Novel ini sakuel dari novel "Cinta yang pernah tersakiti."
Tuan, Dia Istriku.
Novel ini menceritakan kehidupan baru Jay dan Luna di Jakarta, namun kedatangannya di Ibu Kota membuka kisah tentang sosok Bu Liana yang merupakan Ibu dari Luna.
Kecelakaan yang menimpa Liana bersama dengan suami dan anaknya, membuatnya lupa ingatan. Dan berakhir bertemu dengan Usman, Ayah dari Luna. Usman pun mempersunting Liana meski dia sudah memiliki seorang istri dan akhirnya melahirkan Luna sebelum akhirnya meninggal akibat pendarahan.
Juga akan mengungkap identitas Indah yang sesungguhnya saat Rendi membawanya menghadiri pesta yang di adakan oleh Jay.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terancam bangkrut
"Huekkk."
Jay yang tak bisa menahan lagi rasa mual itu pun akhirnya bersuara, sontak Rahma, Aryas dan Luna menatap heran ke arahnya.
"Mas, kamu baik-baik saja?" Tanya Luna yang mulai cemas.
Jay mengangguk, dia tak ingin membuat Luna cemas.
"Huekkk." Namun perutnya yang semakin bergejolak membuat Jay tak bisa menahannya, dia bangkit dan segera berlari ke toilet.
"Mas." Panggil Luna yang dengan cepat menyusul Jay.
"Kenapa dengan Mas Jay?" Tanya Aryas heran, "Tadi dia baik-baik saja, kenapa giliran mau makan malah dia mual mual begitu." Sambungnya.
"Ngga tau Bee, kita susul aja Bee, aku takut Mas Jay kenapa kenapa." Jawab Rahma hendak bangkit, namun Aryas menahannya.
"Ehhh jangan Honey, kamu disini aja, nanti kamu capek, kasihan baby twins di perut kamu, Honey." Ucap Aryas seraya mengelus perut buncit Rahma.
"Tapi Bee..."
"Udah ada Mbak Luna sayang, kamu disini aja sama aku, dan makan dengan tenang, kasihan anak-anak Papah, pasti sudah lapar, Iya kan Nak." Ucap Aryas seakan tengah bertanya pada anak-anaknya yang masih di dalam kandungan istrinya.
Rahma tersenyum, saat tiba-tiba perutnya terasa di tendang dari dalam.
"Wahhh, anak-anak papah sudah pinter sekarang ya." Ucap Aryas senang saat anaknya memberikan respon.
Bahkan saat ini, perut Rahma seperti menjadi samsak tinju oleh anak-anaknya, hingga membuat Rahma meringis.
"Sudah ya, kalian jangan banyak-banyak bergerak dulu, biar Mamah bisa makan dengan tenang, Oke?" Pinta Aryas lalu mencium perut Rahma.
Seketika tendangan di perut Rahma mulai berkurang, "Baby Twins memang sangat pengertian Bee." Ucap Rahma.
"Iya Honey." Sahut Aryas, "Kita lanjut makan ya. Aaa." Aryas menyodorkan sesendok nasi dan lauk di depan mulut Rahma.
Rahma tersenyum lalu membuka mulut nya, dan satu sendok makanan pun masuk ke dalam mulut nya.
*
Sementara di toilet, Jay seketika memuntahkan isi perutnya di wastafel. Perut yang kosong membuat Jay hanya memuntahkan cairan yang terasa pahit di mulut nya.
Huekkk!!
Huekkk!!
"Mas, kamu kenapa?" Tanya Luna panik.
"Ngga tau sayang, tiba-tiba perutku terasa seperti di aduk aduk. Badan aku juga lemes, kepala pusing." Keluh Jay setelah beberapa kali muntah.
Luna dengan lembut memijat tengkuk Jay, sentuhan itu berhasil memberi sedikit kenyamanan untuk Jay.
