak awal riset ini punya nilai lebih dari sekadar penyembuhan genetik. Aku tahu, akan datang hari ... ketika kita harus memilih siapa yang boleh tahu semuanya dan siapa yang hanya boleh mengira mereka tahu.”
Jesika akhirnya menghela napas. Napas yang berat, tapi terasa seperti beban yang perlahan dilepaskan dari dadanya.
“Jadi ... bahkan jika mereka mengembangkan versi A di Swiss atau di mana pun mereka bersembunyi...”
“...mereka hanya akan menciptakan efek setengah matang,” potong Robert. “Efeknya akan menghilang. Dan jika mereka coba memaksakan sintesis atau rekayasa paksa, struktur molekulnya akan kolaps. Aku buat itu sebagai pengunci algoritmik. Satu bagian hilang ... seluruh formula akan menolak dirinya sendiri.”
Jesika menatap Robert lama. “Kau sudah pikirkan semuanya, ya?”
Robert menoleh padanya, kali ini tersenyum tipis. “Aku yang menciptakan MR-112. Jadi aku juga yang harus mengendalikan takdirnya.”
Di luar jendela kaca tebal laboratorium, senja mulai turun. Cahaya jingga lembut menyorot puncak bukit di kejauhan, seperti menyinari dua bayangan. Bayangan ilmu pengetahuan, dan bayangan kekuasaan.
Jesika berdiri perlahan, lalu mengambil tablet di meja.
“Kalau begitu, kita harus pastikan tidak ada satu bagian pun dari versi X jatuh ke tangan mereka,” katanya mantap.
Robert mengangguk. “Itu prioritas kita sekarang. Lindungi versi X. Dan mulai rancang counter-sekuensenya. Kalau mereka mulai eksperimen dari versi A, kita bisa siapkan penetral dari jauh.”
“Dan satu hal lagi,” ujar Jesika sambil menatap data di layar. “Aku ingin tahu... siapa sebenarnya Klaus Hollenberg. Dan apa hubungan EVA Initiative dengan semua ini.”
Robert menatap kosong ke kejauhan, lalu berkata pelan, hampir seperti bergumam untuk dirinya sendiri:
“Kalau MR-112 adalah kunci ... maka Klaus sedang mencari pintu. Dan aku rasa, pintu itu ... bukan hanya biologis.”
Jesika tak bertanya lebih lanjut.
Roy yang datang meletakkan map laporan di atas meja berkata, “Bagus. Tapi kita tak bisa diam. Kode A sudah jatuh ke tangan lawan. Dan kita tak tahu berapa jauh mereka bisa rekonstruksi dari situ.”
Robert mengangguk tegas.
Di saat yang sama, Denny menggiring dua sosok dengan tangan diborgol masuk ke ruangan. Albert dan Bagas tampak lelah, rambut mereka acak-acakan, pakaian lusuh. Namun mata Albert tetap menatap sekeliling dengan waspada, penuh kalkulasi.
“Duduk,” perintah Roy.
Albert dan Bagas menurut. Kursi baja yang mereka duduki mengeluarkan derit singkat.
Profesor Carlos mendekat, menatap Albert lurus. “Kau tahu, mereka meninggalkanmu. Leonard, Elisabeth, Rahman. Mereka kabur dan membiarkanmu ditangkap. Itu cukup menjelaskan siapa yang mereka anggap sebagai beban.”
Albert tertawa pendek, pahit. “Mereka memang tak butuh beban. Mereka butuh kaki tangan yang bisa dikorbankan.”
Samuel yang baru masuk dari koridor menutup pintu pelan lalu ikut bergabung dalam lingkaran itu. “Mereka bisa mengorbankan kalian. Tapi kami tidak akan seperti mereka,” katanya, suaranya berat tapi tenang.
Albert menunduk, rahangnya mengeras. Tapi tatapan kosongnya perlahan berubah.
Samuel, berdiri di samping Profesor Carlos. “Kalian berdua akan dibawa ke Jakarta untuk diadili. Tapi sebagai hakim, aku punya hak untuk merekomendasikan keringanan hukuman.”
Albert menoleh cepat.
