NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

“Ayolah, Ndra. Kapan lagi kita nongkrong bareng? Lo tuh udah kayak fosil, hidupnya cuma kerja, kerja, dan kerja.”

Kenzo memeluk bahu Nagendra yang hanya menatap ke layar laptop tanpa emosi.

“Gue CEO, bukan pengangguran macam lo.”

Sahutan Nagendra seperti biasa—datar, tanpa ekspresi. Tapi sayangnya itu tidak cukup untuk membungkam tiga manusia dengan mental batu karang.

Ilham langsung duduk di ujung meja rapat, melipat kaki di atas meja. “Club baru di daerah atas itu lho, yang lighting-nya bisa disetting dari app. Lo bakal suka. Gue denger-denger bartendernya mirip Song Joong-ki.”

Nagendra hanya mendesah.

“Satu malam. Aja.”

Ravel akhirnya turun tangan. Dengan nada tenang tapi mematikan.

“Kalau lo nolak juga, besok kita bikin video dokumenter: The Rise and Fall of Nagendra Alejandro—From SMA Legend to Robot Kantoran.”

Kenzo menimpali, “Bakal viral, sumpah. Gue editin cinematic. Musik sedih. Ada narasi, ’Ia dulu adalah pria penuh gaya, sekarang… bahkan tidak tahu apa itu mojito.’”

Ilham pura-pura menangis.

“Sedih banget hidup lo, Ndra. Ayo dong, kita kan cuma mau… ngobrol, minum, joget dikit—asal jangan joget pake dasi doang.”

Akhirnya, setelah beberapa detik diam, Nagendra menutup laptopnya dan berkata tanpa menoleh:

“Jam berapa?”

Tiga sahabat itu langsung bersorak.

“YES! Klub elit, jam sepuluh malam! Bawa wajah gantengmu, tapi simpan tatapan horor itu di rumah!”

Ilham menunjuk wajah dingin Nagendra, yang tidak terpengaruh sedikit pun oleh euforia mereka.

Malam Hari – Club Luxora

Lampu neon menyala liar, dentuman musik menghentak. Club Luxora penuh manusia berdansa, tertawa, dan larut dalam dunia penuh euforia.

Nagendra datang dengan blazer hitam dan kemeja santai—masih terlihat seperti CEO, tapi lebih manusiawi malam itu.

“Masih sama. Bising dan tidak penting,” gumamnya saat melihat sekeliling.

Kenzo langsung menghambur ke bar. Ilham sudah hilang entah ke mana. Ravel berdiri di samping Nagendra, menyerahkan segelas minuman.

“Tenang aja. Gue jagain lo malam ini. Kalau ada cewek yang nyamperin, bilang aja lo udah punya calon istri.”

Nagendra memutar bola matanya.

“Sialnya, itu hampir benar.”

“Adeline?” tanya Ravel.

“Dipaksa.”

“Tragis.” Ravel menyesap minumannya.

“Kalau lo emang nggak suka, kenapa diem aja?”

“Karena berisik lebih melelahkan.”

Tiba-tiba, sorot lampu menyorot panggung dansa. Seorang wanita dengan gaun merah menyala mulai melangkah masuk. Riasannya tegas, tapi langkahnya… sangat Cathesa?

Nagendra sempat menoleh—hanya untuk memastikan bukan Cathesa. Tapi detik berikutnya, pikirannya mulai tak tenang.

Kenapa malah memikirkan Cathesa?

Ravel mencoleknya. “Lo kepikiran siapa? Adeline?”

Nagendra tak menjawab.

“Ah… bukan Adeline, ya?”

Ravel menyeringai.

“Jangan-jangan… sekretaris lo?”

Nagendra hanya menatap ke arah bar, tidak menjawab. Tapi sorot matanya… berbahaya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Luxora Club malam itu tampak elegan—sampai tiga pria datang membawa kekacauan seperti karakter kartun yang dilepaskan ke tengah pesta eksklusif.

Kenzo, entah kenapa, membawa topi badut dari entah mana. Ia memakainya sambil menari seperti ayam yang kesetrum. Di tangannya segelas mocktail berwarna biru yang dia akui “terlihat mahal padahal rasanya kayak obat batuk anak-anak.”

Ilham, yang baru saja naik ke area VIP, malah pura-pura jadi MC acara.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian! Saksikan! CEO paling ganteng tapi gak bisa senyum! Naaaagendra Aleejandrooo!”

Satu ruangan menoleh.

Nagendra menatapnya dengan pandangan mati-rasa-tapi-siap-mengubur, tapi Ilham tetap ceria.

“Tenang bro, gue bantu promosiin brand lo. Biar para wanita tau lo jomblo karena pilihan, bukan karena ditolak!”

Sementara itu, Ravel sibuk… dengan tiga wanita sekaligus. Tapi tetap sempat mencolek Nagendra dan berkata:

“Bro, si rambut pendek di meja pojok nanyain lo. Gue bilang lo udah tunangan, dia langsung pindah ke gue. Jadi, terima kasih ya.”

Nagendra menyandarkan kepala ke sofa kulit di belakangnya, menghela napas dalam-dalam.

“Kenapa gue mau diajak ke sini lagi?”

Tiba-tiba Kenzo muncul dari balik tirai bar sambil membawa… cermin kecil!

“Liat nih, gue nemu ini di toilet VIP. Kaca ini lebih jujur dari mantan gue. Nih, Ndra… liat muka lo. Dinginnya udah kayak freezer. Tapi bohong kalo lo bilang gak mikirin seseorang.”

Nagendra melirik cermin itu sekilas.

“Cermin itu pecahin dulu. Biar lu gak ngaca terus.”

Kenzo ngakak. “Fix. Lo lagi jatuh cinta. Sama sekretaris lo yang tadi itu, ya? Si Cathesa?”

Nagendra meneguk minumannya dalam diam.

“Gue datang ke sini buat tenang. Bukan buat diinterogasi.”

Ilham menyorongkan gelas mocktail ungu miliknya.

“Nih minum. Rasanya kayak gagal move on.”

“Apa pun itu rasanya, lebih enak dari suara lo,” sahut Nagendra datar.

Tapi senyumnya—sekilas, tipis—muncul juga. Hanya sepersekian detik. Dan ketiga sahabatnya menangkap itu seperti menangkap Pokémon langka.

“GUE LIAT DIA SENYUM!”

Ilham berdiri di kursi. “REKAM! DUNIA HARUS TAHU!”

“Kita pecahkan rekor dunia! CEO Alejandro bisa senyum tanpa ancaman hukum!” seru Kenzo sambil putar badan ala K-Pop dancer.

Ravel cuma geleng-geleng kepala.

“Gue gak tahu ini klub atau sirkus…”

Nagendra akhirnya berdiri, menepuk bahu Ravel.

“Gue pulang. Sebelum IQ gue turun karena kalian.”

“Eh! Bro! Baru jam sebelas!” Ilham protes.

“Satu jam sama kalian rasanya kayak dua semester.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Jam menunjukkan hampir pukul dua dini hari ketika Nagendra akhirnya meninggalkan club dengan langkah goyah tapi masih berusaha terlihat “berwibawa”.

Kenzo, Ilham, dan Ravel sudah duluan pulang, menyerah menghadapi wajah kusut bos mereka.

Di jalan, suara dentuman musik klub masih menggema di kepala Nagendra. Otaknya berputar, campuran antara bosan, letih, dan—tanpa dia sadari—perasaan aneh yang makin sulit disembunyikan.

Tanpa pikir panjang, tanpa sadar, ia malah memilih naik taksi menuju rumah Cathesa.

Di rumah Cathesa, lampu teras masih menyala. Cathesa baru saja menutup pintu depan setelah pulang lembur dari kantor.

Belum sempat ia melepas sepatu, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.

Cathesa membuka pintu, kaget setengah mati melihat sosok pria yang hampir tidak dikenalnya itu—Nagendra, dalam keadaan setengah mabuk, tersandar di ambang pintu.

Ibu Cathesa yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri dan memicingkan mata.

“Siapa ini? Kenapa sampai tengah malam begini datang ke rumah kita?”

Cathesa mengernyit, mencoba mengendalikan situasi.

“Pak Nagendra? Apa yang Anda lakukan di sini…?”

Nagendra bergoyang sedikit, lalu tersenyum simpul.

“Mabuk… tapi… kepikiran… kamu.”

Cathesa membeku.

“Apa?!”

Ibu Cathesa semakin curiga dan mulai berbisik dalam hati,

“Ini si CEO dingin malah bikin drama di rumah anakku? Aduh, ntar jadi bahan gosip kampung!”

Nagendra berusaha mengangkat tangan seperti hendak menjelaskan sesuatu, tapi malah hampir terjatuh. Cathesa cepat-cepat menahan agar tidak roboh.

“Ayo masuk, saya bantu…”

kata Cathesa, masih terkejut tapi menahan tawa kecil.

Ibu Cathesa melirik dari ruang tamu, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit jijik karena bau alkohol yang menyengat.

Nagendra masuk dengan langkah gontai,

“Gue… nggak biasa begini…”

Cathesa hanya bisa geleng kepala sambil memikirkan,

“Ini baru pertama kali bos yang dingin berubah jadi pecandu club malam. Besok pasti bakal kacau.”

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!