NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19 : Cinta Masih Bisa Tumbuh dari Puing-puing yang Belum Sepenuhnya Runtuh

Pesawat pribadi itu meluncur mulus di atas langit sore, menyisakan semburat jingga yang memantul lembut di jendela kabin. Samantha duduk di kursi empuknya, tampak tenang sambil menatap keluar, seolah menikmati pemandangan langit yang tak terjangkau. Namun dalam diamnya, pikirannya sibuk, merekam, menakar, dan merancang ulang langkah-langkah berikutnya.

Di sampingnya, Nathaniel Graves tampak rileks. Pria itu memandang Samantha dengan sorot mata yang nyaris lunak, berbeda dari biasanya. Ada kebanggaan di balik senyumnya, seperti seorang mentor yang melihat keberhasilan didikan barunya.

"Menurutmu, bagaimana perjalanan ini?" tanyanya sembari menyandarkan tubuh.

Samantha menoleh dan tersenyum tipis. "Membuka banyak mata. Dunia bisnis... lebih rumit dan penuh intrik dari yang kupikirkan."

Nathaniel tertawa kecil. "Kau cepat belajar. Aku senang bisa mengenalkanmu pada sisi dunia yang lebih luas daripada sekadar ruang redaksi."

Sebagai kepala editor, Samantha sejatinya tak memiliki kewajiban untuk ikut dalam perjalanan bisnis semacam ini. Tapi beberapa bulan terakhir, kedekatan mereka telah melintasi batas profesional. Nathaniel menganggap Samantha sebagai ‘proyek pribadi’, seorang wanita cerdas yang layak dia bimbing, bentuk, dan... miliki.

Sepanjang perjalanan, Nathaniel memperkenalkannya pada tokoh-tokoh besar, memperlihatkan seluk-beluk negosiasi bernilai jutaan dolar, dan tak jarang, mengajaknya berdiskusi serius soal ekspansi bisnis. Semua dibalut perhatian, kekaguman, dan semacam rasa kepemilikan yang semakin tumbuh.

Tapi Samantha... tetap Samantha. Ia menyerap semua pelajaran itu, menyimpan informasi demi informasi yang bisa berguna di kemudian hari. Dan di balik senyum manis dan tawa kecilnya, ada satu tujuan yang tak pernah padam, mengenal musuhnya lebih dalam, sampai dia tahu di mana harus menusuknya.

Saat pesawat mendarat, Nathaniel sempat meraih tangannya.

"Terima kasih sudah menemaniku, Sam. Aku tahu ini bukan pekerjaanmu. Tapi kau melakukannya dengan sangat baik."

Samantha mengangguk pelan. "Aku hanya ingin belajar dari yang terbaik."

Dia tidak menyebutkan bahwa di balik belajar itu, ia juga tengah mempersiapkan akhir dari semuanya.

...****************...

Malam telah larut saat Samantha akhirnya tiba di depan rumahnya. Lampu teras masih menyala, redup dan hangat, menyambutnya dalam diam seperti seorang sahabat yang setia menunggu. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu, seolah perlu menyusun ulang dirinya sebelum menghadapi kenyataan yang telah ia tinggalkan beberapa hari terakhir.

Suara kunci berputar pelan, lalu pintu terbuka.

Di ruang tengah, Leonard duduk di sofa, mengenakan kaus abu lusuh dan celana rumah. Rambutnya acak-acakan, mata sembab menatap layar televisi yang menyala tanpa suara. Aroma kopi basi menyambut hidung Samantha, dan di meja, berserakan beberapa tagihan yang belum tersentuh.

Leonard menoleh perlahan. Matanya menatap Samantha tanpa senyum, tapi juga tanpa amarah. Hanya kelelahan dan... rindu yang samar.

"Kau pulang juga," gumamnya.

Samantha tersenyum tipis, menurunkan koper kecilnya. "Maaf... penerbangannya tertunda."

Leonard mengangguk pelan. Hening melayang di antara mereka. Lalu, dia berdiri, berjalan menuju dapur, dan kembali dengan segelas air putih. Ia menyodorkannya pada Samantha, tanpa kata-kata, tanpa penjelasan. Hanya sebuah gestur kecil yang terasa lebih lembut dari apapun.

Samantha menerimanya, hati kecilnya tergetar. "Terima kasih."

Leonard duduk kembali. "Capek?"

Samantha duduk di sebelahnya, menjaga jarak tapi tak terlalu jauh. "Lumayan."

Hening lagi. Tapi kali ini, bukan keheningan yang kaku. Melainkan semacam ketegangan lembut yang belum menemukan jalan untuk dilepaskan.

"Aku banyak berpikir waktu kau pergi," kata Leonard pelan. "Tentang kita. Tentang jarak ini."

Samantha menunduk, meremas jemarinya sendiri.

"Aku tahu ada sesuatu yang kau simpan, Sam. Tapi aku juga tahu... aku mencintaimu. Dan aku bersedia menunggu sampai kau siap bercerita."

Air mata menari di pelupuk Samantha. Tak jatuh, hanya menggantung. Karena hatinya... mulai lelah menjadi dua orang yang berbeda di dua dunia yang saling bertabrakan.

"Terima kasih, Leo... untuk tidak pergi."

Leonard menoleh, mencoba mencari sesuatu di wajah wanita yang dicintainya.

"Aku akan ada di sini, Samantha. Saat kau siap, aku akan tetap mendengarkan."

Dan malam itu, Samantha tidur dengan punggung bersandar pada pria yang hampir ia hancurkan... dan hatinya mulai goyah. Karena cinta yang diam itu kadang jauh lebih menusuk daripada nafsu yang menggebu.

...****************...

Malam itu hujan turun pelan, menghapus jejak langkah di luar jendela, namun tidak bisa menghapus perasaan bersalah yang terus menghantui Samantha.

Ia berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan piyama tipis berwarna abu-abu lembut. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya... menyimpan rindu yang tidak bisa ia ucapkan.

Leonard sudah tertidur di ranjang, mengenakan hoodie dan celana panjang, terlihat kelelahan. Tapi bahkan dalam tidurnya, pria itu masih tampak... tulus. Tidak banyak bicara, tidak memaksa. Hanya memberi tempat. Memberi waktu. Memberi ruang.

Dan itulah yang paling menyakitkan bagi Samantha.

Ia duduk di sisi tempat tidur, membiarkan ujung jarinya menyentuh tangan Leonard perlahan. Hangat. Nyata.

"Aku belum bisa menjadi istrimu sepenuhnya, Leo..." bisiknya lirih, tanpa suara. Hanya hati yang mendengar.

"Belum sampai aku menyelesaikan semua ini. Belum sampai aku menyeret Nathaniel Graves ke jurang tempat dia seharusnya berada. Belum sampai dia tahu rasanya kehilangan segalanya, seperti aku dulu kehilangan diriku sendiri."

Ia menunduk, membiarkan air mata jatuh ke punggung tangan Leonard. Pria itu menggeliat sedikit, tapi tak terbangun. Dan itu membuat Samantha semakin sesak. Karena semakin ia mencintai Leonard, semakin berat beban yang ia pikul. Semakin ia takut... hari pengakuan itu akan menghancurkan mereka.

"Tolong... tunggu aku sedikit lagi. Jangan pergi sampai aku selesai menepati janjiku, janji untuk menebus semua luka yang tak pernah kau buat, tapi harus kau tanggung."

Lalu perlahan, ia berbaring di sisi Leonard, menarik selimut hingga ke dagu, dan membiarkan dirinya tertidur dalam diam, dengan satu doa yang terus ia ulang di hati:

"Semoga cinta ini tidak terlalu rusak saat aku kembali."

...****************...

Pagi itu matahari malu-malu menembus tirai tipis, menyebarkan cahaya keemasan ke dalam kamar. Jam dinding belum genap menunjukkan pukul tujuh, namun Samantha sudah terjaga. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena pelukan lembut yang melingkari pinggangnya dari belakang.

Leonard masih terlelap. Napasnya tenang, ritmenya stabil, dan dagunya menyentuh bahu Samantha. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Samantha tidak buru-buru bangun. Ia membiarkan keheningan itu berlangsung, membiarkan waktu berhenti sejenak di antara pelukan yang tak menghakimi.

Ia memutar sedikit badannya, menatap wajah Leonard yang begitu damai. Ada bekas kantuk yang lembut di bawah matanya, dan sedikit kerutan di keningnya yang entah sejak kapan mulai tumbuh. Lelaki itu terlihat lebih rapuh dari yang biasa Samantha bayangkan. Tapi juga lebih kuat, karena tidak pernah meninggalkannya walau tanpa tahu alasan.

Pelan, Samantha mengangkat tangannya dan menyapukan jari-jarinya pada pipi Leonard. Saat lelaki itu menggeliat dan membuka mata setengah sadar, bibir Samantha sudah membentuk senyum kecil yang jarang sekali muncul akhir-akhir ini.

"Pagi," katanya lembut.

Leonard memejamkan mata kembali, lalu bergumam, "Pagi juga... akhirnya kamu gak buru-buru bangun."

Samantha menggigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi kali ini, ia ingin tinggal sebentar. Ingin membalas semua waktu yang selama ini ia rampas diam-diam dari kehidupan mereka.

"Aku akan buatkan kopi," ucapnya akhirnya. "Dan roti panggang. Masih ada selai stroberi, kan?"

Leonard membuka matanya, kini lebih lebar. Ia mengangguk pelan, seolah tak ingin membuat gerakan yang akan merusak momen itu. "Kamu masih ingat?"

Samantha tersenyum tipis. "Aku ingat semuanya."

Lalu ia bangkit dari ranjang, berjalan menuju dapur dengan langkah ringan. Untuk pertama kalinya, pagi mereka dimulai dengan sentuhan kecil bernama harapan, bahwa mungkin, luka mereka belum benar-benar membusuk. Bahwa mungkin... cinta masih bisa tumbuh dari puing-puing yang belum sepenuhnya runtuh.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!