Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Lebih sakit disuntik, kok. Pada saat berhubungan, tubuh akan melepaskan hormon endofrin, yang bisa memicu perasaan senang dan mengurangi rasa nyeri. Jadi kamu tidak akan merasa sakit. Rileks saja, jangan kaku seperti ini."
Penjelasan seorang dokter memang beda, ya? Namun, jawaban itu tak membuat perasaan Alina lega.
Terlebih semalam ia sempat berselancar di internet dan membaca beberapa artikel tentang malam pertama.
Dari sana ia menemukan beberapa fakta malam pertama yang baginya cukup menakutkan.
Robeknya selaput dara, nyeri punggung, kaki dan seluruh tubuh setelah aktivitas tersebut.
Selain itu, ia menemukan beberapa mitos tentang adanya urat-urat yang putus, yang ia baca dari berbagai sumber.
"Kenapa aku baca diinternet ada 40 urat yang putus sama 20 tulang patah?"
"Astaghfirullah. Itu melahirkan, bukan malam pertama," jawab Brayn gemas, mulai tidak tahan.
"Tapi, kenapa ada banyak artikel seperti itu, Kak?"
"Mitos, Alina Khoirunnisa!" Rasanya, Brayn benar-benar ingin menggigit bibir wanita itu.
Pertanyaan terus terlontar bak pasien yang hendak menjalani operasi besar. Wajar, terlebih ini merupakan pengalaman pertamanya.
Melanjutkan kegiatan, Brayn mendekap wanita itu. Mengecup wajahnya yang merona, memberinya sentuhan lembut.
Setidaknya, ia harus membuat Alina nyaman lebih dulu dan tidak terlalu buru-buru.
Toh, waktu masih panjang dan hanya mereka berdua di rumah itu.
Bebas gangguan!
Selangkah lebih maju, jemari lelaki itu mulai menarik pakaian sang istri. Menjelajah apa yang ada di baliknya.
Sedikit jeritan kecil dari Alina tak berpengaruh, malah semakin membuat lelaki itu menggila.
Harapan Brayn tentang tidak adanya gangguan pun pupus ketika tiba-tiba terdengar suara bel berdering.
Keduanya yang tengah terbuai itu pun sontak tersadar dan saling pandang. Saling bertanya tentang siapa yang ada di depan rumah.
"Permisi!" Sayup-sayup suara seorang pria terdengar.
"Siapa, Kak?" bisik Alina.
"Tidak tahu! Mengganggu sekali, sih." Brayn mendesah pelan, bangkit dan berdiri di dekat jendela untuk melihat siapa yang ada di depan rumah.
"Ya ampun, aku lupa. Itu teknisi mau pasang AC untuk di ruang tamu dan ruang keluarga."
"Jadi?" tanya Alina, mengubah posisi yang semula berbaring jadi duduk di tempat tidur sambil membenahi pakaiannya yang setengah terbuka.
Brayn menoleh dengan raut wajah sedikit kesal. "Ya sudah, nanti malam saja ... tapi lima ronde."
Sambil berdecak, ia menyambar kemeja dan mengenakannya lagi.
Alina langsung bangkit menuju meja rias dan menyisir rambutnya yang kusut.
Setelahnya, hendak keluar kamar untuk lebih dulu membuka pintu.
Kasihan tiga teknisi di depan, takut menunggu lama. Namun, baru akan melangkah keluar kamar, Brayn kembali memanggilnya.
"Pakai hijab, anaknya Om Bro!"
"Maaf, lupa." Ia tersenyum malu-malu.
"Biar aku yang buka pintunya," ucap Brayn, kemudian melangkah keluar kamar lebih dulu.
"Ya Allah, Ya Kareem, ada saja gangguan dari manusia," gerutu Brayn sambil menuruni tangga.
**
**
Hari bergerak menuju sore ketika mereka selesai membenahi rumah. AC di ruang tamu dan ruang keluarga baru selesai dipasang.
Brayn memutuskan untuk pulang lebih dulu. Besok akan menjadi hari pertama mereka menghuni rumah itu.
Jalanan sore itu padat merayap, Brayn membelokkan mobilnya menuju sebuah masjid kecil setelah mendengar suara adzan maghrib berkumandang.
"Mampir shalat dulu, yuk. Takut tidak keburu sampai rumah, jalannya macet."
