LF: License to Fight
Dia memang seorang pria biasa, dia juga hanyalah pria yang ingin bebas dari pekerjaan penting nya. Apapun segala hal yang dia lakukan adalah hal yang nyata. Tanpa tugas, tanpa izin, dia bisa menjadi apapun.
Sepenuhnya menceritakan seorang Samuel yang bernama asli Ah-Duken. Dia hanyalah Pria yang harus menangani berbagai kasus yang tidak masuk akal, jika kasus nya tidak masuk akal, maka pekerjaan nya semakin tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 Samuel/Ah-duken
Saat Ah-Duken kecil, ia tinggal bersama ayahnya yang seorang penulis seni kaligrafi kuno jepang yang terkenal dengan hasil karyanya yang bagus. Mereka berdua tinggal di apartemen kota biasa, setiap hari hanya untuk mencari referensi kata yang bagus di dalam rumah.
"Aku kembali," kata Ah-duken yang pulang dari sekolahnya, saat itu umurnya masih dua belas tahun.
"Duken..." Ayahnya yang tinggi berjalan mendekat sambil memberikan nya tas untuknya. Ah-duken menerimanya dengan bingung.
"Kemasi barang yang perlu saja, kita akan pergi ke Desa Omao," kata Ayahnya.
"Eh.... Desa dekat lautan tempat penangkapan ikan bagi nelayan?"
"Yeah..."
"Untuk apa kesana? Disana panas ayah... Lebih baik aku disini sendirian."
"Tidak bisa, kau masih kecil... Apa kau tidak ingat perkataan ibumu?" Ayahnya menatap. Lalu Ah-duken terdiam. "Haiz... Baiklah aku ikut, lagipula untuk apa kita kesana?"
"Untuk membuat tulisan hitam saja, aku perlu refreshing otak," Ayahnya membalas.
Setelah itu mereka sampai di Desa Omao dengan menaiki kapal. Sudah ada rumah Hanok.
"Woah... Besar juga rumah ini. Apa milik ayah?" tanya Ah-duken sambil mengikuti ayahnya masuk.
"Yeah... Kau bisa bermain disini selagi menunggu aku menyelesaikan tugasku."
". . .Aku tak bisa bermain sendiri," Ah-duken menatap dingin.
"Carilah kawan disana, mungkin kau bisa jalan jalan... Tapi jangan dekat dekat dengan laut, disini bukan sama seperti pantai."
"Aku mengerti, aku akan pergi," Ah-duken berjalan keluar.
"Tempat ini sama sekali tak ada apa apa nya, bahkan sangat sepi dan berbau ikan," Ah-duken melihat di samping jalanan laut melihat banyak sekali kapal penangkap ikan kecil disana. Dan tak disangka sangka ia melihat ada gadis kecil yang terlihat sebaya dengan nya berdiri menatap laut.
". . . Siapa dia?" Ah-duken terdiam. Lalu ia mencoba mendekat. Gadis itu kebetulan menoleh setelah mendengar Ah-duken mendekat.
"Oh... Halo," kata Ah-duken.
". . .Ha, halo."
"Siapa namamu?" tanya Ah-duken.
". . .Arisha."
"Arisha, aku Ah-duken, senang bertemu denganmu, apa kau sendirian kesini?"
"Ya... Aku selalu kemari karena rumah ku juga dekat dari sini, dan.... Ah-duken... Terlihat asing ya disini?"
"Aku baru saja kemari mengikuti ayahku."
"Apa pekerjaan ayahmu?"
"Dia seorang seniman kaligrafi jepang."
"Eh... Itu hebat bagaimana dengan Ah-duken, apa kau bisa membuat sama sepertinya?"
"Sebenarnya aku tak begitu terlalu suka membuat seni kuno jepang, aku hanya tertarik melukis dan menggambar."
"Kau bisa menggambar apa saja yang kau lihat?"
"Ya, itu akan tergantung keadaan nya seperti aku memiliki benda lengkap, sudah berbagai piagam aku dapatkan."
"Waw hebat, apa aku bisa melihat beberapa lukisanmu."
"Hah... E... Sebenarnya aku tak membawanya," kata Ah-duken.
"Begitu ya," Arisha menjadi tak senang.
"E... Tapi aku bisa membuatnya... Maksudku aku membawa buku gambar kecil, mungkin aku bisa menunjukan gambarku saat aku menggambar disini."
"Benarkah?" Arisha menjadi kembali senang. Tapi ada yang memanggil namanya.
"Arisha kemarilah."
"Ah baik..." Arisha membalas.
"Ah-duken maafkan aku, itu ibuku memanggilku, bagaimana jika besok saja kita bertemu lagi di waktu yang sama."
"Ya, aku tidak masalah."
"Bagus terima kasih... Aku pergi dulu," Arisha melambai dan berjalan pergi.
Untuk sebentar Ah-duken memang melambai tangan padanya, ia lalu menurunkan nya dan kembali lemas sedih.
"Haiz... Ini panas... Seharusnya aku pakai payung," ia menjadi lemas.
Hari selanjutnya, Ah-duken mengelilingi rumahnya dengan membawa buku gambar. Ayahnya yang ada di halaman membuat seni kaligrafi jepang dari tadi terus heran melihati putranya yang terus mengelilingi rumah yang luas itu.
"Hei... Sebenarnya apa yang kau lakukan?" dia mendekat.
"Hm... Aku hanya sedang ingin menggambar sesuatu agar bisa menunjukkannya pada teman baruku."
"Teman baru, secepat itukah kau berkenalan, lagipula kau sama sekali tak membawa cat berwarna meskipun kau minta aku, aku hanya punya cat hitam."
"Aku tahu itu, tapi aku masih punya pensil, ayah pikir aku hanya bisa menggambar."
"Aku sama sekali tak berpikir begitu, bocah laki laki... Kau bisa menggambar bagus, sebaiknya kau menggambar saja temanmu itu siapa tahu dia bakal suka," saran ayahnya.
"Hm... Mungkin benar, sebaiknya aku bilang padanya," Ah-duken berjalan pergi.
"Haiz... Anak itu..." Ayahnya menghela napas panjang.
"Arisha," Ah-duken memanggil Arisha sambil mendekat ke Arisha yang berdiri kembali memandang lautan seperti kemarin.
"Ah-duken, kau datang," dia menyapa dengan ramah.
"Maaf terlambat."
"Tidak apa apa, ngomong ngomong apa yang kau bawa?"
"Ah... Ini aku ingin menggambar mu?"
"Eh... Menggambar ku...?"
"Ya, apakah aku boleh?"
"Hm..... Tapi aku bukan model."
"Jangan khawatir aku bisa membuat gambaran lebih nyata, lagipula tubuhmu sudah imut," kata Ah-duken. Hal itu membuat Arisha memerah.
"Baiklah, biarkan aku berpose," Arisha duduk di pinggir jalan dengan kaki mengarah lautan. Ah-duken juga ikut duduk di sampingnya.
"Arisha, apa aku bisa bertanya sesuatu?" Ah-duken menatap sambil mulai menggambar.
"Apa itu?"
"Kenapa ku selalu memandang laut?"
". . . Hm... Sebenarnya aku ingin pergi dari pulau ini dan ingin ke kota menikmati ramainya kota, disini benar benar tak ada apa apa selain melihat kapal kapal penangkap ikan... Ah-duken, apa di kota menyenangkan."
"Hm.... Aku tak begitu merasakan nya tapi disana mungkin lebih banyak kendaraan elektronik yang akan membuat telingamu merasa berisik."
"Benarkah, kalau begitu itu sama sekali tidak nyaman."
"Yah... Tapi aku selalu berada di dalam apartemen ayahku."
"Kenapa kau selau ada di dalam?"
"Aku di dalam hanya waktu kosong saja, di jam siang ini mungkin aku sekolah setelah itu les mata pelajaran,"
"Wah... Rupanya Ah-duken masih bisa les."
"Haiz... Entahlah, ayah ku, dia bilang agar aku tidak bosan di rumah padahal aku juga bisa melukis di rumah, oh ya... Arisha apa kau ingin ke kota?"
"Ya, aku sangat ingin."
"Kalau begitu bagaimana jika kau ikut aku ke kota saat pulang nanti, sekitar 5 hari lagi."
"Eh... Itu terlalu lama, maksudku mungkin aku tak bisa, mungkin Ah-duken bisa kemari sendiri saat kau besar nanti."
"Tapi bagaimana jika aku lupa."
"Ingatlah namaku," Arisha menatap dengan senyuman nya. Lalu Ah-duken ikut tersenyum dan menghentikan menggambarnya.
"Arisha... Kau terlihat imut disini," ia menatap lukisan nya sendiri yang sangat bagus dan terlihat nyata.
"Wah... Itu bagus sekali, sekarang aku bisa mempercayaimu."
"Hah... Jadi selama ini kau tidak percaya padaku?!" Ah-duken terkejut.
"Heheh, maaf, tapi kan aku sekarang percaya, hehe...." Arisha menatap.
Lalu Ah-Duken menggeleng dan menarik lembaran buku gambarnya, dia merobek kertas dengan adanya gambaran Arisha. Lalu dia memberikan nya pada Arisha yang terdiam.
"Ini untuk mu, simpan saja...."
"Wah, terima kasih, tapi, bisa kamu kasih tanda tangan kamu?" Arisha menatap.
"Tanda tangan? Sebelumnya aku tak pernah membuat tanda tangan untuk karya ku, karena ayah ku bilang, tanda tangan pada karya sendiri itu hanya untuk karya yang sudah terkenal, sementara karya yang aku buat tidak terkenal sama sekali," kata Ah-duken.