"Mas, kita pulang saja ya, sepertinya kamu masuk angin Mas." Ajak Luna.
"Aku tidak apa-apa sayang." Jawab Jay saat rasa mual mulai hilang.
"Kamu yakin Mas?" Tanya Luna, "Kita pulang aja ya Mas, nanti aku kerokin di rumah." Sambungnya.
"Hah? Apa sayang? Ke..kerokin?" Kaget Jay.
"Iya Mas, biasanya kalau Ayah masuk angin, aku kerokin punggungnya, langsung sembuh Mas." Jawab Luna.
"Ohhh ya?" Tanya Jay seakan tak percaya.
"Iya Mas, makanya kita pulang aja ya." Ucap Luna.
"Tapi kasihan Aryas dan Rahma sayang, mereka udah nungguin kita, kita makan dulu saja ya?" Ucap Jay yang merasa tak enak pada adiknya.
"Ya udah, setelah makan kita pulang, gimana?" Usul Luna.
"Hmmmm, kayanya ngga bisa sayang, Mas masih harus nemenin Aryas meeting." Ucap Jay, "Nanti saja ya, setelah pekerjaan Mas selesai kita pulangnya, setelah makan nanti Luna ikut Mas ke kantor dulu saja." Sambungnya.
"Ya sudah gimana Mas aja, Luna ikut aja." Ucap Luna seraya mengelap bibir Jay yang masih basah dengan sapu tangan yang selalu Ia bawa.
Jay tersenyum seraya merangkul pinggang Luna, lalu perlahan melangkah keluar dari toilet dan membawanya kembali ke ruangan dimana Aryas dan Rahma berada, namun baru di ambang pintu, bau makanan mulai mengaduk aduk perut Jay lagi.
"Kenapa berhenti Mas?" Tanya Luna saat Jay menghentikan langkah nya.
"Emmmm, kita makan di sana saja ya." Ajak Jay menunjuk salah satu meja disana.
"Lohhh, tapi Aryas dan Rahma disana Mas." Protes Luna.
"Iya ngga apa-apa, kita disana saja, Mas ingin makan berdua sama kamu." Sahut Jay lalu menarik tangan Luna dan membawanya ke meja yang tadi ia tunjuk.
Luna pasrah mengikuti langkah Jay dan segera duduk di kursi yang baru saja di tarik oleh Jay, "Mbak." Panggil Jay pada seorang pelayan setelah duduk di hadapan Luna.
"Iya Pak, mau pesan apa?" Tanya pelayan wanita itu.
"Emmmm saya mau pesan es jeruk dua, nasi dua porsi dan sup iga asam pedasnya dua." Jawab Jay menyebutkan pesananya.
"Baik, saya ulang ya pak, dua es jeruk, dua porsi nasi dan dua sup iga asam pedas dua." Ucap pelayan itu mengulang pesanan Jay.
"Iya." Sahut Jay.
"Baik Pak, mohon di tunggu." Ucap sang pelayan lalu segera pergi untuk menyiapkan pesanan Jay.
***
Tok
Tok
Tok
Seorang laki-laki paruh baya yang sedang fokus menatap layar laptop mendongak dan menatap pintu yang baru saja di ketuk.
"Siapa?" Tanyanya dari dalam.
"Saya Tuan." Jawab seorang laki-laki dari luar.
"Masuk." Sahut laki-laki bernama Brama yang merupakan Ayah dari Clarissa.
Pintu terbuka, seorang laki-laki yang merupakan sekertaris Pak Brama masuk dengan membawa sebuah Map di tangannya.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya Brama.
"Gawat Tuan." Ucap laki-laki itu.
"Gawat? Gawat apanya?" Tanya Pak Brama heran.
"Saham perusahaan menurun drastis Tuan, namun bukan itu masalah terbesarnya Tuan." Jawab laki laki itu.
"Bagaimana bisa saham perusahaan turun? Lalu masalah besar apa yang kita hadapi?" Tanya Brama dengan raut wajah tegang.
