NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:952
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6.Malam Penyerahan

Lampu kota mengalir di jendela taksi seperti kilatan hujan emas padang pasir. Setiap cahaya neon yang tertangkap kaca memercikkan pertanyaan yang sama di kepalaku: haruskah aku minta sopir berputar balik? Tapi setiap kali bibirku hampir terbuka, suara Tristan dari siang tadi membungkam keberanian itu—di papan catur ini, waktu tak pernah adil.

Kalea menolak ikut malam ini. Ia menatapku dengan mata berkabut sebelum aku pergi, seolah menakar berapa jauh sahabatnya akan mengkhianati janji. Ia tak mengeluarkan kata marah; ia hanya menyelipkan kunci apartemen ke telapak tanganku, menekannya sampai kulitku memutih. “Apa pun yang terjadi, pulang,” bisiknya. Kata “pulang” terasa seperti doa sekaligus peringatan.

Hotel tempat aku bertemu Tristan berdiri di tepi segitiga emas Jakarta—menjulang dengan kaca biru yang memantulkan bintang palsu lampu jalan. Lobi sepi karena malam telah lewat tengah, tapi aroma orkid putih dan piano instrumental membuat semuanya tampak tenang, hampir suci, seakan apa pun di luar gedung hanyalah rumor.

Lift memanjat ke lantai tiga puluh sembilan. Dinding stainless memantulkan siluetku—gaun hitam tipis sampai lutut, bahu terbuka, rambut digelung rendah. Aku menolak memakai wewangian malam ini, ingin tahu apakah Tristan masih mengenali “umpan” tanpa topeng aroma. Tapi jantungku menggedor sangkar tulang begitu keras, rasanya aroma ketakutan sudah menyebar.

Pintu suite terbuka bahkan sebelum aku mengetuk. Tristan berdiri di ambang, mengenakan kemeja putih tipis lengan digulung, celana panjang abu gelap, kaki telanjang di lantai marmer. Tidak ada dasi, tidak ada jas. Hanya pria dengan bahu lebar dan mata obsidian yang kini terpantul cahaya lampu hotel, seperti arang yang nyaris berpijar.

“Aurora,” suaranya rendah, namun tidak berbisik. Ia menyebut namaku seolah sedang menarik benang halus yang terikat di dalam dadaku.

“Aku terlambat empat menit,” kataku, rambutku gemetar sedikit ketika ku betulkan.

“Empat menit itu sisa waktu sebelum pion dihilangkan,” jawabnya sambil sedikit miringkan kepala. Ada senyum nyaris tak terlihat di sudut bibirnya, lebih seperti rasa puas karena sesuatu yang tak terucap berjalan sesuai rencana. “Masuklah.”

Suite itu sunyi. Lampu redup seperti senja yang lupa padam, memandikan ruangan dalam warna emas tua. Di meja kayu dekat jendela, dua gelas kristal sudah menunggu; cairan amber tipis berputar malas.

“Aku tidak minum malam ini,” kataku, setengah defensif.

Tristan menutup pintu, mengunci, lalu berjalan melewati ku—aroma sabun netral menabrak hidungku. “Gelas itu untukku. Kau bisa ambil air putih di minibar.”

Ia duduk di sofa krem, membiarkanku berdiri di tengah ruangan bagaikan aktris yang lupa naskah. Lalu ia mengangguk, isyarat agar aku mendekat.

Aku menarik napas, duduk di sisi lain sofa, menjaga jarak satu bantal. Bantal itu rasanya bagai pagar terakhir kontrak suci yang kupeluk delapan tahun lalu.

“Kau datang sendirian,” katanya, menekuk lutut dan menyandar siku ke paha, jemari saling mengunci. “Kupikir sahabatmu akan menunggu di lobi.”

“Kalea percaya aku bisa pulang sendiri.”

“Mungkin ia percaya, mungkin ia putus asa.” Tatapannya menelusuri paras wajahku, turun ke jemari yang ku pelintir di pangkuan. “Apakah kau datang untuk menyelamatkan kebohonganmu—atau menelanjangi kebenaranmu?”

Aku menelan ludah kering. “Aku datang untuk… menjawab rasa ingin tahuku.”

“Rasa ingin tahu tentang apa?”

“Tentang apa yang terjadi kalau aku berhenti berperan.”

