Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Aroma Kenangan di Kotak Nasi
Tiga bulan berlalu.
Waktu berjalan lambat bagi hati yang patah, namun berjalan sangat cepat bagi perut yang lapar. Bagi Nayla, tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Tagihan listrik, kontrakan, susu Nando, dan cicilan hutang pada Adit tidak bisa dibayar dengan air mata.
Pukul 03.00 WIB dini hari.
Di dapur kontrakan yang sempit, Nayla sudah terjaga. Aroma santan gurih, sereh, dan daun salam menguar memenuhi ruangan. Suara sreng-sreng spatula beradu dengan wajan menjadi musik penyemangatnya setiap pagi.
Setelah resign dari Rahardian Group, Nayla memutuskan untuk tidak melamar kerja kantoran lagi. Trauma lingkungan kerja toxic dan kebutuhan untuk menjaga Nenek Ijah di rumah membuatnya memutar otak. Berbekal pujian Adit dulu tentang masakannya, Nayla nekat membuka usaha katering kecil-kecilan.
"Dapur Nando". Itu nama usahanya.
Awalnya ia hanya menitipkan nasi uduk dan gorengan di warung-warung tetangga. Namun karena rasanya yang enak dan harganya murah, pesanan mulai berdatangan.
"Ibu, Nando bantuin masukin kerupuk ya?" suara serak Nando terdengar. Bocah itu bangun kepagian, mengucek matanya.
"Eh, jagoan Ibu bangun. Cuci muka dulu sayang, baru bantuin," ujar Nayla tersenyum, menyeka keringat di dahinya dengan lengan daster.
Kini, Nayla bukan lagi staf admin berbaju rapi di gedung pencakar langit. Ia adalah pengusaha mikro yang tangguh. Tangannya kapalan kena pisau dan panas wajan, tapi hatinya jauh lebih tenang.
Tepat pukul 07.00 pagi, Nayla membuka lapak meja kecil di depan pagar kontrakannya. Tumpukan nasi uduk bungkus daun pisang dan aneka lauk pauk sudah siap.
"Nasi uduknya dua, Mbak Nay. Pake semur jengkol," sapa Pak RT, pelanggan setia.
"Siap, Pak RT. Bonus orek tempe ya biar makin semangat rondanya nanti malem," canda Nayla.
Di sela-sela melayani pembeli, ponsel Nayla berbunyi. Alarm pengingat yang ia setel setiap tanggal 25.
Bayar Cicilan Pak Aditya.
Senyum Nayla memudar sedikit. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi mobile banking. Saldonya pas-pasan, tapi ia tidak pernah telat sehari pun.
Ia mengetik nominal: Rp 500.000.
Rekening tujuan: Aditya Rahardian.
Klik. Transfer Berhasil.
Nayla menatap layar ponselnya nanar. Transfer ini adalah satu-satunya benang merah yang masih menghubungkannya dengan pria itu. Sebuah benang merah yang terbuat dari kebanggaan dan rasa sakit.
"Lunas satu bulan lagi," gumamnya pelan. "Tinggal 95 bulan lagi."
Di lantai 40 Rahardian Tower.
Adit sedang memimpin rapat evaluasi kuartal. Wajahnya lebih dingin dari biasanya. Sejak kejadian itu, Adit berubah menjadi mesin kerja. Ia jarang tersenyum, jarang menyapa ramah, dan menjadi sangat perfeksionis. Karyawan-karyawannya bekerja dalam ketakutan.
Ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Sebuah notifikasi SMS banking muncul di layar yang menyala.
Kredit masuk: Rp 500.000,00 dari NAYLA ANINDYA.
Adit menghentikan presentasinya. Matanya terpaku pada notifikasi itu.
Ini bulan ketiga. Dan seperti bulan-bulan sebelumnya, Nayla mengirim uang itu tepat waktu, di jam yang sama.
Hati Adit mencelos perih.
Uang 500 ribu itu bagi Adit tidak ada artinya—hanya setara sekali makan siang di restoran hotel. Tapi bagi Nayla, ia tahu uang itu adalah hasil keringat, hasil bangun jam 3 pagi, hasil menahan diri tidak jajan.
Nayla mengirim uang itu bukan sekadar membayar hutang. Ia sedang mengirim pesan: "Aku tidak butuh belas kasihanmu. Aku bisa berdiri sendiri."
"Pak Adit? Ada masalah dengan laporannya?" tanya Manajer Pemasaran takut-takut karena bosnya diam saja.
Adit tersadar. Ia mematikan layar ponselnya, menyimpannya ke saku jas—di sebelah jantungnya.
"Lanjut," perintahnya datar. "Tapi target penjualan bulan depan saya mau naik 15%. Kalau tidak sanggup, silahkan ajukan surat pengunduran diri."
Suasana rapat makin mencekam.
Pukul 11.00 siang.
Rapat selesai. Adit kembali ke ruangannya. Ia merasa lelah, bukan fisik, tapi mental. Ia menatap pemandangan Jakarta dari balik kaca. Arah pandangannya selalu tertuju ke Jakarta Timur, ke sebuah titik imajiner di mana Nayla berada.