"Iya, Kak."
Lelaki itu segera turun dari mobil.
Alina memperhatikan suaminya yang sedang berjalan menuju tempat wudhu dan mengantri dengan beberapa pria lainnya.
Sejenak, Alina memandang pantulan dirinya melalui kaca spion dan membenarkan hijabnya.
Beruntung ia dan suaminya sempat mandi di rumah baru mereka dan berganti pakaian.
Setelah wudhu, ia masuk ke masjid melalui pintu bagian belakang.
Namun, baru akan melangkah, perhatiannya seketika tertuju pada suara pekikan seorang wanita.
"Aisha tidak mau, Bu. Mas Azka itu sudah tua dan dia duda banyak anak."
"Aisha, apa yang kamu harapkan dari laki-laki miskin itu? pokoknya Mami tidak mau tahu, kamu harus mau menikah dengan Azka! Titik! Tidak ada alasan!"
"Tapi, Bu."
"Memangnya mau makan apa kamu kalau menikah dengan tukang ojek miskin seperti dia, sih?"
Kening Alina berkerut, ia melirik arah sumber suara.
Seorang gadis muda tampak diam memeluk mukena di dadanya.
"Pokoknya Mami tidak mau tahu. Kamu harus mau menikah dengan Azka. Ingat, Aisha, perusahaan Papi kamu itu sedang diambang bangkrut. Kalau tidak ditolong Azka, kita bisa hidup susah."
Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia hanya menunduk, lalu meninggalkan ibunya memasuki masjid.
Sementara Alina turut memasuki masjid, berjalan menuju rak untuk meminjam mukena yang selalu tersedia di rak masjid.
Ia berdiri di shaf paling belakang, beberapa baris dari gadis yang dilihatnya tadi.
"Apa jangan-jangan Aisha ini yang dimaksud Zayn? Seingatku namanya Aisha dan sama-sama dilamar orang lain, temannya juga tukang ojek. Ya Allah, kebetulan sekali," ucap Alina dalam hati.
Sesekali ia melirik ke arah gadis yang murung itu, namun kemudian kembali fokus karena shalat maghrib akan dimulai.
Ibadah shalat maghrib berlangsung khusyuk. Usai shalat, Alina tak langsung keluar dari masjid, melainkan duduk sebentar untuk berdzikir.
Kebetulan ia sempat menengok suaminya yang masih mengobrol dengan beberapa pengurus masjid.
"Ada apa, Aisha, kenapa kamu nangis?" suara seorang wanita terdengar pelan, namun dapat terdengar oleh Alina.
"Umi, saya sedang bingung. Orang tua saya mau menjodohkan saya dengan seseorang yang saya tidak sukai. Saya berat, Umi," jawab sang gadis.
"Memangnya kenapa sampai kamu tidak suka?"
"Umi, bukankah untuk memilih imam rumah tangga harus melihat dulu bagaimana agamanya? Bagaimana akhlaknya?"
"Benar, Aisha."
"Calon pilihan orang tua saya memang berasal dari keluarga terpandang, dari segi harta, mereka tidak kekurangan, tapi saya secara tidak sengaja menemukan kenyataan kalau dia pemabuk dan suka melakukan perbuatan maksiat. Saya takut ikut terjerumus, Umi."
"Apakah kamu sudah memberitahu orang tuamu dan membicarakan baik-baik?"
"Sudah, Umi. Tapi orang tua saya tidak peduli karena bagi mereka harta adalah segalanya. Perusahaan Papi saya sedang bermasalah dan butuh dukungan. Saya dijadikan perantara melalui perjodohan itu, Umi."
"Nauzubillah. Pernikahan seharusnya diawali dengan tujuan mulia."
"Umi, saya punya pilihan sendiri. Dia memang tidak punya harta seperti pilihan orang tua saya. Dia hanya pekerja serabutan, tapi insyaallah bekal agamanya baik. Mami saya sering menghina dan merendahkan dia hanya karena miskin."
Wanita dengan senyum teduh itu mengusap bahu sang gadis.
"Berserah pada Allah, insyaallah ada jalan."
"Maafkan saya, Umi. Saya menceritakan aib keluarga saya pada Umi. Semoga ini tidak menjadi dosa untuk saya."
********
********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran