Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Lanjut...
Miska berjalan kembali menuju asrama dengan perasaan sedikit kesal karena gagal kabur.
Malam pun semakin larut, dan suasana pesantren begitu sepi. Yang terdengar hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin dan sesekali suara jangkrik di kejauhan.
Namun, saat melewati gudang, ia mendengar suara berbisik dari balik gelapnya gudang tersebut.
"Wsh Wsh Wsh Wsh...."
Suara itu terdengar mencurigakan.
Namun, Miska yang bukan tipe orang kepo, sebenarnya ingin langsung berlalu. Tapi saat matanya sekilas menoleh ke arah gudang, ia melihat sesuatu yang mengejutkan.
Di balik gelapnya sudut gudang, sepasang santri, seorang laki-laki dan perempuan berdiri sangat dekat.
Bukan hanya berbicara, mereka saling berpegangan tangan, bahkan berpelukan.
OMG!!!
Miska berhenti sejenak, lalu menyipitkan matanya.
“Ehem!.” Miska pun berdehem keras, hingga membuat kedua santri itu terlonjak kaget.
Melihat keberadaan Miska, mereka pun buru-buru melepaskan tangan dan menjauh satu sama lain, dengan wajah tegang dan pucat.
"Apa-apaan ini?," sindir Miska yang berkata dengan santai, "Bukankah kalian ini santri?," ejek Miska.
Karena kepergok, keduanya pun semakin panik.
"Miska! Tolong, jangan bilang siapa-siapa!," ujar si gadis, dengan suara yang nyaris berbisik.
"Iya, kami gak ngapa-ngapain kok, sumpah!," tambah si santri laki-laki, dengan wajah yang pucat pasi.
Mereka berusaha membela diri, dan mencari alasan, bahkan mencoba membujuk Miska agar tidak melapor ke pihak pesantren.
Namun, Miska hanya memutar bola matanya dengan ekspresi malas.
"Denger ya," katanya santai, "ini bukan urusanku."
Setelah mengatakan itu, Miska langsung melengos pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah dua orang tadi.
Kedua santri itu pun membisu dan saling berpandangan dengan wajah ketakutan.
"Bagaimana ini?!," bisik si gadis dengan panik. "Bagaimana kalau dia melapor?!."
"Tenang dulu! Dia bilang ini bukan urusannya, kan? Mungkin dia gak bakal ngomong ke siapa-siapa," jawab si laki-laki.
"Tapi kita gak bisa percaya gitu aja! Itu Miska! Dia bisa saja berubah pikiran!."
Keduanya pun semakin gelisah. Mereka sadar bahwa nasib mereka kini bergantung pada satu orang, yaitu Miska.
Sementara itu, Miska hanya terus berjalan ke asrama dengan acuh.
Dia tidak peduli, kan?
Tapi kenapa perasaannya jadi sedikit aneh setelah melihat kejadian itu?
Ya terang saja. Mereka santri gitu lho... Anak gaul sudah biasa pikirnya, tapi ini santri lho...
**
Malam pun berlalu, kegiatan dari mulai ibadah sebelum subuh hingga menjelang pembelajaran di sekolah pun sudah berlangsung.
Namun, lagi-lagi, Miska kini di panggil lagi ke ruang pendisiplinan seakan itu tempat favorit Miska.
Pagi itu, matahari mulai meninggi. Suara dentingan pulpen dan buku yang dibuka pun terdengar di ruangan, menandakan para santri sedang fokus belajar.
Adapun Miska, ia duduk tanpa ekspresi, menopang dagu sambil menggoyang-goyangkan pulpen di tangannya. Pikirannya melayang ke kejadian semalam di gudang.
"Apa mereka masih panik?," gumamnya dalam hati, seraya mengulas senyuman tipis.
Namun, lamunannya terhenti saat suara seorang santri laki-laki membacakan pelajaran di depan kelas.
Beberapa menit berlalu, bel waktu istirahat pun berbunyi. Santri-santri mulai mengemasi buku, dan sebagian sudah beranjak keluar menuju kantin atau beristirahat di halaman.
Tapi sebelum Miska sempat meluruskan kakinya, seorang santri dari kelas sebelah masuk dan mendekati mejanya.
"Miska, kamu dipanggil ke ruang pendisiplinan."
Suasana kelas pun langsung berubah.
Beberapa santri yang masih berada di kelas pun langsung berbisik-bisik.
"Lagi?."
"Kayaknya ruang pendisiplinan itu udah jadi rumah keduanya deh."
"Dia emang banyak masalah."
Miska mengerucutkan bibirnya dan menoleh ke arah mereka.
"Kalau mau ngomongin aku, ngomong yang kenceng sekalian," ucapnya sinis, hingga membuat beberapa santri terdiam.
Dengan langkah santai dan malas, Miska pun bangkit dari kursinya dan berjalan keluar.
"Apa lagi sih?."
**
Miska melangkah dengan malas menuju ruang pendisiplinan, yang rasanya sudah seperti ruang tamu pribadinya di pesantren ini.
Saat pintu terbuka, ada tiga ustadzah yang sudah duduk di balik meja panjang.
Di antaranya, Ustadzah Siti, kepala bidang ketertiban santriwati yang kini menatapnya dengan tatapan tajam.
"Miska, duduk," serunya.
Miska menarik kursi dengan santai, lalu menyilangkan tangan di dadanya.
"Jadi, kali ini apa lagi?," tanyanya ringan, seolah tanpa beban.
"Miska, kami sudah cukup bersabar dengan semua sikapmu. Kamu sering terlibat masalah, tidak menaati aturan, bahkan sudah beberapa kali mendapatkan peringatan," ujar ustadzah Siti.
"Dan sekarang," lanjut Ustadzah Laila, "Ada laporan bahwa semalam kamu berkeliaran di luar asrama pada jam tidur santri."
"Hufthhhh...."
Miska menghela napas dan bersandar ke kursi.
"Terus?," tanyanya datar.
"Kamu tahu ini pelanggaran besar?," tanya ustadzah Laila.
"Iya."
"Lalu kenapa masih kamu lakukan?."
"Bosan," jawab Miska sambil mengangkat bahunya.
Para ustadzah pun saling bertukar pandang.
"Miska, pesantren ini bukan tempat bermain. Aturannya dibuat bukan untuk dilanggar. Kamu bisa dikeluarkan kalau terus begini," lanjut ustadzah Siti.
"Oh ya?," tanya Miska dengan mata yang berbinar sesaat, seolah ada secercah harapan.
Para ustadzah pun menyadari tatapan Miska yang aneh itu.
"Miska, ini bukan hal yang bisa dibanggakan. Kami ingin membimbingmu, bukan menyingkirkan mau," ucap ustadzah Laila.
Miska pun tertawa kecil lalu berkata, "Kenapa sih kalian repot-repot? Aku gak cocok di sini."
"Kamu hanya belum terbiasa."
"Atau mungkin aku memang tidak mau terbiasa."
Ruangan pun seketika menjadi hening.
"Baiklah. Untuk pelanggaran ini, kamu akan mendapat tugas tambahan membersihkan halaman belakang asrama selama satu minggu setelah ashar. Dan kalau kamu masih melanggar, kami akan panggil orang tuamu."
"Tunggu, Umi dan Abi akan dipanggil?."
"Kalau kamu tidak berubah, iya."
Miska tertegun.
Bagaimanapun juga, ia tidak ingin orang tuanya tahu bahwa ia berniat sengaja membuat masalah agar dikeluarkan.
"Terserah." kata Miska akhirnya, lalu berdiri dari kursi.
"Tunggu dulu Miska. Masih ada hal lain," cegah ustadzah Siti. "Masuklah," lanjut ustadzah Siti, berseru pada orang lain untuk memasuki ruangan.
—
Kemudian, masuklah dua orang ke ruangan tersebut.
Mata Miska pun menyipit ketika melihat kedua orang tersebut.
Zoya.
Dan seorang santri laki-laki yang pernah ia lihat sekilas.
"Kami menerima laporan bahwa tadi malam, kamu kedapatan berduaan dengan seorang santri laki-laki di belakang gedung asrama putri," ujar ustadzah Siti.
Glek.
Mata Miska membulat sesaat, lalu ia tertawa kecil dengan sinis.
"Serius?," ujarnya, "Siapa yang ngelapor?," tanya Miska.
"Saya, Ustadzah," kata Zoya dengan lantangnya dan berusaha terdengar meyakinkan.
Miska mengerutkan keningnya dan menatap gadis itu lekat-lekat.
"Dan ini saksi saya," tambah Zoya, seraya menunjuk santri laki-laki di sebelahnya.
Miska memicingkan matanya dan menerka-nerka.
Jadi ini rencana mereka yang terciduk semalam?
Mereka takut dia melaporkan kejadian semalam, jadi mereka menyerangnya lebih dulu.
Licik.
