Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alamat Ghaib
Malam itu, Nadira kembali duduk di depan laptop, cahaya layar menyorot wajahnya yang pucat kelelahan. Sejak pesan pertama muncul dari nomor asing hanya berisi dua kalimat singkat namun menusuk—“Jangan datang.” dan “Bukan untukmu.”—dadanya seperti diikat tali tipis semakin lama semakin kencang menghambat napas gelisah tak kunjung reda.
Ia membuka kembali pesan itu, meneliti setiap elemen yang sebelumnya luput dari perhatiannya. Matanya tiba-tiba tertuju pada simbol kecil di bawah kalimat kedua, sebuah karakter aneh angka lalu di tempelkannya ke dalam notepad kosong. Layar berkedip sebentar, berubah menjadi sederet angka terang
-0.26741, 100.48319
Nadira terdiam, jari-jarinya membeku di atas keyboard. “…Koordinat?”
Ia teringat masa lalu, saat menemani seorang surveyor menggunakan perangkat GPS di lapangan. Bentuk angka seperti ini familiar baginya, dan justru itulah yang membuat bulu kuduknya perlahan merinding. Tanpa pikir panjang memasukkan deretan angka itu ke dalam kolom pencarian.
Jempolnya menari di atas touchpad, memperbesar peta perlahan-lahan. Zoom in, zoom in lagi, dan lagi, hingga lanskap yang awalnya berupa hamparan hijau luas berubah menjadi detail hutan lebat terselip di antara bukit dan pegunungan.
Di bagian bawah layar, muncul sebuah nama tempat dengan font samar, seolah enggan untuk ditampilkan dengan jelas, Koto Tuo — sebuah nagari yang tidak dicantumkan di semua peta.
Nadira menelan ludah pahit di kerongkongannya. “Ini…” gumamnya lirih, “ini persis seperti… tempat yang kulihat dalam mimpi itu.”
Ia membuka tab baru mencari informasi tentang desa tersebut. Semakin dalam ia menyelami, semakin aneh yang ia temui. Beberapa peta menampilkan lokasi yang berbeda-beda untuk Koto Tuo, beberapa peta digital bahkan sama sekali tidak mengenali namanya.
Di forum-forum lokal yang ia temukan, ada beberapa sebutan samar untuk tempat itu, salah satunya adalah “kampung tua yang tidak mau ditemukan orang luar,” disertai komentar-komentar singkat berhenti tiba-tiba, diputus oleh ketakutan.
“Sial…” desisnya pelan, matanya masih tertancap pada layar, “Raga, apa yang sebenarnya lu sembunyikan dari kami semua?”
Rasa penasaran benih kecil tumbuh menjadi dorongan tidak dapat di kendalikan, sebuah tarikan kuat memutuskan untuk melakukan langkah gila—mungkin yang paling nekat dalam hidupnya.
Ia harus mencari alamat keluarga Raga. Apa pun caranya.
\=\=\=
Pagi berikutnya, langkah Nadira terasa berat penuh tekad saat kembali ke kantor menuju ruangannya di HRD, ia justru berbelok ke bagian administrasi lama, di mana arsip-arsip kertas dan berkas pegawai dari tahun-tahun sebelumnya masih disimpan dengan rapi.
Ia membuka laci paling bawah meja itu—sebuah tindakan membuat tubuhnya gemetar hebat. Di antara map-map usang, matanya menangkap satu sampul yang pudar namun masih terbaca jelas:
RAGA PRATAMA – PERSONAL FILE (OLD)
Koto Tuo, Kecamatan X — Sumatra Barat.
RT tidak dicantumkan.Desa tanpa nomor rumah, sungguh aneh, pikirnya.
Ia menutup laci mengembalikan map, ponsel di saku jaketnya bergetar lagi, nomor yang sama, hanya satu pesan singkat yang muncul:
“Jika kamu tetap datang… sesuatu akan ikut denganmu.”
Nadira mematung, udara di sekitarnya membeku, kali ini bukan rasa takut melainkan sebuah kepastian tiba-tiba mengkristal, keras dan tajam.
“ Raga ada di sana,” bisiknya pada diri sendiri, “Gue akan tetap datang.”
Ia menutup ponselnya, mata sudah memancarkan keteguhan, koto Tuo memanggilnya dengan misteri dan ancaman. Dan Nadira, dengan segala ketakutannya, mulai menjawab panggilan itu.
Sepulang dari kantor, Nadira duduk di halte didepan gedung kantor dengan laptop terbuka di pangkuan. Cahaya senja jingga keemasan jatuh di atas layar menampilkan petunjuk konkret, alamat kos Raga.
