Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja di serambi pesantren.
Langit mulai jingga. Semilir angin membawa, kesejukan, Namun tidak dengan dada Azam yang bergemuruh.
Azam berdiri lama di depan pintu ruang tengah, matanya tak berpaling dari Nayla yang sedang melipat baju sambil menyanyikan lantunan dzikir pelan. Senyum perempuan itu terlihat tenang, namun Azam tahu, ada badai yang ditelan sendiri dalam diamnya.
“Nay…” panggil Azam perlahan.
Nayla menoleh, dan di wajahnya tersungging senyum. “Ya, Mas?” suaranya lembut, tapi terdengan menggema di telinga Azam.
Azam menarik napas dalam. “Aku ditelepon Tante Rofiqoh tadi siang. Dia cerita tentang Humairah... dan tentang kamu yang datang ke pondok.”
Nayla terdiam. Tangan yang semula melipat gamis berhenti bergerak.
“Nay… kenapa kamu lakukan itu?”
Suara Azam serak. Ia mendekat, duduk di samping Nayla, menggenggam jemarinya yang dingin.
Nayla mengalihkan pandang. “Karena aku tahu kamu rindu seorang anak, Mas… Dan aku tahu, aku tak bisa memberimu itu.”
“Nay…” Azam mencoba bicara, tapi Nayla memotongnya.
“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi aku tak ingin keegoisanku menghalangi apa yang menjadi fitrahmu sebagai seorang laki-laki. Dalam Al-Qur’an, Allah mengizinkan seorang pria menikah lagi, dengan syarat berlaku adil. Dan dalam hadis, Rasul pun pernah menikah lebih dari satu kali bukan karena nafsu, tapi karena tanggung jawab, karena cinta, karena kebermanfaatan.”
Air mata mengalir di pipi Nayla, tapi suaranya tetap tenang.
“Mas Azam… Aku tak ingin menjadi penghalang antara kamu dan takdirmu sebagai ayah. Jika aku tak bisa menjadi jalanmu untuk memiliki keturunan, maka izinkan aku membukakan jalan itu untukmu.”
Azam menunduk. Hatinya remuk. Tangannya menggenggam erat tangan Nayla, lalu mendekatkannya ke dada.
“Kenapa kamu begitu tega menyakiti dirimu sendiri untuk aku?” bisik Azam, penuh getar. “Apa kamu pikir aku akan sanggup membagi hati ini dengan orang lain, sedangkan seluruh ruang di dalamnya sudah penuh dengan namamu, Nayla?”
Nayla tersenyum getir. “Karena aku ingin melihatmu utuh, Mas… bahkan kalau aku harus pecah untuk itu.”
Azam memeluk Nayla dalam diam. Pelukan itu lama, penuh sesak, penuh tangis, penuh doa yang tak terucap. Mereka tak bicara, hanya saling mendengar bisikan hati yang begitu lirih.
Dan dalam keheningan senja yang menjingga, Azam berbisik, “Biarlah Allah yang menentukan, Nay… Tapi aku mohon… jangan paksa hatimu untuk melepaskan, karena aku tak akan pernah sanggup mencintai wanita lain sepertimu.”
Azam mengusap pipi Nayla yang basah oleh air mata. “Nay… kamu ini perempuan paling tabah yang pernah kutahu. Tapi tolong… cukup. Aku tak butuh apa pun selain kamu.”
Nayla mengangkat wajahnya. Matanya merah, tapi pandangannya kokoh. “Mas, aku bukan ingin pergi dari hatimu. Aku hanya ingin menjadi istri yang jujur terhadap kekurangannya. Aku mencintaimu, justru karena itu aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kamu merasakan jadi ayah. Mendengar suara tangis bayi dari keturunanmu sendiri. Kamu pantas merasakannya, Mas…”
Azam menggeleng pelan. “Tapi kamu istriku. Kamu duniaku.”
Nayla menyentuh dada Azam, tepat di atas jantungnya. “Kalau aku memang duniamu, maka izinkan aku memelihara apa yang terbaik untukmu. Aku tidak menyerah, Mas. Aku sedang berjuang. Tapi perjuanganku mungkin berbeda dari yang kamu kira.”
Azam terdiam.