Pintu ruangan diketuk. Masuklah Pak Ujang, OB yang dulu pernah Adit sogok di pantry. Sekarang Pak Ujang sering dipanggil Adit untuk urusan "pribadi".
"Permisi, Pak Presdir. Pesanannya sudah sampai," Pak Ujang meletakkan sebuah kantong plastik putih besar di meja Adit.
Aroma yang sangat familiar langsung memenuhi ruangan ber-AC dingin itu. Aroma nasi uduk, sambal goreng, dan semur.
"Terima kasih, Pak Ujang. Kamu ambil lewat pintu belakang kan? Nggak ada yang liat?"
"Aman, Pak. Saya suruh ojek online yang ambil, terus oper ke saya di parkiran bawah. Sesuai instruksi Bapak," jawab Pak Ujang.
"Bagus. Ini buat Pak Ujang," Adit memberikan beberapa lembar uang merah. "Dan ini buat dibagi-bagi ke temen-temen OB lain. Bilang aja rezeki hamba Allah."
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak!"
Setelah Pak Ujang pergi, Adit membuka bungkusan itu.
Di dalamnya ada 50 kotak nasi uduk.
Setiap hari Jumat, Adit diam-diam memesan 50 porsi nasi uduk dari "Dapur Nando" melalui aplikasi ojek online dengan akun samaran. Ia menyuruh membagikannya ke panti asuhan atau masjid, tapi selalu menyisihkan satu kotak untuk dirinya sendiri.
Ini adalah cara Adit "menafkahi" Nayla tanpa melukai harga dirinya. Ia menjadi pelanggan anonim terbesar Nayla.
Adit membuka satu kotak nasi uduk itu. Nasi yang pulen, bihun goreng, irisan telur dadar, semur tahu, dan sambal merah yang menggoda. Di tutup kotaknya, ada stiker kecil bertuliskan: Dapur Nando - Terima Pesanan. Terima Kasih Sudah Membeli! :)
Ada tulisan tangan kecil di bawah stiker itu: "Jumat Berkah, Kak. Bonus kerupuk ya."
Adit mengusap tulisan tangan Nayla itu dengan ibu jarinya. Dadanya sesak. Ia merindukan senyuman pemilik tulisan itu. Ia merindukan celoteh Nando.
Adit menyendok nasi uduk itu ke mulutnya.
Rasanya masih sama. Enak, gurih, dan penuh cinta. Masakan rumah yang tidak pernah ia dapatkan di rumah mewahnya yang sepi.
Tanpa sadar, setitik air mata jatuh ke sudut mata Adit.
Seorang CEO perusahaan raksasa, pemilik aset triliunan rupiah, duduk sendirian di puncak menara gadingnya, menangis sambil memakan nasi uduk seharga lima belas ribu rupiah.
"Maafin saya, Nay," bisiknya lirih di sela kunyahan. "Saya kangen."
Sementara itu, di kontrakan Nayla.
"Bu! Bu!" Nando berlari girang membawa secarik kertas struk orderan dari abang ojol.
"Kenapa, Nak?"
"Kata Abang Ojol tadi, Kakak yang pesen 50 kotak tiap Jumat itu kasih bintang lima lagi! Terus dia nulis ulasan!"
Nayla mengambil ponsel khusus usahanya, membaca ulasan di aplikasi.
User: HambaAllah99
Rating: ⭐⭐⭐⭐⭐
Ulasan: Masakannya enak sekali. Mengingatkan saya pada rumah. Semurnya manis, sambalnya pedas, pas seperti hidup. Sukses terus buat Ibu dan Nando. Jaga kesehatan.
Nayla tersenyum haru. "Alhamdulillah, Nando. Pelanggan setia kita ini baik banget ya. Tiap minggu borong, terus doain kita."
"Mungkin dia suka masakan Ibu kayak Om Kue Cokelat dulu!" celetuk Nando polos.
Senyum Nayla langsung kaku mendengar sebutan itu.
"Nando..." Nayla berlutut, memegang bahu anaknya. "Udah ya, jangan sebut Om itu lagi. Om itu udah pergi jauh."
"Ke luar angkasa?"
"Iya. Ke planet lain. Planet orang kaya," jawab Nayla getir.
Nayla kembali ke dapur untuk mencuci perabotan. Namun pikirannya melayang pada ulasan tadi.
Mengingatkan saya pada rumah. Pas seperti hidup.
Kalimat itu terasa familiar. Cara penyampaiannya yang agak puitis namun kaku.
Nayla menggelengkan kepala.
"Nggak mungkin," batinnya menepis curiga. "Aditya Rahardian nggak mungkin makan nasi uduk pinggir jalan. Dia pasti lagi makan steak di Paris sekarang."
Nayla tidak tahu, bahwa pria "luar angkasa" itu sedang memandangi stiker Dapur Nando seolah itu adalah benda paling berharga di dunia.
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️