Bukan ke keluarganya di Sumatra—itu terlalu jauh dan samar. Titik awal yang paling masuk akal adalah dunia yang pernah dihuni Raga di kota ini. Nadira menutup laptopnya dengan tekad yang mengeras. Jika misteri ini memiliki sebuah pintu, maka pintu itu pasti ada di kos tersebut.
Gang sempit, sunyi, dan serasa terlepas dari riuh rendah Jakarta. Suasana hening pecah oleh suara TV dari balik jendela-jendela tertutup dan baju-baju bergoyang di jemuran. Kos Raga berada di lantai atas sebuah rumah tua catnya mengelupas, dengan pintu depan ditahan oleh gembok kecil.
Nadira menarik napas sebelum mengetuk pintu. Seorang ibu paruh baya dengan mata sayu namun ramah membukanya. "Cari siapa, Nak?"
“Mohon maaf, Bu, saya mencari Raga, teman satu kantornya.”
Keramahan di wajah ibu itu memudar, digantikan oleh keheningan berat, seolah nama itu adalah sebuah kenangan yang tenggelam.
“Ah… Raga,” ujarnya lirih, memalingkan wajah. “Dia sudah lama tidak pulang. Tiga minggu.”
“Tiga minggu?” Nadira tercekat. Di kantor, Raga hanya mengajukan cuti dua minggu.
Ibu kos mengangguk pelan, suaranya berbisik. “Dia bilang mau pulang kampung… tapi caranya pergi itu aneh.”
“Aneh bagaimana, Bu?”
“Dia pergi hanya membawa dompet dan ponsel. Baju-baju, buku-buku, bahkan tas ranselnya ditinggal semua di kamar.”
Nadira merasakan tenggorokannya mengering. “Bu… boleh saya lihat kamarnya?”
Setelah beberapa detik ragu panjang, perempuan itu akhirnya mengangguk.
Pintu kamar terbuka bukan hanya udara pengap tapi sebuah perasaan dalam,
kaos masih tersampir di sandaran kursi, debuah buku terbuka tergeletak di atas meja, seakan baru saja dibaca, dan di dinding, tergantung sebuah foto kecil berbingkai sederhana.
Wajah Raga pucat dan senyap, berdiri di depan sebuah jembatan kayu tua melintasi aliran sungai keruh, jantungnya berhenti sejenak. Itu jembatan yang sama, persis dilihat dalam mimpinya.
Rasa penasaran begitu dalam, melepas foto dari paku di dinding. Di balik bingkai kaca yang tipis, terselip secarik kertas kecil yang terlipat rapat
-0.26741, 100.48319
Koordinat yang sama persis dengan yang dikirim oleh A.R. ke ponsel. Nadira mundur selangkah, kertas itu terasa panas di genggamannya. “Bu,” tanyanya pada ibu kos yang berdiri di ambang pintu, “Ibu tahu ini lokasi apa?”
Dia menggeleng, matanya memancarkan ketakutan dalam dan samar, sesuatu tidak seluruhnya bisa Nadira pahami.
“Saya pernah melihat jembatan ini,” gumamnya pada diri sendiri. “Di dalam mimpi.”
Ibu kos memegang lengannya erat. “Nak… kalau kamu teman dekat Raga… lebih baik jangan cari dia.”
“Kenapa, Bu?”
Wanita itu menurunkan suara desahan angin. “Sebab dua hari sebelum Raga menghilang… ada seseorang mencari dia.”
“Siapa?”
“Ibu tidak melihat wajahnya jelas, perempuan berambut panjang memakai baju dan selendang putih. Dan dia…” Ibu berhenti sesaat menelan ludah “… Ia sudah berdiri di depan pintu kamar Raga disaat ibu naik ke atas.”
Udara menyergap dingin ruangan, Nadira termangu menunggu kata kata jatuh dari mulutnya.
“Dan ia menghilang begitu saja seperti kabut, “semenjak malam itu… kamar ini selalu terasa dingin sekali, Nak. Padahal kota Jakarta panas begini.”
Nadira mengepalkan tangannya, merasakan ujung kertas koordinat menusuk kulitnya. Ia kini mengerti bukan lagi sekadar soal seorang rekan yang hilang.
Dan kini, dengan koordinat yang sama di tangannya, dengan mimpi yang sama di kepalanya, Nadira merasa tarikan mulai menjeratnya, menariknya perlahan menuju sebuah titik di peta yang bernama Koto Tuo.
Pencarian resminya dimulai dari sini, dari kamar kos yang dingin ini. Dan ia tahu, ini hanya langkah pertama dari perjalanan jauh lebih gelap.