para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Tangan Pak Budi gemetar saat memutar kunci kontak. Mesin mobil tersentak hidup, menawarkan secercah harapan di tengah kepanikan.
"Cepat, Pak!" teriak mereka serempak, suara-suara panik bercampur menjadi satu.
Mobil melesat meninggalkan tempat itu, meninggalkan bayangan sosok misterius yang masih menghantui pikiran mereka. Queen, dengan jantung berdebar kencang, melirik ke kaca spion. Sosok itu hilang.
"Sial! Dia memang bukan manusia!" pekik Queen.
"Pak, lebih cepat lagi, Pak!" Wati memohon, suaranya bergetar.
"Anjing! Apes banget kita! Kenapa terus-terusan diganggu sih?!" Fahri menggerutu.
"Ini gara-gara lu! Lu kan yang suka nantang setan, bilang nggak percaya! Lihat sekarang, mereka nemuin kita!" Arjuna menyalahkan Fahri.
"Kok gue sih? Mungkin setannya tu yang lagi gabut, makanya gangguin kita!"
"Sudah-sudah! Ini bukan waktunya berdebat! Kita harus keluar dari sini! Jangan malah pada ribut!" Queen menyela.
Di tengah kepanikan itu, Wati terlihat khusyuk, bibirnya komat-kamit membacakan doa, mencari perlindungan dan keselamatan di tengah terjangan rasa takut yang begitu besar. Mobil terus melaju, meninggalkan tempat terkutuk itu.
Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir, sebuah pemandangan yang sangat dikenali akhirnya muncul di depan mata mereka: jalan yang tadi mereka lewati. Sebuah erangan lega keluar dari bibir mereka, wajah-wajah yang sebelumnya pucat pasi kini dibanjiri kelegaan yang tak terkira. Mereka telah menemukan jalan pulang.
Tak lama kemudian, gapura Desa Menoreh muncul di hadapan mereka, menyambut kepulangan mereka dengan hangat.
"Akhirnya… kita pulang juga," bisik Pak Budi.
Namun, suasana desa masih sunyi senyap, sama seperti saat mereka datang waktu itu.Keheningan yang mencekam menyelimuti setiap sudut desa, tak ada satu pun jiwa yang terlihat di jalanan. Rumah-rumah tampak kosong dan sunyi.
"Akhirnya… kita pulang," ucap Fahri.
Queen menoleh ke arah Wati, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Lu sudah lebih tenang, kan, Wat? Kita sudah pulang sekarang."
Ia berusaha menenangkan sahabatnya yang masih tampak gemetar. Wati hanya mengangguk pelan, matanya masih mencerminkan trauma yang belum sepenuhnya hilang.
Mobil berhenti tepat di depan rumah mereka. Sorot lampu mobil menerangi Arin dan yang lainnya yang sudah menunggu di depan rumah dengan ekspresi cemas. Arin berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan sedikit kemarahan.
Mereka turun dari mobil, langkah kaki mereka terasa berat, wajah-wajah mereka tampak lesu dan kelelahan. Ketegangan masih terasa jelas, menciptakan jarak antara mereka dengan Arin yang sudah menunggu.
"Dari mana saja kalian?!" Pekikan Arin memecah kesunyian malam. "Ini sudah jam berapa? Kenapa malah kelayapan?!"
Arjuna, yang sudah berada di ambang batas kesabaran, segera melangkah maju, suaranya terdengar sedikit meninggi.
"Kita nggak kelayapan, Rin! Kita nyasar!"
"Hah?!" Arin menyahut tak percaya, suaranya dipenuhi keraguan.
"Mana mungkin nyasar? Kalian diantar Pak Budi, beliau sangat kenal tempat ini! Mana mungkin nyasar! Ngibul kan kalian!"
"Bilang aja, kalian kemana!" Arin kembali berteriak,suaranya semakin keras, membuat Arjuna semakin kesal.
Kepalan tangan Arjuna menegang, urat-urat di tangannya tampak menonjol menahan gejolak emosi yang hampir meledak.
"Kalau lu nggak percaya, ya sudah! Terserah!" suaranya meninggi, dipenuhi amarah dan kekecewaan.
"Bulsit!"
Umpatannya terlontar kasar, menunjukkan betapa frustasinya ia dengan ketidakpercayaan Arin.
Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Arin yang masih berdiri di tempat dengan mulut menganga tak percaya.
"Juna! Mau ke mana kamu?! Gua belum selesai bicara, Jun!"
"Awas saja, Reading besok nggak kucus kamu…"
Wati dan Queen hanya bisa menggelengkan kepala, melihat pertengkaran yang terjadi. Mereka memahami perasaan Arjuna, lelah dan frustasi setelah mengalami kejadian menegangkan. Queen memilih diam, tenaganya terkuras habis, ia tak punya energi untuk berdebat lagi.
Dengan langkah lesu, Queen, Wati, dan Fahri masuk ke dalam rumah, menyusul Arjuna yang sudah lebih dulu masuk. Yang lain hanya bisa menatap kepergian mereka, tak mampu berbuat apa pun.
"Lihat mereka, gue di cuekin…" Arin menggerutu kesal.
BERSAMBUNG....