“Dengan satu syarat,” lanjut Samuel. “Kalian bekerja sama. Apa pun yang kalian tahu tentang jaringan, laboratorium, nama-nama di balik proyek ini, dan ... Swiss.”
Hening.
Hanya suara detak jam dan gemuruh pelan alat-alat server terdengar.
Albert mendesah. “Saya tidak tahu banyak soal Swiss ... tapi saya tahu cukup untuk membuat kalian waspada. Elisabeth, Leonard, dan Rahman ... mereka hanya ujung layar. Yang mengatur semuanya adalah Klaus Hollenberg dan jejaring farmasi internasionalnya. Dia bukan sekadar donatur. Dia pembeli jiwa.”
Roy menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”
“Klaus punya akses ke lebih dari lima laboratorium bayangan di Eropa. Swiss adalah pusatnya. Mereka menamai markas utamanya sebagai ‘Engelberg’. Tapi di sana ... bukan hanya riset medis. Ada eksperimen mengenai weaponized DNA.”
Jesika menutup mulutnya perlahan, ngeri.
Denny memijit pelipis. “Kalau itu benar, kita butuh Interpol. Kita tidak bisa main sendiri lagi.”
“Betul,” kata Roy. “Dan kita semua harus ke Jakarta. Sekarang. Tempat ini sudah tidak aman.”
“Mereka bisa menyerang kapan saja,” tambah Robert. “Dan kita perlu tempat yang bisa jadi laboratorium mini juga. Untuk sementara, kita perlu lanjutkan penelitian, tapi dalam pengawasan total.”
Denny melirik Roy. “Kantor pusat penyalur bodyguard-ku punya bunker bawah tanah. Di Jakarta. Tidak besar, tapi cukup untuk riset dasar. Dan keamanannya kelas satu.”
Robert menoleh ke Misel. “Bagaimana kalau Ayah juga kita pindahkan? Rumah sakit di kota terlalu terbuka.”
“Setuju,” jawab Misel cepat. “Aku sudah bicara dengan dokter pagi ini. Mark bisa dipindahkan malam ini juga. Dengan ambulans bersertifikat.”
Samuel melirik ke arah Bagas. “Yang satu ini?”
Roy menoleh. “Kita bawa juga. Ia saksi kunci. Kalau ada yang menyerang konvoi kita nanti, berarti masih ada penyusup di dalam.”
Profesor Carlos menepuk bahu Robert. “Kita tak bisa lindungi semua orang ... tapi kita bisa lindungi kebenaran. Mari kita bawa itu ke tempat yang lebih aman.”
Beberapa jam kemudian, kendaraan hitam tak bertanda keluar dari gerbang Laboratorium Desa.
Di dalamnya, para tokoh kunci duduk dalam keheningan penuh makna. Jesika dan tim teknis telah dikirim lebih dulu dengan van terpisah menuju tempat perlindungan Denny. Albert dan Bagas dikawal ketat di kendaraan tahanan khusus. Roy, Robert, dan Misel menuju rumah sakit untuk menjemput Mark yang telah siap dipindahkan.
Langit di atas mereka mendung. Tapi dalam kegelapan itu, seberkas harapan tetap menyala.
Di kamar rumah sakit, Mark sedang duduk di kursi roda, matanya menyapu jendela yang menatap ke luar. Ia menoleh saat Robert masuk.
“Kita pindah?” tanyanya lemah.
Robert mengangguk. “Ke tempat yang lebih aman, Ayah. Dan kami butuh kau tetap hidup. Dunia belum selesai denganmu.”
Mark tersenyum pelan. “Lalu cepat bawa aku ke medan perang berikutnya.”
Robert menunduk dan memeluk ayahnya perlahan. “Kami sudah siapkan semuanya.”
Misel mendorong kursi roda keluar dari kamar. Roy berdiri di depan, memantau lorong. Dua pria bersenjata berjalan lebih dulu. Di belakang mereka, satu unit ambulans modifikasi telah menunggu.
Hari belum berakhir.
Tapi kini mereka punya satu tujuan: membongkar Engelberg, dan menghentikan apa pun yang sedang dibangun di bawah salju Swiss itu ... sebelum dunia berubah terlalu jauh untuk diselamatkan.
,, biasany org2 yg menciptakan formula/ obat itu untuk menyembuhkan seseorg yg dia sayang