Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Sore itu, rumah keluarga Devan terasa lebih ramai dari biasanya. Nina dan Devan datang berkunjung setelah diundang makan malam oleh orang tua Devan. Masakan ibu mertuanya seperti biasa lezat—sayur asem, ikan goreng, dan sambal mangga yang membuat lidah menari.
Namun, suasana yang hangat perlahan mulai berubah ketika Ibunya Devan meletakkan sendoknya dan menatap keduanya dengan sorot mata penuh harap.
"Devan, Nina... bunda mau ngomong sesuatu," ujarnya pelan.
Devan meneguk air, sementara Nina menoleh penuh perhatian.
"Kalian sudah nikah hampir dua bulan, ya?"
Devan mengangguk.
Ibu menatap mereka bergantian. "Bunda sama ayah udah nggak muda lagi. Kami cuma punya kamu satu-satunya, Nak. Kapan kamu mau kasih kami cucu?"
Nina tercekat. Ia menunduk.
"Bun…" Devan membuka suara dengan hati-hati. "Aku sama Nina baru mulai menyesuaikan diri, Bun. Kami masih..."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sang ayah menyahut, “Menikah bukan cuma untuk berdua. Keluarga besar menunggu keturunan. Jangan kebanyakan alasan.”
Nina merasa tubuhnya panas dingin. Kalimat itu seperti pedang yang pelan tapi dalam. Bukan karena nada suara ayah mertuanya, tapi karena Nina tahu dirinya belum siap. Ia masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Dengan Devan. Dengan status sebagai istri.
Dan kini... sudah dituntut menjadi ibu.
Suasana hening selama perjalanan pulang.
Devan menyetir sambil sesekali melirik ke arah Nina yang hanya menatap ke luar jendela.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya akhirnya.
Nina diam sejenak. Lalu pelan menjawab, “Aku... ngerasa belum pantas, Van. Baru belajar jadi istri, tiba-tiba diminta jadi ibu... Aku takut, kalau aku belum cukup baik.”
Devan menarik napas dalam.
“Nin, dengerin aku. Aku nikah sama kamu bukan buat cepet-cepet punya anak. Aku nikah karena aku percaya kamu adalah rumahku. Kalau kamu belum siap, aku akan selalu ada sampai kamu siap.”
Nina menoleh. Mata Devan begitu tenang, tapi ada ketegasan dan cinta di dalamnya.
“Terus soal bulan madu itu?” gumam Nina, mengingat ucapan Ibu tadi yang menyuruh mereka pergi berbulan madu untuk ‘membangun suasana’.
Devan tersenyum. “Kita jalan-jalan aja. Nggak usah mikir aneh-aneh. Aku cuma pengin lihat kamu senyum di tempat baru.”
Nina tertawa kecil. “Senyum doang?”
“Kalau bonusnya pelukan sih aku bersyukur,” jawab Devan sambil mengedipkan mata.
Akhirnya, Devan memutuskan untuk membawa nina berlibur ke tempat yang tidak biasa: sebuah vila di daerah Puncak, terpencil dan tenang, dikelilingi kebun teh dan udara dingin.
"Kenapa nggak ke Bali atau Lombok kayak orang-orang?" tanya Nina saat mereka tiba.
"Karena aku pengin bulan madu kita bukan tentang destinasi... tapi tentang kamu dan aku yang benar-benar bicara tanpa gangguan," jawab Devan.
Nina tak bisa menyangkal. Vila itu indah. Hening. Dan terasa sangat intim.
Hari pertama, mereka hanya duduk di beranda vila sambil menyeruput cokelat panas. Hari kedua, mereka berjalan menyusuri kebun teh, tertawa, dan sesekali bergandengan tangan.
Malam hari, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi tetap dalam batas yang nyaman. Devan tidak pernah memaksa. Ia bahkan mencium kening Nina lalu berbisik, “Kamu bebas jadi dirimu di sini. Nggak ada paksaan, Nin. Kita cuma... saling temani.”
Namun malam ketiga, setelah panggilan video dari ibunya Devan yang kembali menyinggung soal kehamilan, Nina mengunci diri di kamar mandi dan menangis.
Ia merasa bersalah. Seolah semua perhatian dan cinta Devan belum cukup membuatnya siap memberi hal yang orang tua mereka inginkan.
Saat Nina keluar, matanya sembab. Devan duduk di ranjang, menatapnya dengan penuh pengertian.
“Aku nggak bisa, Van,” lirihnya.
Devan bangkit dan mendekapnya. “Kamu nggak harus bisa sekarang.”
“Tapi orang tuamu... semua orang... mereka lihat aku gagal.”
“Lihat aku, Nin,” Devan mengangkat dagu istrinya.
“Mereka mungkin punya harapan. Tapi aku yang hidup bersamamu. Dan aku yang tahu kamu sedang bertumbuh, bukan gagal. Kamu kuat, dan kamu luar biasa. Aku bangga jadi suamimu.”
Pelan-pelan, pelukan itu menjadi tempat paling nyaman di dunia.
Esok paginya, Nina bangun lebih dulu. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Devan yang masih tidur dengan napas teratur. Wajahnya damai. Lelaki itu tidak sempurna. Tapi mencintainya dengan cara yang paling sabar, paling lembut.
Nina mendekat. Ia mencium pipi Devan lalu berbisik,
“Terima kasih udah nggak pernah memaksa. Mungkin belum sekarang... tapi suatu hari, aku pengin punya anak yang mirip kamu. Baik, sabar, dan penuh cinta.”
Devan membuka matanya perlahan, tersenyum dalam kantuk. “Aku denger itu…”
Nina tertawa kecil. “Ups.”
Dan untuk pertama kalinya, rasa takut dalam hati Nina berganti dengan harapan. Bukan karena tuntutan. Tapi karena cinta yang akhirnya tumbuh bukan hanya di hati, tapi juga dalam rencana masa depan.