"Huh!." Miska mendengus, lalu tersenyum miring.
"Jadi kalian berdua lihat aku berduaan dengan seorang santri laki-laki?," tanyanya santai.
"Benar," jawab Zoya mantap. "Dia melihatmu sendiri."
Miska lalu duduk dan menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menatap Ustadzah Laila.
"Begitu ya?," tanyanya. Dan Ustadzah Laila pun mengangguk.
"Kamu membantah, Miska?," tanya ustadzah Siti.
"Oh jelas," jawab Miska seraya tertawa kecil. "Tapi kalau aku bilang aku tidak melakukannya, Ustadzah percaya?."
Ruangan pun hening sesaat.
"Lalu siapa yang bisa membuktikan bahwa kamu tidak melakukannya?," tantang Zoya dengan sorot mata yang licik.
Miska pun menatapnya balik dengan tenang lalu bertanya, "Kalian bilang melihat aku dengan laki-laki di belakang gedung asrama putri?."
Zoya pun mengangguk penuh percaya diri.
"Yakin?," tanya Miska.
"Iya!," tegas Zoya.
Miska lalu menyilangkan tangannya di dada dan memiringkan kepalanya.
"Itu aneh."
"Apa yang aneh?."
"Aku gak ke belakang asrama semalam," jawab Miska tersenyum sinis.
Spontan jawaban Miska itu membuat Zoya membeku sesaat.
"Semalam aku ada di depan tembok pesantren, dan mencoba kabur," jelas Miska.
Zoya membelalak.
"Aku bahkan ketahuan oleh Ustadz Musa," lanjut Miska.
Zoya dan santri laki-laki itu pun saling berpandangan, dan wajah mereka pun menegang.
"Dan kalau mau jujur," lanjut Miska santai, "kalau aku benar-benar mau pacaran di pesantren ini, aku gak sebodoh itu buat ketahuan."
"MISKA!," tegur Ustadzah Siti.
"Apa? Aku cuma ngomong fakta."
Ustadzah Siti pun menghela napas, lalu menatap Zoya dan santri laki-laki di sampingnya.
"Kalian yakin dengan laporan kalian?."
Zoya terlihat ragu. Sementara santri laki-laki di sebelahnya mulai gelisah.
"Di-dia melihatnya, Ustadzah!," suara Zoya mulai terdengar tidak meyakinkan.
"Kamu melihatku atau kamu takut aku melihat kalian?," tanya Miska sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dan menatap tajam ke arah santri laki-laki tersebut.
Seketika santri laki-laki itu langsung pucat. Dia tahu. Miska benar-benar melihatnya dengan kekasihnya semalam di gudang dan merasa terancam.
"Cukup!," suara Ustadzah Siti menggema. "Karena laporan ini tidak memiliki bukti kuat, maka kasus ini dianggap tidak valid."
Zoya langsung menunduk dan menggigit bibirnya. Sementara santri laki-laki itu terlihat ingin menghilang ke dalam tanah.
"Namun," lanjut Ustadzah Siti, "karena Miska mengakui bahwa dia mencoba kabur, maka dia tetap mendapat hukuman. Satu minggu kerja bakti setelah ashar."
"Fine. Aku terima," seru Miska seraya mengangkat bahunya.
"Lalu... bagaimana dengan kami, Ustadzah?," tanya Zoya seakan tidak terima.
"Kalian sudah memberikan laporan palsu dan berusaha mencemarkan nama baik santri lain. Kalian akan kami panggil kembali untuk pembinaan lebih lanjut," jawab Ustadzah Siti sambil melipat tangan di meja dengan tatapan dinginnya.
"Apa!."
Mata Zoya membesar karena terkejut. Bukannya puas melihat Miska di hukum, tapi ia malah dapat teguran. Sementara, Miska menyeringai dengan puas. "Seru juga ya di sini." gumamnya santai.
Saat keluar dari ruang pendisiplinan, beberapa santri yang lewat langsung menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kasihan, takut, dan tidak peduli.
Adapun Salsabila, Hana, dan Fatin yang kebetulan sedang berjalan dari arah kantin dan melihat Miska keluar dari ruangan itu.
"Lihat kan?," bisik Salsabila. "Makanya aku gak mau dekat-dekat dia lagi."
Fatin tertegun, sedangkan Hana melirik Miska dengan ragu.
Miska tahu mereka membicarakannya, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya tidak butuh siapapun di pesantren ini.
Atau...
Benarkah begitu?
BERSAMBUNG...