Nayla melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar, “Aku tahu, di luar sana ada gadis baik-baik. Yang bisa memberimu keturunan. Tapi bukan hanya itu. Aku memilihkan perempuan yang bisa mencintaimu… dengan cara yang sama seperti aku mencintaimu. Yang bisa menghormatimu, dan mencintaiku juga, sebagai saudaranya dalam rumah kita.”
Air mata Azam kembali jatuh.
“Tapi aku tak butuh siapa pun selain kamu, Nay…”
Nayla menatapnya penuh kelembutan, “Dan aku akan tetap jadi istrimu. Selamanya. Tapi jika takdir tak mengizinkan aku menjadi ibu dari anakmu, maka izinkan aku menjadi jalan yang mengantarkan kamu pada kebahagiaan itu. Aku tidak pergi, Mas. Aku tetap di sini. Tapi aku ingin kamu merasakan hakmu yang suci sebagai seorang suami. Aku hanya... mencoba lebih ikhlas.”
Azam tak mampu membalas dengan kata. Ia hanya bisa memeluk Nayla erat—seerat hatinya yang tak pernah mau kehilangan.
Keesokan Hari Azam mendapat telepon dari sang Abi, memintanya untuk menemuinya.
Cahaya lampu gantung bergoyang lembut di bawah langit yang mulai gelap. Haji Ibrahim duduk bersila di atas permadani tipis, ditemani secangkir teh yang masih mengepulkan aroma hangat. Azam baru saja selesai menunaikan salat magrib ketika ayahnya memanggilnya dengan suara khas yang tenang namun tak bisa ditolak.
"Azam. Abi ingin bicara."
Azam mendekat dan duduk bersila di hadapan ayahnya. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara jangkrik dan daun yang saling bergesekan ditiup angin malam.
"Abi sudah mendengar dari Nayla. Tentang niat besarnya… dan tentang kamu."
Azam menunduk. Ada tarikan napas yang berat dari dadanya. “Maafkan Azam, Bi. Azam tak pernah meminta hal itu. Azam pun tak pernah berniat melukai Nayla.”
Haji Ibrahim menatap putranya dengan pandangan teduh, namun dalam. "Abi tahu. Abi sudah melihat bagaimana kamu memperlakukan istrimu. Kamu tak pernah menuntut, tak pernah mengeluh. Tapi Azam, diam-diam… kamu menyimpan rindu."
Azam mengepalkan tangannya perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Iya, Bi. Azam rindu… tapi Azam juga tak sanggup menyakiti Nayla. Bahkan saat dia mengajukan hal itu, hati Azam seperti disayat. Azam takut kalau ini justru menghancurkan dia… dan kami berdua.”
“Lalu, bagaimana dengan dirimu, Nak?” Haji Ibrahim mencondongkan tubuhnya sedikit. “Apa kamu benar-benar siap menolak semua jalan, termasuk jalan yang Nayla bukakan dengan keyakinan dan air mata?”
Azam terdiam. Hatinya berkecamuk. Ia memejamkan mata sejenak. “Azam... belum siap, Bi. Azam takut kehilangan cinta yang selama ini justru membuat Azam mengenal Allah lebih dekat. Nayla bukan sekadar istri. Dia cahaya yang menuntun Azam dalam banyak hal.”
Haji Ibrahim tersenyum tipis, penuh bijak. “Maka jika memang belum siap, jangan paksa dirimu. Tapi, kamu harus kuat menuntun langkah istrimu agar tetap dalam keikhlasan. Jangan biarkan keteguhannya menjadi luka karena kamu terus diam.”
Azam menatap ayahnya, mata mereka saling berbicara dalam keheningan.
“Lalu, jika suatu saat hati Nayla goyah, Azam akan tetap bersama dia?” tanya Haji Ibrahim lembut.
Azam menjawab tanpa ragu, dengan suara serak, “Azam akan memeluk dia lebih erat, Bi. Karena mungkin, anak itu belum Allah titipkan bukan karena Nayla tak mampu... tapi karena Azam belum cukup siap.”
Haji Ibrahim mengangguk perlahan. “Kalau begitu, mintalah petunjuk dari-Nya, Nak. Jangan mengambil langkah apa pun tanpa Allah di barisan paling depan.”
Azam mengangguk, air matanya jatuh tanpa disadari. Di malam yang kian gelap, hati seorang suami diuji oleh cinta dan tanggung jawab. Di hadapan ayah yang tak sekadar memberi nasihat, tapi menjadi saksi pertumbuhan iman dan pilihan hidupnya.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan