Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KUNCI LEMARI RAHASIA
Setelah mendengar penuturan Karmin, Sri merasa tubuhnya telah kehilangan kekuatan, otot-ototnya melemah. Tapi, wanita gemuk itu terus memaksakan dirinya berjalan. Gelapnya malam membuat penglihatannya kabur, ditambah dengan derai air mata yang mengembun di kedua pelupuknya.
Sri patah hati. Sang suami yang ia cintai, nyatanya tak memiliki cinta sebesar yang ia kira.
KRAAAAAKKK!
Wanita gemuk itu tak sengaja menginjak dahan pohon atau apalah itu. Mungkin sampah bekas botol mineral ataukah dahan ranting di pinggir jalan.
"Sopo iku?" teriak Karmin dan Marsam secara bersamaan. Kedua pria itu segera berlari ke samping rumah Marsam untuk mengecek ada apakah gerangan.
"Mungkin kucing, Min," kata Marsam seraya melongok ke dalam got dan melihat ada banyak bekas sampah yang tercecer.
"Nah, ini pasti kerjaan kucing, eker-eker sampah tidak jelas!" dengusnya.
"Bukan maling kan?" Karmin memicing dan menelisik di sekitarnya.
"Gak ada maling di sini, wekekekek," kata Marsam.
"Yo wes, ayo lah, kita lanjut ngopi," sahut si Karmin.
Sepasang sahabat itu pun segera pergi dari rerimbunan pagar itu dan kembali masuk ke halaman rumah Marsam. Mereka kembali duduk berduaan dan mengopi kembali.
Sri pun yang bersembunyi di teras rumah tetangga Marsam, sontak pergi dan berlari secepat kilat untuk menjauh dari rumah teman suaminya itu.
"Wah, bisa ketahuan nih kalau aku gegabah lagi! Aku harus bermain cantik sebelum uang-uang Mas Karmin masuk ke dalam kantongku semua." Sri mendesah panjang.
Enak aja! Aku yang mengangkang di depan Mbah Samijan, Mas Karmin yang menikmati hasilnya. Untuk membayar hutang Emak dan hutang judi pula! Huuuh! Terus aku ini kebagian opo?" dengusnya.
"Aku kebagian capeknya saja? Capek di dapur, capek di warung, dan capek di rumah si dukun itu. Lah Sulis malah kebagian burung suamiku. Wah, jancuk banget mereka!" Wanita itu terus mengumpat.
Sri terus merutuk tiada henti seraya berjalan menuju rumahnya. Dia sungguh dalam keadaan antara ingin menangis dan ingin menertawakan hidupnya sendiri.
"Jancok i, aku ternyata kenthu dengan dukun peyot itu? Jancok jaran! Setan alas! Setan cabul! Cuih!" Wanita itu meludah berulang kali seraya begidik jijik ketika membayangkan wajah Mbak Samijan yang sudah banyak kerutan dan berbintik-bintik hitam dengan tatapan matanya yang mesum dan liar.
"Beh, rugi bandar ini, Cuk? Rugi sampai aku harus keluar keringat di atas ranjang bersama dengan pria berbau tanah itu? Wah, wah, wah! Menang banyak tuh dukun cabul sialan!" dengusnya.
Dalam senyapnya malam yang terasa dingin itu, Sri tiba-tiba menitikkan air mata. Dia merasa lututnya gemetar dan tak kuat lagi melangkah. Padahal, pagar rumahnya sudah terlihat dari tempatnya berdiri. Rasanya ia tak sanggup mengayunkan kaki dan memaksa langkahnya untuk terus merayap menuju tempat tinggalnya. Ada sesuatu yang terasa ngilu bukan kepalang.
BRUGGH!
Badannya yang berbobot satu kwintal itu ambruk di depan rumah tetangganya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Sri. Merasa waktu sudah menuju dini hari dan semua orang pasti sudah terlelap di dalam alam mimpi, Sri membiarkan tubuhnya bersimpuh di tepi jalanan aspal.
"Ahhhhhhh .... Bodohnya aku ini." Dia mengusap air di wajahnya berulang kali.
"Bisa-bisanya aku mengira Mas Karmin yang melakukannya, padahal pria tua renta bau tanah itu," bisiknya lirih.
Sri memetik dedaunan di pinggir jalan, lalu menggosokkan ke seluruh tubuhnya dengan penuh amarah. Dia merasa jijik sekali saat mengingat tubuh gemoy-nya telah dijamah pria selain sang suami.
"Pulang ah, nanti orang-orang malah mengira aku ini gelandangan gila." Dia mendengkus sebal, lalu mencoba memaksa kakinya berdiri tegak dan berjalan pulang.
Saat Sri nampak sedang melangkah terseok-seok di jalanan, salah seorang tetangganya ada yang tengah mengamati gerak-gerik wanita itu dari balik tirai jendela.
"Sri kenapa ya? Apakah dia habis berantem dengan Karmin?" bisik seseorang itu.
*******
Keesokan harinya.
Adzan subuh berkumandang. Sri masih terjaga. Sejak pulang dari rumah Marsam itu, dia sama sekali tidak tidur. Matanya hingga nampak menghitam karena ia melewatkan jam istirahat.
Semalaman, Sri memutar otak dan mencari cara untuk mengamankan hartanya, harta Karmin, harta mereka berdua.
"Kalau lah aku harus cerai dengan Mas Karmin, aku tidak boleh menjadi janda kere. Aku harus bermain cantik," tegasnya.
Sri nampak menyeringai seraya mempersiapkan bahan-bahan untuk berjualan bakso. Dia sudah berfikir dengan matang tentang bagaimana mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari pengorbanan yang ia lakukan untuk usaha bakso Karmin.
Pagi pun menjelang, Sri langsung membuka warung tanpa menunggu sang suami. Ya, Karmin bahkan tidak pulang sampai pagi datang.
"Dia pasti tidur di rumah Sulis atau di rumah Marsam," bisik hati wanita itu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Karmin tiba-tiba datang dengan senyum mengembang sempurna.
"Dek, maaf ya. Aku ketiduran di rumah Marsam," kata pria cungkring itu dengan wajah memelas.
"Ah ya, gak apa-apa, Mas. Santai saja. Semua persiapan jualan sudah aku siapkan, kok." Sri tersenyum manis.
"Duh, ya ampun, istriku benar-benar istri salehah, hehehe." Karmin terkekeh. Dia segera menghampiri gerobak baksonya dan mengintip kaleng bekas biskuit tempat uang hasil jualan.
"Kok belom ada uang sama sekali? Belom dapat penglarisan kah?"
"Belom, tadi semua pelanggan nyariin kamu, Mas. Mereka gak mau kalau bukan kamu yang melayani." Sri mencebik.
"Owalah, oyi, oyi." Karmin nampak mengangguk pias.
"Sudah sana, mandi dan siap-siap" kata wanita itu.
"Oyi, Dek." Karmin nampak lesu.
Sri memperhatikan punggung suaminya yang nampak kian menjauh dengan tatapan tajam. Tangannya masuk ke dalam sakunya dan meremas beberapa lembar uang hasil jualan pagi itu.
"Hehehe, emang enak aku kibulin?" Dada Sri bergemuruh.
"Aku akan korupsi setiap waktu, wekekeek. Aku harus menyimpan uang saku sebanyak-banyaknya untuk uang jajan setelah kita bercerai nanti," ujarnya.
Tak berselang lama, Karmin pun muncul lagi. Pria itu sudah bersiap untuk menjaga warung.
"Sudah, kamu istirahat sana, Dek. Aku yang jagain warung Kamu kayaknya kecapekan."
"Oyi." Sri segera meninggalkan warungnya dengan senyum mengembang tanpa ba bi bu.
Karmin pun nampak bersemangat mencari uang hari itu. Dari dalam rumah, Sri mengintip sang suami dari balik tirai. Dia menyeringai saat melihat Karmin nampak sibuk dengan para pelanggan.
"Dasar pria bangsat!" umpatnya pelan.
Sri segera pergi ke kamar untuk mencari jaket yang tadi dipakai Karmin. Biasanya, di sanalah Karmin akan menyimpan kunci lemari pribadi miliknya.
Ya, Karmin memang memiliki lemari sendiri yang tidak boleh dibuka oleh istrinya dengan alasan itu adalah syarat dari Mbah Samijan. Kuncinya selalu ia bawa serta ke mana pun ia pergi. Jaket kulit berwarna hitam itu adalah jaket yang tak pernah lupa ia pakai ke setiap ia bepergian. Di rumah pun, jaket itu selalu berada di dalam pantauan Karmin.
"Cih! Apa-apa dibilang syarat dari Mbah Samijan. Dasar bedebah sinting."
Wanita itu menemukan jaket tersebut terjuntai di dinding. Namun ia tak mendapatkan kuncinya. Tentu saja, Karmin pasti sudah mengamankan di suatu tempat yang selama ini tidak pernah Sri curigai. Sejauh ini memang begitu. Sri selalu menemukan jaket kulit itu tergeletak, tapi sudah tak ada isinya.
"Di mana ya dia menyimpan kunci itu? Semalaman aku mencari kunci serepnya ke sana ke mari. Biasanya dia mengambil kunci dari dalam saku jaket ini. Bukankah ada dua kunci ya? Satunya di mana? Huuuuh!"
"Aku harus mendapatkannya! Aku yakin, di dalam lemari itu pasti banyak rahasia yang belum kuketahui!"