Tapi Arisha menggeleng. "Tidak kok, karya mu terkenal, pasti akan terkenal, gunakan tanda tangan untuk memberitahu semua orang bahwa kamu adalah seorang pencipta karya yang indah!!" Arisha memberinya semangat membuat Ah-duken tampak senang di beri semangat.
Lalu dia memberikan tanda tangan dan memberikan karya itu pada Arisha yang tampak senang. "Yey, terima kasih," mendadak dia mendekat dan mencium pipi Ah-Duken membuat nya benar benar terkejut kaku memegang pipinya sementara Arisha berlari pergi untuk pulang.
"Apa... Itu tadi?" ia terdiam. Dari sana lah, Ah-Duken menamai adegan itu sebagai. "Cinta pandangan pertama."
Hingga hari hari lalu, mereka terus bertemu setiap hari, bahkan Ah-Duken bisa menggambar wajah Arisha beberapa kali setiap bertemu maupun tidak.
Tapi ada hal yang lebih menyakitkan, yakni ketika Ah-duken akan kembali ke kota bersama ayahnya.
Tampak mereka akan menaiki kapal yang sudah menunggu, sebelumnya, Ah-duken melihat sekitar.
Dia kemarin sudah bilang pada Arisha bahwa dia akan pulang ke kota hari ini.
"Aku mengharap Arisha datang..." pikirnya.
Lalu ayahnya menoleh padanya. "Duken, kenapa tidak naik, kita akan berangkat."
"Ayah, aku mohon tunggulah sebentar saja," kata Ah-duken membuat ayahnya bingung, ia pun menuruti putranya itu hingga tak lama kemudian.
Arisha tampak berlari dari jauh. "Ah-duken!!!!!" Dia berteriak memanggil membuat Ah-duken senang. "Arisha!"
Lalu Arisha di depan nya dengan terengah engah. "Kamu beneran akan pergi sekarang?!!" Arisha menatap tak percaya.
"Maafkan aku...."
"Kenapa kamu harus pergi?" tatap Arisha lalu ayah Ah-duken datang. "Maaf, Nona kecil, tapi, kota menunggu karya seni kami," kata Ayah Ah-duken yang merangkul putranya.
"Ah-duken...." Arisha menatap kecewa.
Ah-duken mencoba mencairkan suasana hingga ia terpikirkan sesuatu. "Arisha, begini saja, aku janji, setelah aku mampu untuk ke sini, aku akan kemari sendiri dan menghampiri mu.... Aku berjanji kita akan bertemu lagi," kata Ah-duken.
Lalu Arisha tersenyum senang. "Beneran?? Kamu yakin!! Janji ya," Arisha mengeluarkan jari telunjuk.
"Hahaha, yang nama nya janji, itu kelingking," Ah-duken menunjukan kelingking nya lalu Arisha mengangguk dengan senang.
Setelah itu, Dia pergi dengan ayahnya, ketika di kapal, ayahnya bicara sesuatu. "Duken, apa kau tahu kenapa gadis itu bersikap layaknya dia ingin mendapat teman?" tatap nya membuat Ah-duken terdiam bingung.
"Di desa itu, di percayai bahwa, yang nama nya seorang gadis, mati pun akan jadi hantu karena di sana banyak kepercayaan yang percaya bahwa seorang gadis yang tinggal di sana, tak bisa di permainkan," kata ayahnya seketika Ah-duken terkejut kaku.
Ia bahkan membayangkan Arisha menjadi hantu dan menyerangnya. Itu memang akan terjadi, pastinya.
--
Ah-Duken membuka mata dari tidurnya. ". . Ah...!" dia terbangun begitu saja di meja belajar, sepertinya dia ketiduran.
Lalu memegang kepalanya. "Mimpi itu lagi... Aku sudah berusaha melupakannya," ia berdiri dan berjalan mandi. Sepertinya tadi, dia bermimpi soal yang ada di buku gambar itu.
". . . Dia?!" ia terdiam ketika memandangi dirinya di kaca lalu ponselnya berbunyi.
"Halo..." ia mengangkatnya dengan bingung.
"Aku ingin membeli salah satu lukisanmu," kata orang yang berbicara lewat ponsel itu.
"Oh... Baiklah, aku akan segera menyiapkanya," Ah-duken segera berjalan keluar dari kamar mandinya.
--
Arisha adalah gadis pertama untuk Ah-duken, mereka berdua saling menjalin rasa cinta tapi saat itu mereka masih kecil dan ayah Ah-duken memutuskan membawa Ah-duken pergi dan menunggunya besar tapi saat Ah-duken akan menepati janjinya menemui Arisha, tak di sangka sangka dia benar benar melanggar janjinya.