kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Kotak yang Tidak Boleh Dibuka
Malam turun perlahan. Langit tampak bersih, tapi hawa di sekitar rumah Bu Kasih seperti tertahan. Pepohonan di pekarangan belakang tak bergerak sedikit pun, seolah enggan bersuara.
Erik berdiri di ruang tengah, memandangi langit-langit yang perlahan memudar ke dalam gelap. Siska duduk di kursi rotan, memeluk lutut, menatap kosong ke arah pintu kamar belakang. Di dekat jendela, Aji tengah meracik dupa yang dibawa Mbah Taryo.
“Mulai sekarang jangan saling lepas pandang,” ucap Aji pelan. “Kalau nanti kalian merasa ada satu dari kita yang berubah... tanyakan dulu namanya.”
“Kenapa?” tanya Erik.
“Karena kadang... mereka bisa menyamar. Menyerupai wajah dan suara. Tapi mereka tidak tahu nama.”
Erik dan Siska saling pandang, lalu mengangguk.
Mbah Taryo berdiri, menggenggam tongkat kayu tua dengan ukiran aneh di pangkalnya. “Siapkan satu lampu senter. Jangan terlalu terang. Yang penting... jangan bersuara keras saat di loteng.”
Tangga kayu diturunkan dari plafon. Bunyi engselnya membuat bulu kuduk berdiri. Tangga itu seolah jarang—atau tidak pernah—digunakan.
Satu per satu mereka naik. Erik di depan, membawa senter. Di belakangnya Aji, lalu Mbah Taryo. Siska tetap di bawah, menjaga pintu.
Langit-langit loteng terbuka. Udara pengap langsung menyergap wajah Erik. Bau tanah, kayu tua, dan sesuatu yang... busuk, samar menguar dari dalam.
Ia menyorotkan senter ke seluruh ruangan. Loteng itu sempit, penuh sarang laba-laba. Ada tumpukan dus-dus karton, kain tua, dan... sesuatu yang dibungkus kain putih di pojok ruangan.
Erik merayap masuk, lalu memberi aba-aba pada Aji dan Mbah Taryo.
“Di sana,” bisiknya sambil menunjuk pojok loteng.
Mereka bertiga bergerak perlahan, suara kayu di bawah kaki berderit lirih. Tiba-tiba...
“Kreet...”
Suara dari belakang.
Mereka menoleh.
Tangga... bergerak sendiri. Naik satu undakan.
Tapi Siska tadi di bawah. Tak mungkin...
Erik buru-buru sorotkan senter ke bawah. Tangga... kosong. Tapi... ada bayangan kaki kecil di bawah cahaya lampu dari ruang tengah. Diam. Berdiri menghadap ke atas.
Erik langsung berpaling, napasnya memburu.
Mbah Taryo tetap tenang. Ia berlutut, membuka tas kecilnya, lalu mulai komat-kamit membaca sesuatu dalam bahasa Jawa kuno.
Aji menyibak kain putih di pojok.
Di sana ada sebuah kotak kayu tua. Ukurannya kecil, kira-kira sebesar kepala anak-anak. Ada ukiran melingkar di permukaannya, dengan tiga paku besar yang menahan tutup kotaknya.
“Ini dia,” ucap Aji pelan. “Ini... kuncinya.”
“Jangan dibuka,” tegur Mbah Taryo, suaranya berat. “Tutup itu disegel dengan paku pusaka. Kalau dicabut, bukan cuma yang di dalam kotak keluar... tapi yang di luar juga bisa masuk.”
Erik mendekat, mengamati kotak itu.
Tiba-tiba... senter di tangannya mati.
Gelap. Total.
Lalu terdengar suara nafas. Dekat. Tepat di telinga Erik.
“Ayah...”
Ia tersentak. Napasnya tercekat.
Di belakangnya, senter Aji menyala.
Seseorang berdiri di antara Erik dan Aji. Sosok kecil. Tubuhnya kurus. Rambutnya menutupi wajah. Tangannya menjuntai kaku. Pakaiannya seperti baju tidur lama. Basah. Bau lumpur.
“AYAH... AKU DI SINI...”
Erik mundur. Sosok itu bergerak ke arah kotak.
Mbah Taryo menggedor tongkatnya ke lantai loteng. Bunyi dentumnya keras, bergema.
Sosok kecil itu mendesis, lalu menghilang begitu saja, seperti asap yang ditarik ke dalam dinding.
Semua terdiam. Hening.
“Senter mati itu pertanda,” gumam Mbah Taryo. “Kekuatan mereka makin dekat. Mereka tahu kita sudah menemukan kunci. Tapi... belum terlambat.”
Aji membungkus kembali kotak itu.
“Kita harus simpan ini dulu. Jangan buka. Jangan dekatkan ke anak-anak. Dan jangan pernah tinggalkan sendiri di dalam rumah.”
Mereka turun perlahan dari loteng. Siska menyambut dengan wajah tegang.
“Ada suara tangisan anak di dapur... barusan.”
Aji menatap Erik. “Mereka marah.”
Erik menghela napas. Matanya menatap ke loteng.
Tapi ada satu hal yang tak dikatakan pada yang lain.
Saat turun tadi, Erik sempat menoleh sekali ke dalam loteng.
Dan di sudut paling gelap... ia melihat sebuah mata merah, menatapnya balik. Dan mulut kecil itu... tersenyum.