NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 – Surat Tanpa Suara

Keputusan itu datang terlalu mudah bagi Farhan, bahkan terlalu cepat jika dibandingkan dengan tahun-tahun pengorbanan Zahwa dalam pernikahan mereka. Saran keluarganya mengenai perceraian seolah menjadi udara segar bagi Farhan. Ia yang beberapa bulan ini menyibukkan diri dengan dunia barunya, entah dengan kenalan baru, teman kerja, atau sekadar aktivitas yang tak pernah Zahwa ketahui, merasa langkah itu akan membuat hidupnya… lebih ringan.

“Zahwa itu baik… tapi terlalu baik.” Begitu alasannya. Nurut, tidak menuntut, tidak ribut. Justru itu yang menurut Farhan membuat hidupnya hambar. Padahal, Zahwa selalu pikir kelembutannya adalah bentuk bakti pada rumah tangga.

Sore itu Farhan pulang dan mendapati ibunya, Rita, dan abang pertamanya sedang duduk di ruang tamu. Semua sudah disiapkan, termasuk kontak pengacara kenalan sang abang.

“Langsung tanda tangan saja, Han. Nanti biar pengacara urus. Gampang kok,” ujar abangnya sambil menyodorkan berkas dari map biru.

Farhan menatap dokumen itu hanya dua detik sebelum meraih pulpen. Tidak ada ragu. Tidak ada jeda. Ia menandatangani kertas itu seolah sedang menyetujui izin kantor, bukan melepas perempuan yang pernah ia ajak membangun masa depan.

Ibunya tersenyum samar. “Bagus. Rumah ini juga nanti tinggal diurus, ya. Ibu sama Rita sudah cocok banget sama desainnya Zahwa.”

Rita mengangguk penuh antusias.

“Sayang kalau nanti jadi milik Zahwa semua. Dia tinggal pergi gitu aja? Nggak bisa dong.”

Tak ada satu pun yang membahas perasaan Zahwa. Tidak satu pun yang mempertanyakan apakah ia sudah diberi kesempatan untuk berbicara. Mereka hanya sibuk mengatur apa yang akan mereka ambil.

---

Dua hari kemudian…

Siang yang terik. Zahwa baru saja selesai menata ulang daftar menu untuk presentasi minggu depan ketika suara ketukan menyentak pintu kontrakannya.

Tok. Tok.

“Bu Zahwa? Ada surat.”

Ia membuka pintu. Seorang kurir berdiri sambil menyerahkan amplop putih panjang dengan stempel kantor hukum. Zahwa bingung, tetapi tetap berterima kasih dan menutup pintu.

Jantungnya berdegup tak wajar.

Tangan bergetar ketika merobek ujung amplop. Satu helai kertas terlipat rapi. Hitam-putih, formal, dingin.

Surat permohonan cerai dari Farhan.

Dunia Zahwa seperti berhenti… tapi hanya sesaat. Kemudian runtuh pelan-pelan, tanpa suara.

Matanya panas tapi airnya enggan turun. Ia duduk di lantai, memeluk lutut, mencoba mengingat kesalahan apa yang begitu berat sampai ia harus ‘dipinggirkan’ tanpa peringatan.

Setengah jam ia begitu. Hampa.

Lalu ia berdiri, mengambil kerudung, dan keluar rumah. Langkahnya membawanya ke tempat yang hampir otomatis: rumah lama—ke rumah Bu Rifda, tetangga baik yang dulu sering menjadi tempat Zahwa mengadu saat awal menikah.

---

“Bu… saya cerai.”

Itu kalimat pertama yang keluar ketika Zahwa duduk di ruang tamu kecil itu.

Bu Rifda tertegun. “Astagfirullah… Kenapa bisa begitu, Nak?”

Zahwa menyerahkan surat itu. Wanita paruh baya itu membacanya pelan, wajahnya berubah-ubah antara kecewa, marah, dan kasihan.

“Farhan itu… memang sudah berubah sejak beberapa waktu lalu. Tapi kamu tetap perempuan baik, Wa. Percaya Bu Rifda. Kamu nggak kehilangan derajat hanya karena kertas ini.”

Zahwa mengangguk, menahan isak yang sejak tadi ia paksa tetap kuat.

“Wa, jangan tanggung sendiri. Lepaskan… Tapi jangan biarkan mereka ambil lebih dari yang pantas. Rumah itu kamu yang bangun suasananya. Jangan mau diusir begitu saja.”

Ada kehangatan yang menenangkan dalam kalimat itu. Zahwa merasa untuk pertama kalinya ia boleh lelah.

---

Saat pulang, ponselnya berbunyi.

Daniel.

Zahwa terdiam sebelum akhirnya mengangkat.

“Zahwa, kamu baik-baik aja?” Suara Daniel terdengar tidak seperti biasanya—lebih hati-hati, lebih rendah.

“…Saya dapat surat cerai.”

Hanya itu yang mampu Zahwa katakan.

Ada hening. Sunyi sekali, seakan Daniel mengambil jeda panjang untuk menahan sesuatu dalam dirinya.

“Aku minta kamu duduk dulu kalau kamu lagi berdiri,” katanya pelan. “Tarik napas dulu.”

Zahwa menurut.

“Kalau kamu mau cerita, aku dengar. Kalau kamu mau diam, aku temani. Kamu cuma… jangan pikir kamu sendiri.”

Suara itu bukan simpati kosong. Ada keaslian, ada ketulusan yang membuat dada Zahwa sedikit… tidak sesak.

“Terima kasih, Pak Daniel.”

Formal, menandakan batas. Daniel mengerti itu.

“Zahwa… kamu tetap persiapan presentasi ya. Bukan karena kerjaan,” ujar Daniel lembut, “tapi karena aku nggak mau kamu mengurung diri dan makin stres. Biar otak kamu punya ruang bernapas.”

Zahwa tersenyum kecil.

Entah sejak kapan Daniel tahu cara menenangkannya tanpa membuatnya merasa lemah.

“Baik, Pak.”

“Oke. Istirahat. Kalau kamu butuh apa pun, kabari Arvino.”

Zahwa menutup telepon dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit lebih kuat.

---

Malamnya, Zahwa duduk di meja makannya, yang sederhana namun rapi, menatap daftar menu yang harus ia bawa untuk presentasi. Menyibukkan diri membuat pikirannya bekerja, membuat luka di dadanya tidak sempat membesar.

Sesekali ingat Farhan, yang bahkan tidak menelepon.

Yang tidak bertanya apakah ia baik-baik saja.

Yang mungkin sedang sibuk dengan dunia barunya.

Zahwa menghela napas.

Mungkin ini saatnya ia tidak lagi menggantungkan hati pada seseorang yang bahkan tidak menoleh ke arahnya.

Tapi ia juga tidak ingin terburu-buru.

Zahwa ingin berdiri dengan kakinya sendiri terlebih dulu.

Surat itu masih di meja. Ia menatapnya sebentar.

“Kalau memang jalannya begini,” gumamnya, “aku akan bertahan. Dengan cara yang terhormat.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Zahwa memutuskan untuk lebih memikirkan dirinya daripada mempertanyakan kepergian Farhan.

Meski pelan, ia mulai melangkah menuju hidup barunya.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!