Keheningan tebal jatuh. Dari luar, samar-samar terdengar deru AC eksternal hotel; di dalam, hanya detik jam quartz yang seolah berdegup.

Tristan berdiri, berjalan perlahan ke jendela. Jakarta di bawah kami menyalakan lampu tak sabar—jalan tol bagaikan urat emas, gedung-gedung bank memancarkan logo biru dan merah, lalu lintas larut masih bergerak seperti sungai api. Ia berdiri membelakangi ku, tapi suaranya memecah ruang.

“Kapan terakhir kali seseorang menyentuhmu tanpa transaksi?”

Pertanyaan itu menusuk lebih tajam dari pisau. “Tidak pernah ada transaksi,” desis ku. “Kami—aku—tidak menjual tubuh.”

“Benar,” ujarnya pelan. Ia berbalik, bersandar pada kusen jendela, tangan di saku. “Kau menjual ilusi. Tapi ilusi yang cukup lama akan menagih daging sebagai bunga.”

Aku bangkit refleks, meremas gaun seolah akan merobek kainnya. “Kalau kau mengundangku untuk mencaci moral—”

Tristan mengangkat tangan pelan, menahan kata-kataku. “Aku mengundangmu untuk—mungkin—menerima kebenaran sederhana: tubuh dan hati sama-sama bisa dibohongi, tapi keduanya lapar akan kejujuran. Aku ingin tahu lapar macam apa yang bersembunyi di balik sorot matamu.”

Aku terdiam. Kata “lapar” bergema di ruang dingin, memanaskan darah. Suatu denyut aneh merayap dari tulang ekor naik ke tengkuk. Ketakutan dan hasrat berdansa dalam jarak sekian langkah.

Tristan melangkah mendekat. Hanya dua meter terpisah, tapi udara di antara kami menebal seolah diisi listrik. “Aurora. Jika kau ingin pergi, pintu di belakangmu tidak terkunci.”

“Kau yang mengunci.”

“Aku menguncinya untuk menghalangi dunia. Bukan untuk menghalangi mu.”

Dalam kepala, kontrak suci terlipat-lipat seperti kertas basah. Satu poin kilat: keperawanan kami bukan barang dagangan. Dua: kami boleh menipu dunia tapi tidak saling bohong. Mata Kalea yang takut, tangan Kalea yang gemetar menutup pintu apartemen.

Tapi malam ini—di ruangan emas redup, bersama pria yang tak menyentuhku namun sudah menelanjangiku—aku menyadari tubuhku haus kebenaran lebih tajam daripada haus uang.

Aku menatap mata Tristan. “Kalau aku tidak ingin lari, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan menunggu sampai kau berhenti memikirkan apa yang harus kau lakukan.”

Suara itu tenang, tapi jari Tristan menggenggam kosong di samping paha, seolah ia pun menahan lautan dalam. Tiba-tiba aku lelah berperan. Leherku panas, mata perih. Ku ketuk dadaku sendiri—tiga kali, seperti ritus kelingking Kalea—lalu melangkah maju, membiarkan jarak menguap.

Tanganku menyentuh dada Tristan, merasakan detak jantungnya yang teratur, kontras dengan degup liar di punggung tanganku. Ia tak bergerak, menunggu.

“Apakah ini penyerahan?” tanyaku, napas menggigil.

“Bukan,” bisiknya di keningku. “Ini pilihan.”

Kata itu membuka kunci di dalam diriku. Aku menengadah, bibirku menemukan garis rahang yang hangat. Ciuman pertama datang perlahan, ragu, lalu tenggelam dalam arus yang lebih dalam ketika tangannya mengangkat wajahku dengan lembut. Tidak ada tarikan paksa, hanya keheningan yang tiba-tiba dipenuhi desah.

Aku gemetar—antara takut dan nikmat yang tak terdefinisi. Ketika bibirnya mencari bibirku, aku mengecap rasa kopi lembut, rasa malam liar; aku mengecap kebebasan yang mematikan. Tanganku mencengkeram kerah kemejanya, merasakan ketegangan otot di balik kain.

Waktu mengabur. Barang mewah suite—sofa krem, meja kopi kaca, lampu gantung—larut jadi latar yang jauh. Yang tersisa hanyalah napas beradu, kulit bergesek, desis kain ketika kemeja terlepas. Tristan menuntunku mundur, lututku bersentuh tepi ranjang king, lalu jatuh perlahan ke permukaan seprai linen dingin.

Lampu tidak dimatikan. Aku melihat tubuhnya di cahaya emas lembut: bahu luas, bekas luka samar di lengan kiri, dan ekspresi di matanya—campuran rasa lapar dan sesuatu yang hampir menyerupai khawatir. Sementara aku, dengan gaun tertarik ke pinggang, merasa bagai lukisan separuh jadi, terbuka pada penonton tunggal.

“Masih ada waktu untuk pergi,” katanya, suara serak menahan diri.

Aku meraih tangannya, menempelkan jari-jarinya ke detak nadi di leherku. “Aku lelah berlari.”

Ketika gaunku menanggalkan bahu, kupikir akan ada rasa malu menancap, tapi yang datang justru kelegaan pedih—seperti membuka perban lama dan membiarkan luka bernapas.

Sentuhan bibirnya di tulang selangka menyalakan api lambat yang merayap ke seluruh kulit. Aku memejam, setiap saraf di tubuhku memetakan teritori asing yang hingga kini tabu. Saat ia menenggelamkan wajah di cekungan leher, desahan lepas dari mulutku, mengejutkan kami berdua.

Satu helai rambut lepas menempel di pipiku; ia menyelipkannya ke belakang telinga, gerakan pelan yang membuat mataku basah oleh gentleness yang asing. Bagaimana bisa akal sehatku runtuh hanya karena kelembutan?

Kontrak suci pecah ketika tubuh kami berpadu. Bukan karena rasa sakit—meski ada kilat tajam sekejap—melainkan karena kenikmatan yang menumbuhkan rasa bersalah dalam sekali tarikan napas. Di sela napas bergegas dan lembar seprai kusut, aku mendengar detak jantungku sendiri menampar ruang, memintaku mengingat ribuan malam kontrak itu jadi jangkar harapan.

Tapi rasa malu tergantikan oleh banjir sensasi: panas kulit melawan dingin AC, gemuruh darah di telinga, getar ranjang yang mengikuti irama baru kami. Setiap kali Tristan menyebut namaku, suaranya pecah jadi bisikan garuk di tepian gravitasi. Dan di tengah badai itu, aku menemukan bagian diriku yang dulu terkubur di bawah topeng: gadis yang ingin dipeluk tanpa harga, gadis yang ingin dilihat tanpa kedok.

Ketika badai mereda, kami terbaring saling diam. Lampu masih redup, tetapi dunia terasa terlalu terang. Kudengar denyut jantungnya perlahan turun, sementara di dalam kepalaku, kutukan sekaligus kelegaan membentur dinding batin: kontrak suci telah kulanggar.

Tristan menarik selimut, menutup tubuhku sampai pundak. Ia tidak bicara dulu. Hanya membenamkan wajah di rambutku, menghirup napas panjang. Baru lama kemudian ia berkata, sangat pelan, “Kau baik-baik saja?”

Aku tak tahu harus tertawa atau menangis. Aku kehilangan sesuatu yang secara teknis kecil—sehelai selaput—tetapi secara emosional sebesar janji hidup. Namun anehnya, dadaku tidak berlubang. Rasanya malah penuh hingga meluap.

“Aku baik,” jawabku, suara serak. “Hanya takut besok.”

“Besok adalah papan baru,” balasnya. Ia mengecup dahiku, gerakan ringan yang hampir membuat air mataku runtuh. “Dan kau bebas menempatkan dirimu di mana pun.”

Di luar jendela, lampu kota mulai padam satu-satu, menyisakan garis oranye samar di cakrawala. Fajar belum lahir, tetapi malam sudah tua. Dalam ruang senyap, aku membiarkan selimut rasa bersalah menyelimuti, tapi di bawahnya, api kecil keterhubungan tetap berkobar.

Aku tertidur di dadanya dengan satu pikiran berputar: Kalea akan tahu, entah lewat mataku yang berubah atau lewat diam ku yang terlalu panjang. Dan ketika ia tahu, kontrak suci bukan hanya robek—ia akan terbakar.

Namun sebelum mimpi menarik ku turun, suara Tristan terngiang seperti gema jauh, “Waktu tak pernah adil, Aurora. Tapi terkadang, kita bisa menipu waktu dengan memilih.”

Malam ini aku memilih. Dan dunia, besok pagi, akan menagih harganya.

.

.

.

Bersambung....

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!