"Pak Nathan menarik semua saham miliknya Tuan, bahkan bukan hanya Pak Nathan, hampir semua yang menanam saham di perusahaan kita meminta untuk uangnya di kembalikan." Terang laki-laki itu.
"Apa? Bagaimana bisa?" Kaget Pak Brama.
"Untuk alasan nya saya belum mendapatkan jawaban Tuan, tapi Pak Nathan meminta untuk bertemu sore ini." Jawab laki laki itu.
"Oke, kamu katakan padanya aku akan datang ke perusahaan nya sekarang." Titah Brama.
"Baik Tuan." sahut laki-laki itu lalu segera undur diri dari hadapan atasannya.
"Kenapa Nathan melakukan ini? Apa yang terjadi?" Batin Pak Brama yang belum mengetahui apa yang di lakukan oleh putrinya pada Nathan.
***
"Tuan."
Marvin masuk dan segera menghadap Nathan, meski Marvin masih begitu kesal dengan sikap Nathan, tapi dia tak bisa mengabaikan pekerjaannya. Dia tetap harus profesional saat bekerja.
"Bagaimana kondisinya?" Tanya Nathan.
Marvin terdiam seraya mengerutkan keningnya, "Siapa yang Tuan maksud?" Tanyanya.
"Via! Bagaimana kondisinya?" Tanya Nathan.
"Seperti apapun kondisi Via saat ini, bukankah sudah tidak penting lagi untuk anda, Tuan?" Bukannya menjawab, Marvin justru bertanya balik.
"Ya, memang tidak penting untuk saya." Ucap Nathan.
Entah kenapa Nathan jadi kepikiran Via saat melihat Marvin. Namun Nathan segera menepis pikiran itu setelah mendengar jawaban Marvin.
"Oh ya, apa kamu sudah melakukan apa yang aku suruh?" Ucap Nathan.
"Sudah Tuan, saya sudah menarik semua saham dari perusahaan Brama, dan beberapa yang menanam saham di perusahaan itu juga ikut menarik saham mereka Tuan. Kemungkinan tidak akan lama lagi perusahaan itu akan bangkrut." Jawab Marvin.
"Bagus." Nathan tersenyum miring, dia berhasil memberi pelajaran pada keluarga perempuan yang sudah berusaha menjebaknya.
"Saya baru saja mendapatkan kabar kalau Pak Brama akan datang ke perusahaan sore ini Tuan." Ucap Marvin.
"Ya, katakan padanya aku akan menunggunya." Sahut Nathan.
"Baik Tuan, saya permisi." Pamit Marvin.
Nathan mengangguk, namun dia kembali teringat pada Via.
"Marvin." Panggil Nathan saat Marvin sudah membuka pintu ruangannya.
Marvin yang mendengar Nathan memanggilnya pun segera menutup pintu kembali dan membalikan badannya.
"Iya Tuan." Sahutnya.
Nathan berjalan ke arahnya dengan tatapan yang tak biasa seraya merogoh saat celananya.
Marvin terkejut saat Nathan tiba-tiba menyodorkan sebuah ATM padanya.
"Apa ini Tuan?" Tanya Marvin heran.
"Gunakan uang di dalam ATM itu untuk kebutuhan Via, tapi kamu jangan katakan kalau itu uang dariku." Ucap Nathan.
"Tidak Tuan, Via sudah menolaknya, bagaimana mungkin saya menerimanya." Tolak Marvin menghargai keputusan Via.
"Ambil lah, ini sebagai bentuk tanggung jawabku, tolong kamu jaga dan lindungi dia, Marvin." Pinta Nathan.
"Baik Tuan." Sahut Marvin tentu tak bisa menolak permintaan Tuannya, dia menerima ATM itu meski tak ada niat menggunakan uang itu untuk kebutuhan Via, karena dia sendiri masih sanggup memenuhi kebutuhan Via.