Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 | Suasana baru
Alana membuka mata perlahan, pandangannya menyapu sekitar. Ruangan serba putih, sebuah nakas di samping ranjang, semua terlihat dingin dan ... hening. Aroma obat menguar, menusuk indera penciuman. Alana menatap pergelangan tangannya yang dihiasi selang infus. Detak suara jam dinding terdengar monoton, menemaninya yang kini seorang diri. Tak ada siapa pun yang bisa dia jadikan tempat bertanya, pintu masih tertutup. Bahkan di luar pun sepi seperti tak ada aktivitas di sana.
Alana menoleh ke arah jendela dengan tirai yang terbuka lebar. Dari tempatnya berbaring, terlihat gedung-gedung yang menjulang dan siluet awan senja di kaki gunung yang samar.
Alana berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa sakit. Tubuhnya lemah tak berdaya. Dia melihat di atas nakas ada botol air mineral juga sebungkus roti tawar, membuat perutnya seketika bernyanyi.
Gadis itu terus mencoba meraihnya, namun semakin dia berusaha, semakin jauh terasa. Dia menghela napas, berharap ada seseorang yang datang dan membantunya.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Harapannya terkabul, pintu yang semula tertutup rapat, kini terbuka dan wajah yang sangat familiar baginya muncul dengan senyuman hangat.
"Halo, Alana. Udah bangun?"
Langkah dr. Rian dan seorang suster semakin mendekat, dia memeriksa keadaan pasien lalu meminta suster untuk keluar terlebih dulu.
Alana merasa ada sesuatu yang penting sedang terjadi dalam tubuhnya, tapi untuk bertanya, lidahnya kelu, perasaan takut pelan-pelan datang menghampiri.
"Na, apa yang sekarang kamu rasakan? Masih pusing?"
Alana hanya mengangguk, dia menarik napas dalam lalu menatap laki-laki berjas putih dengan stetoskop menggantung di leher.
"Maaf, dok. Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini? ... Mama, apa Mama tahu?" Suara Alana terdengar khawatir, bukan pada keadaannya, namun pada sang ibu yang kini entah di mana.
dr. Rian tersenyum lalu menggeleng, "tenang aja, Na. Lidia sudah tahu dan dia yang mengatakan pada ibumu, kalau kamu menginap di rumahnya."
Gadis itu mengangguk paham. Untung saja sang ibu tak berada di rumah, beliau kembali pergi mengurus berbagai bisnisnya di luar kota. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu.
"Apa 'dia' kembali bermasalah, dok?" Alana berucap lirih hampir tak terdengar.
Di lain tempat, Gala sudah bersiap pergi setelah mendapat kabar dari mata-matanya yang terus mengawasi Alana. Dia sendiri terkejut saat mendengar jika gadis itu pingsan tepat di pintu masuk sebuah rumah sakit.
Gue nggak tahu lo sakit apa, Na. Tapi gue yakin, lo nyimpen sesuatu yang berat, sendirian.
Gala mempercepat laju motornya menembus jalanan dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan.
Sampai di tujuan, Gala langsung bertanya dan setelah mendapat jawaban. Langkahnya semakin dipercepat.
Gala terdiam di depan pintu. Dari kaca kecil di tengahnya, dia melihat Alana duduk bersandar dan ada seorang dokter yang duduk di samping ranjang. Mereka terlihat akrab, saling berbincang diselingi senyum dan sesekali Gala dapat melihat Alana tersipu malu.
Wah, tu dokter ngapain berduaan sama pasien coba? Pasti dia lagi ngerayu, sok puitis kayak pemuja rahasianya yang nggak jelas itu.
Gala mengetuk pintu lalu masuk tanpa menunggu lagi. Alana dan dr. Rian terkejut, terlebih si pasien yang terbelalak melihat cowok rese itu ada di hadapannya.
"Baik, Na. Saya tinggal dulu ya. Jangan lupa obatnya diminum." Laki-laki itu mengangguk saat melewati pemuda yang berdiri di ujung ranjang.
Suara pintu tertutup membuat Alana seketika duduk tegak menghadap Gala. "Lo ngapain ke sini?" Alana menyipitkan mata, menatap lawan bicara penuh selidik.
Tanpa dipersilakan, Gala duduk di kursi. "Ih, bekas dokter nih, siapa tahu gue ketularan jadi dokter."
Gala mengusap telapak tangannya ke wajah dengan penuh harap.
"Dokter kejiwaan," celetuk Alana. Tapi buru-buru dia meralat ucapannya.
"Lo lebih pantes jadi pasien jiwa bukan dokternya."
Gala tertawa, lalu hening. Suasana menjadi canggung, keduanya salah tingkah.
Alana merasa haus, dia berusaha meraih minuman di atas nakas, namun dengan cepat, Gala meraihnya lalu menyodorkan tepat di depan bibir Alana.
"Biar gue yang pegang, gue udah cuci tangan kok. Udah bersih dari bakteri dan kuman."
Alana hampir tersedak karenanya. Dadanya kembang kempis, hidungnya terasa panas.
"Maaf, maaf. Lagian lo kaya jij1k banget liat gue, Na." Suara Gala berubah serius. Tatapannya hangat menelusuri wajah ayu itu, dia kembali membuka suara.
"Na, jawab jujur. Lo kenapa bisa ada di sini? Lo sakit apa sebenernya? Gue tahu, lo udah lama konsul sama dokter tadi, lo kenapa, Na?"
Alana hanya terdiam, tak tahu apa yang akan dia katakan.
Nggak mungkin gue katakan yang sebenernya ke dia, gue masih curiga ada sesuatu.
Ruangan itu kembali hening, dari jendela kaca terlihat senja beranjak pergi berganti dengan langit malam yang siap menyelimuti bumi.
Dari kaca kecil, seorang wanita menatap ke dalam sambil tersenyum. Dia mengurungkan tangannya yang siap membuka pintu lalu beranjak duduk di kursi tunggu.
Beberapa menit kemudian, Gala keluar ruangan dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Dia melihat seorang wanita duduk seorang diri di dekat pintu.
"Lho, kamu yang waktu itu bolos ke kafe, kan?" Wanita itu adalah Lidia, dia mengenali pemuda yang berdiri di sampingnya.
Gala mengerutkan kening. Tak lama, dia teringat seseorang yang pernah menegurnya di sebuah kafe.
Keduanya pun saling memperkenalkan diri lalu mengobrol sejenak dan Gala pamit untuk pulang.
"Saya duluan, Tante. Saya harap, Alana besok sudah boleh pulang." Gala mengangguk sopan dan melangkah pergi.
Setelah Gala tak lagi terlihat, Lidia masuk ke kamar rawat dan mendapati keponakannya tengah duduk diam memandang ke luar jendela.
"Hayo ... mikirin Gala ya?" Lidia terkekeh melihat wajah Alana memerah.
"Tante kenal?" Alana melirik tajam.
Lidia mengangguk, dia menceritakan pertemuannya dengan Gala. Alana hanya mengangguk. Kemudian, Lidia menanyakan keadaan gadis itu.
"### Aku nggak papa, Tant. Cuma kecapekan, kemaren ke sini mau konsul aja." Alana berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
Malam perlahan pergi digantikan semburat langit subuh dengan ketenangan dan kesegaran udaranya.
Alana bangun dan merasakan tubuhnya mulai membaik. Dia turun dari ranjang dan berjalan pelan ke arah toilet. Dilihatnya Lidia masih tertidur di sofa.
Alana membasuh wajah meski dengan infus menempel di tangan, dia tersenyum di depan cermin.
Gue harus sehat. Nggak boleh nyerah, gue harus jagain Mama dan tentunya gue harus cari tahu siapa orang tua kandung dan panti itu. Oke, Alana. Lo cewek tangguh! Semangat!
Alana keluar dan melihat Lidia baru bangun dan tersenyum ke arahnya.
"Kenapa nggak bangunin Tante, Na?"
Alana tertawa kecil, "nggak papa, Tant. Lagian aku masih bisa jalan kok."
Pukul 8 pagi, dr. Rian datang dan meminta Lidia untuk mengurus administrasi. Alana diperbolehkan pulang setelah semua selesai.
Saat Lidia pergi, dr. Rian memberikan nasehat pada pasiennya.
"Pokoknya, kalau besok-besok kamu ngerasain ada yang nggak beres, cepet ke sini ya. Kondisi ginjalmu masih baik, Na. Hanya saja kalau terlalu diforsir, dia akan lemah. Jadi, kamu jangan terlalu banyak aktivitas berat, perbanyak minum air putih dan kontrol pikiranmu. Semua akan baik-baik saja selama pikiranmu selalu positif."
Alana mengangguk lalu mereka serentak menoleh saat seseorang memanggil Alana.
Di ambang pintu, Gala tersenyum lebar sembari mengacungkan paper bag di tangannya. Dia mendekati ranjang, lalu ...
"Maaf ya, Sayang. Aku telat dateng. Oh ya, dok. Pacar saya sudah boleh pulang kan? Sepi rasanya ke sekolah tanpa dia." Gala menunjuk Alana yang kini menatapnya tajam, namun dia tak menggubris sedikit pun.
Dengan semangat, Gala semakin melontarkan kata-kata rayuan, kalimat puitis sampai akhirnya dr. Rian pamit pergi.
Saat dokter itu berjalan ke arah pintu, Gala terus menatapnya.
"Huss ... husss ... sanaaaahhhh ...."
Gala menirukan penyanyi wanita dengan suara manja. Aksinya membuat Alana melemparkan bantal lalu tertawa.
"Nah, gitu dong, ketawa. Jangan marah-marah mulu kalo sama gue. Lo itu cantik, Na. Asal nggak keluarin khodam singa lo aja." Gala tertawa makin kencang sedang wajah Alana memerah.
Pemandangan itu dilihat sepasang mata di kaca pintu, yang sejak tadi belum juga beranjak pergi.
*
jika berkenan mampir juga yuk ke karya ku.