NovelToon NovelToon
Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kara_Sorin

Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11_Pertemuan dengan Ibu Sean

Pagi itu langit sedikit mendung, tapi udara terasa hangat. Di dalam mobil yang melaju tenang ke arah selatan Jakarta, Namira duduk di kursi penumpang, diam. Tangan kirinya memegang clutch kecil, sementara matanya tertuju keluar jendela.

Sean yang menyetir, sesekali melirik.

“Kamu yakin mau ikut?” tanya Sean akhirnya, memecah sunyi.

Namira mengangguk tanpa menoleh.

“Kalau kamu menganggap ini bagian dari menjaga citra pernikahan kita... ya, aku ikut. Lagipula, aku ingin tahu seperti apa tempatmu tumbuh.”

Sean tak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, lalu kembali fokus menyetir. Dalam diam, ada ketegangan halus yang menggantung di antara mereka. Bukan karena permusuhan, tapi karena sesuatu yang masih terlalu baru untuk dimengerti.

Rumah itu berada di ujung gang kecil, dengan pintu kayu berwarna cokelat tua yang sudah kusam dimakan cuaca. Dindingnya sedikit mengelupas, dan ada pohon mangga besar di halaman depan yang tampak menaungi rumah dengan teduh. Suasana kontras sekali dengan apartemen mewah tempat Namira biasa tinggal, dinding marmer, lift pribadi, aroma parfum mahal di setiap sudut ruang.

Di depan rumah, seorang perempuan tua dengan kebaya sederhana tengah menyapu halaman.

“Itu Mbok Jinem,” kata Sean sambil menurunkan barang dari bagasi.

“Beliau yang bantu jaga Ibu selama aku tinggal di apartemenmu.”

Namira menatap perempuan itu dan tersenyum, meski ada sedikit canggung di wajahnya.

“Mbok,” sapa Sean sopan.

Mbok Jinem menengadah, lalu tersenyum lebar.

“Wah, Sean. Baru pulang, Nak? Ini istrimu yang cantik itu, ya?”

Namira sedikit terkejut disebut “istri” dalam nada seakrab itu. Tapi ia segera menanggapi dengan sopan.

“Iya, Mbok. Saya Namira.”

“Aduh, sopan dan halus sekali. Sean, kamu beruntung. Ayo, ayo masuk... Ibumu tadi siang nanyain kamu terus.”

Namira melangkah pelan ke dalam rumah. Aroma kayu tua dan minyak kayu putih menyeruak pelan. Di ruang tamu yang kecil namun rapi, ada rak buku tua, foto keluarga yang mulai pudar warnanya, dan kursi rotan yang mengeluarkan bunyi pelan saat diduduki.

“Ibu di kamar. Biar aku temui dulu,” ujar Sean.

Namira duduk pelan di kursi, memperhatikan sekeliling. Rumah ini mungkin tidak mewah, tapi ada kehangatan yang tak ia temukan di apartemen luasnya. Ada jejak cinta, perjuangan, dan hidup yang nyata.

Tak lama kemudian, Sean keluar dari kamar, wajahnya sedikit berbeda, lebih tenang, tapi juga lebih rapuh.

“Ibu ingin bertemu kamu,” katanya pelan.

Namira berdiri, lalu mengikuti Sean ke kamar kecil di ujung lorong. Di dalam, seorang perempuan tua berbaring di ranjang dengan selimut tipis. Wajahnya pucat, rambutnya sebagian besar sudah putih. Saat melihat Namira, perempuan itu tersenyum.

“Ini Namira, Bu,” ujar Sean sambil duduk di tepi ranjang.

“Istriku.”

“Ibu senang akhirnya bisa lihat kamu,” kata sang ibu dengan suara lemah.

“Sean sering cerita... tapi baru sekarang bisa ketemu langsung.”

Namira duduk di kursi samping ranjang.

“Saya juga senang bisa bertemu Ibu. Semoga Ibu lekas sembuh.”

“Ibu sudah tua, Nak. Badan ini hanya titipan. Tapi hati Ibu tenang, tahu Sean sudah punya pendamping.”

Namira menoleh ke Sean yang menunduk. Tangannya menggenggam tangan ibunya erat, seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan mainan kesayangan.

“Kamu kerja terlalu keras, Sean,” lanjut ibunya.

“Jangan sampai lupa jaga diri. Sekarang kamu bukan sendiri lagi.”

Sean mengangguk. “Iya, Bu. Aku janji.”

Namira melihat air mata menggantung di pelupuk mata Sean. Ia tak berkata apa-apa. Tapi dalam diam itu, Namira menyadari sesuatu: Sean yang selama ini terlihat tegar, tangguh, dan tenang… ternyata juga bisa rapuh dan bagian itu bagian yang tidak pernah ia lihat justru membuatnya terasa lebih nyata.

Setelah ibunya tertidur, Sean dan Namira duduk di ruang tamu sambil minum teh buatan Mbok Jinem. Di luar, suara tukang sayur lewat, anak-anak tertawa bermain kelereng, dan sesekali suara azan berkumandang dari Mushola dekat sana.

“Rumah ini... jauh sekali dari duniaku,” ujar Namira pelan.

Sean menoleh. “Kamu tidak nyaman?”

“Bukan soal nyaman. Lebih ke... asing. Tapi anehnya, ada sesuatu yang hangat di sini.”

Sean tersenyum tipis.

“Ibu memang selalu berusaha menjaga kehangatan rumah. Meski ayah pergi waktu aku masih muda, dia tetap berdiri untuk semuanya.”

“Pasti sulit, ya.”

“Iya. Tapi dari dia, aku belajar bahwa kesederhanaan itu bukan aib. Kadang malah, dari keterbatasan itu muncul kekuatan.”

Namira memandangi cangkir tehnya.

“Aku iri.”

“Kamu iri?” Sean heran.

Namira mengangguk pelan.

“Iri karena kamu tumbuh dalam kejujuran. Hidupku penuh pencitraan. Dari kecil harus tampil sempurna, bicara sempurna, punya reputasi sempurna. Sampai-sampai aku lupa bagaimana rasanya... jadi manusia.”

Sean tak menjawab. Tapi sorot matanya menyimpan pengertian.

“Kenapa kamu tidak marah?” tanya Namira tiba-tiba.

“Maksudmu?”

“Dijebak menikah demi menutupi skandal Papaku. Hidup di dunia yang bukan milikmu. Kenapa kamu tetap tenang?”

Sean menarik napas panjang.

“Karena aku tahu ini hanya sementara dan aku tahu kamu bukan bagian dari kejahatan itu. Kamu juga korban. Sama sepertiku.”

Jawaban itu membuat dada Namira sesak.

“Kamu... terlalu baik.”

Sean menatapnya sebentar.

“Atau mungkin, kamu belum pernah bertemu pria yang tidak menginginkan apa-apa darimu.”

Namira terdiam.

***

Saat matahari mulai turun dan mereka bersiap kembali ke apartemen, Mbok Jinem membungkus beberapa lauk untuk dibawa.

“Ibu kamu pasti senang hari ini,” ujar Mbok Jinem.

“Beliau butuh itu, rasa ditemani.”

Namira menunduk sopan.

“Terima kasih, Mbok. Sudah jaga beliau selama ini.”

“Ndak usah berterima kasih, Nak. Kamu anak baik. Kamu dan Sean... semoga saling menyembuhkan, ya.”

Perjalanan pulang terasa sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung melainkan sunyi yang dipenuhi pikiran masing-masing.

Di tengah jalan, Namira berkata pelan.

“Terima kasih sudah ajak aku ke sana.”

Sean menoleh.

“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu bersedia datang.”

Namira menoleh ke luar jendela. Ia tidak tahu apa yang sedang tumbuh di hatinya. Tapi hari ini, ia melihat Sean bukan sebagai kurir, bukan sebagai suami yang dinikahinya karena terpaksa. Tapi sebagai manusia dengan luka, cinta, dan keberanian yang utuh.

***

Malamnya, Namira berdiri lama di depan cermin. Rambutnya sudah terurai, riasan dihapus bersih. Ia memandang bayangannya sendiri, mencoba mengenali perempuan yang ada di sana. Lalu ia teringat suara lirih ibu Sean dan tangan Sean yang menggenggam tangan ibunya dengan begitu lembut.

Ada kehangatan yang belum pernah ia lihat di pria mana pun. Ia membuka laci kecil di meja rias, lalu mengeluarkan surat kontrak pernikahan yang dulu mereka tandatangani. Satu tahun. Lima syarat. Satu per satu matanya menelusuri tulisan itu. Tapi tepat di bagian “tidak boleh jatuh cinta”, Namira berhenti membaca. Matanya memejam.

Dari ruang tamu, ia mendengar suara gitar kecil dipetik pelan. Lagu lama, tanpa kata. Tapi nadanya mengisi setiap sudut ruangan dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan…

Untuk pertama kalinya, Namira bertanya dalam hati:

Bagaimana kalau... aku melanggar salah satu syarat itu?

1
NurAzizah504
jgn takut melawan kebenaran /Good/
NurAzizah504
/Determined//Determined//Determined/
NurAzizah504
semoga kalian baik2 saja
Kara: aamiin 🤲🤣
total 1 replies
NurAzizah504
keliatan bgt sean benar2 yakin kali ini
Kara: harus yakin 😁
total 1 replies
NurAzizah504
eh eh eh
NurAzizah504
akhirnya /Sob/
NurAzizah504
bakalan menggemparkan bgt ini
NurAzizah504
mantap. kalo disebar, pasti bakalan cepat viral
Kara: memanfaatkan opini publik 😂 sebagai senjata
total 1 replies
NurAzizah504
awas kalo ninggalin nam nam lagi
NurAzizah504
syukurlah sean udh sadar /Sob/
NurAzizah504
meleleh aku, makkk
NurAzizah504
sen-sen mu itu lohhh
Author Sylvia
yang sabar ya sean, Namira itu banyak banget yang harus dipikirin.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.
Author Sylvia
capek banget jadi Namira, keluarganya nggak ada yang peduli sama beban yang ada di pundaknya.
Riddle Girl
ceritanya keren, dari pembawaan, dan alur, bikin pembaca ikut merasakan suasana dalam cerita.
Kara: waah terimakasih sudah mampir dan mendukung ☺
total 1 replies
Riddle Girl
aku kasih bintang 5 ya, Thor. semangat nulisnya/Smile//Heart/
Kara: siap 👌
total 1 replies
Riddle Girl
mawar mendarat, Thor. ceritanya bagus/Smile/
Kara: terimakasih sekali dukungannya❤
total 1 replies
Riddle Girl
waahhh Namira yang biasanya tidak peduli kok bisa penasaran?/Grin//Chuckle/
Riddle Girl
mulut Namira sarkas juga yaa/Sob//Facepalm/
Riddle Girl
bener banget, mah ini. sampai ada kata "Lo cantik, Lo aman.", waduhh kasian orang-orang burik macam saya/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!