Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI HUKUM LAGI
Kiyai Aldan hanya dapat menggeleng pelan melihat dari jauh didepan sana, di halaman masjid. Ada Agra dan ketiga temannya tengah menasehati Adira dan teman-temannya, pasti berulah lagi mereka itu batinya meringis pelan.
Kiyai Aldan dapat melihat jika Agra dan Abyan tengah menatap tajam Adira dan Ayyara, sedangkan Abraham dan Bima berdecak kesal karena lelah melihat tingkah Aruna dan Almaira yang sepertinya mulai berani kepada mereka.
“Astaghfirullahal ‘adzim.” Lirih kiyai Aldan.
Saat hendak melanjutkan langkahnya menuju Ndalem setelah dirinya dari luar mengisi kajian seperti biasa, ia dapat melihat santri putra yang di kenalinya tengah berjalan kearahnya. Santri putra itu tak sendirian melainkan bersama ketiga temannya.
Kiyai Aldan tetap berjalan, dan tepat dihadapannya keempat santri itu dengan sigap mencium punggung tangannya tanda hormat kepada kiyai Aldan.
“Assalamu’alaikum kiyai.” Salam Arwin. Di ikuti oleh ketiga temannya.
Kiyai Aldan tersenyum hangat. “Wa’alaikum salam, ini dari mana mau kemana?” Tanyanya menatap santri putra itu secara bergantian.
“Kami dari koperasi, dan hendak menemui kiyai.” Jawab Supriadi mewakili ketiga temannya.
Kiyai Aldan menunjuk dirinya sendiri. “Saya? Menemui saya?” Tanyanya untuk memastikan.
Keempatnya mengangguk kompak. “Na’am kiyai!”
Membulatkan bibirnya. “Owwhhh, ada apa?”
Lion, Irdan, Supriadi dan Arwin saling melirik, bahkan tangan mereka saling memberi kode untuk menjawab pertanyaan kiyai. Membuat kiyai Aldan mengerutkan keningnya melihat pemandangan itu.
“Aaa… begini kiyai i-ni tentang Adira dan teman-temannya.” Cicit Supriadi yang terus saja mendapat desakan dari ketiga temannya.
“Adira dan teman-temannya? Ada apa dengan mereka? mereka membuat kesalahan lagi? Atau kalian yang diganggu?” Cecar kiyai Aldan. Saking hafalnya dengan tingkah Adira dkk itu.
Meringis pelan. “B-bukan kiyai. Ini m-asalah… aaa kami semalam tak sengaja mendengar percakapan ustadz Abraham dan ustadz Bima tentang per…,”
Kiyai Aldan melotot tak percaya. “Hussttt jangan di lanjutkan, kita bicara di Ndalem saja. Ayok, ikut saya.”
Kiyai Aldan berjalan didepan, sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini. taka man jika membahasnya disaat santri lainnya berlalu lalang karena ini adalah waktu santai setelah shalat asar tanpa ada pengajian.
Arwin dkk mengikuti langkah kiyai Aldan.
xxx
“Aruna, kalau dinasehati itu diam ditempat. Jangan banyak bergerak dan juga mata kamu bisa diam tidak?” Tanya Abraham pelan. Dia kehabisan akal memberi hukuman untuk istrinya.
Ha? Istrinya katanya? Astaga ini memang bukan mimpi panjang, sekarang dia adalah seorang suami dan yang berdiri didepannya ini adalah istrinya.
Aruna mendengus pelan, namun tetap menuruti perkataan Abraham. “Ckkk, makanya biarin aku duduk. Di kira tidak capek berdiri terus, lah ustadz enak duduk.” Omelnya menatap Abraham.
Abraham menggeleng pelan, mengusap keningnya karena berkeringat kecil. “Yasudah, kamu boleh dud..,”
Aruna langsung duduk dibawah beralaskan sandal jepit kebanggaan semua santri. “Uhh dari tadi kan enak ngobrol ustadz.” Katanya dengan wajah tanpa dosannya itu.
Lagi, ia menggeleng melihat tingkah Aruna. “Astagfirullah Aruna.” Lirihnya. “Baiklah, hukuman kamu silahkan hafalkan surah As sajadah setorkan empat hari lagi.” Ucapnya dengan wajah garang menatap Aruna.
“HA?” Kaget lah. Baru juga kemarin menyetor hafalan, hari ini dia kena lagi hukuman menghafal.
“Isss, suara kamu Aruna. Pelankan.” Tegur Abraham. Aruna kembali mendengus pelan.
“Ya abisnya ustadz kasih hukuman hafalan lagi, ini otak ana sudah tidak mampu lagi.” Deliknya.
“Siapa suruh tidur.” Kata Abraham dengan nada sedikit mengejek sepertinya. Membuat Aruna menatapnya dengan sinis.
Masih di tempat yang sama.
Ayyara meringis pelan saat tatapan tajam milik Abyan bertubrukan dengannya. “Kita tidur itu karena ustadz juga, jadi bukan salah kita sepenuhnya lah!”
“Kenapa jadi salah saya?” Tanya Abyan bingung. “Lagi pula kamu tetap salah, tidur saat proses pengajian sedang berlangsung disaat santri yang lainnya juga tengah manahan ngantuk. Kamu tidak malu?”
Ayyara menggeleng. “Loh kenapa harus malu ustadz?”
“Mereka juga jelas mengantuk, namun mereka bisa menahannya sampai pengajian itu selesai. Lalu apa bedanya dengan kamu?” Tanya Abnyan lagi.
Ayyara mengambil napasnya, lalu menjawab. “Ya mana aku tahu bedanya apa!”
“Kamu ini… sudah, hukuman mu hafalkan kembali surah yang pernah kamu setor ke saya besok malam.” Jangan lupakan tatapan tajam itu.
“Lahhh, tidak ada yang lainnya?” Tanyanya. Mecoba bernego walau tahu keputusan itu tak akan berubah.
“Kenapa? Sudah lupa dengan hafal kamu? Iya?” Cecar Abyan. Menggeleng melihat jawaban Ayyara, sepertinya dia harus menambah stok kesabarannya.
“Astagfirullah, besok malam temui saya setelah shalat isya’.” Lanjutnya tanpa bantahan dari Ayyara lagi.
Ayyara hanya merutuki nasibnya sendiri, ustadz Abyan ini sama saja dengan ustadz Agra yang sama-sama menyeramkan dan menakutkan apa lagi dengan tatapan bola mata hitam pekat itu.
Masih ditempat yang sama.
Di pelataran masjid. Bima menatap lelah Almaira, istrinya itu tak bisa diam duduk didepannya. Ada saja yang selalu menarik perhatiannya hingga menoleh terus-menerus.
“Alamira, coba sehari saja kamu tidak membuat masalah. Kamu tidak lelah di hukum terus, kamu sudah kelas tiga. Fokus untuk persiapan ujian kamu, bukan waktunya bermain lagi.” Tutur Bima dengan pelan.
Almaira yang duduk bersilah dengan jarak yang sedikit jauh menjawab. “Semakin bertambahnya umur, malah semakin punya jiwa anak kecil ustadz.”
Bima meringis pelan. “Dari mana lagi kamu dapat kalimat itu?” Tanyanya sedikit menahan suaranya.
“Dari aku sendiri.” Jawab Almaira dengan santai. Benar, dia mendapatkan kalimat itu dari otak cantiknya.
“Terserah kamu saja.” Bima terlihat sudah lelah. “Kamu masih ingat dengan surah Al-Waqiah yang kamu setor ke saya?” Tanyanya.
Almaira tersenyum bodoh. Memainkan ujung mukenahnya. “Heheh, lupa ustadz.” Jawabnya pelan. Bima semakin meringis mendengarnya.
“Hafalkan itu kembali, lalu setor dua hari lagi.” Ujarnya dengan tegas. Almaira hanya pasrah, mau bernego pun juga rasanya percuma.
Masih ditempat yang sama.
Agra duduk ditangga masjid, lalu ada Adira yang berdiri didepannya tepat menghadap kearahnya dengan memainkan jari-jari kecilnya itu.
“Tahu kesalahan mu apa?” Tanyanya penuh intimidasi. Adira mengangguk sebagai jawabnya.
Agra kembali bersuara. “Kenapa tertidur?” Tanyanya lagi.
“Karena mengantuk ustadz.” Jawabnya dengan lugas.
“Jangan di ulangi lagi, hukuman mu setorkan surah Al-Isra waktu mu sampai dua hari.” Tuturnya dengan tegas. Wajahnya sama sekali tak bersahabat.
Adira hanya pasrah, tidak berani membantah karena saat ini tatapan Agra seperti hendak memakannya hidup-hidup. Lebih baik ia cari aman ketimbang harus mengusik singa yang tertidur itu.
“Na’am ustadz.” Cicit Adira.
“Kurangi sifat itu Adira, fokus untuk persiapan ujian mu.” Agra memberi nasehat kepada Adira yang masih tetap menunduk bahkan sesekali berusaha menghindari kontak mata dengan Agra.
“Na’am ustadz.” Jawabnya lagi.
xxx
“Ja-di benar yang kami dengar semalam itu jika mereka sudah menikah?” Tanya Arwin masih tak percaya pada perkataan kiyai Aldan.
“Tapi kenapa kiyai? Ma-ksud ana penyebab mereka menikah. Bukankah ini hanya salah paham kiyai?” Cecar Irdan. Sangat syok setelah mendengar cerita dari kiyai Aldan.
Sama halnya dengan Lion dan Supriadi, apa yang mereka lewatkan malam itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?
“Benar, mereka sudah menikah semalam dan mobil yang terparkir didepan semalam itu adalah milik orang tua mereka.” Jelasnya kembali. “Saya harap, ini tidak sampai kepada santri lainnya atau siapapun.” Lanjutnya.
Mereka hanya mengangguk pelan, masih syok berat kayanya mendengar beritanya.
semangat 💪👍