Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakak Kandung Renata
Angin malam yang berhembus menusuk pori-pori Elena, tapi keringat dingin justru membanjiri pelipisnya. Dia bergantung pada seutas kabel listrik tebal, menggantung di antara dua gedung tua bagaikan pemain sirkus tanpa jaring pengaman. Di bawahnya, aspal jalanan menganga seperti mulut monster yang siap menelan nyawanya.
"Apa kamu pikir kamu ini pahlawan, Elena?!" teriak Heru, kepala keamanan Asmara Cafe, dari atap Gedung Lama. "Kamu itu cuma bidak kecil yang terlalu banyak tahu dan memang sok tahu!"
Heru mengangkat pemotong kabel raksasa. Wajahnya yang biasanya terlihat bijak dan setia itu kini berubah menjadi topeng kebengisan. Elena merayap secepat mungkin, telapak tangannya perih bergesekan dengan karet kabel yang kasar. Jantungnya berdegup kencang, setiap detaknya terasa seperti dentuman drum di telinganya.
"Heru! Kamu ini kenapa? Ada apa denganmu? Aa Panji sudah menganggapmu kayak keluarganya sendiri!" teriak Elena sambil terus bergerak.
"Keluarga tidak memberiku saham! Keluarga tidak memberiku kekuasaan!" balas Heru dingin. KLAK! Pemotong itu mulai menjepit kabel.
Elena melihat ke depan. Atap pabrik tekstil itu tinggal dua meter lagi. Tapi kabel itu mulai bergetar hebat. Dia bisa merasakan tegangan listrik statis yang membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Heru memotong kabel ini, Elena bukan cuma jatuh, tapi akan terpanggang sebelum menyentuh tanah.
CRAKK!
Kabel itu putus.
"AAAAAH!"
Elena terayun hebat. Tubuhnya menghantam dinding semen pabrik tekstil dengan keras. Rasa sakit menjalar dari bahu hingga ujung kakinya. Dia bergantung pada ujung kabel yang masih menempel di sisi pabrik, berayun-ayun seperti pendulum maut.
Heru menatap dari seberang dengan senyum puas. Tapi dia salah tentang satu hal, Elena tidak pernah menyerah.
Dengan sisa tenaga yang ada, Elena mengayunkan tubuhnya sekali lagi, menggunakan momentum untuk menggapai pipa pembuangan di dinding pabrik. Jari-jarinya mencengkeram besi karat itu hingga kukunya hampir copot. Dia berhasil! Elena memanjat naik ke balkon kecil pabrik, napasnya tersengal-sengal, air matanya tumpah karena rasa sakit dan takut yang luar biasa.
Dia tidak menunggu lama. Dia tahu Heru akan segera turun dan mengejarnya menyeberangi jalan.
Elena masuk ke dalam pabrik tekstil yang sudah lama mati itu. Bau kain busuk dan oli mesin yang kering menyambutnya. Dia segera membuka buku sketch Renata di bawah sinar lampu ponsel yang redup.
Kunci Cadangan. Teman Lama.
Peta Renata menunjuk ke sebuah ruang di lantai dasar, di balik mesin tenun raksasa nomor 07. Elena berlari di antara deretan mesin-mesin tua yang terlihat seperti raksasa tidur dalam kegelapan.
Begitu sampai di mesin nomor 07, dia mencari tanda apa pun. Di balik panel kontrol mesin yang berkarat, dia menemukan sebuah lubang kecil. Dia memasukkan jarinya, dan tangannya menyentuh sesuatu yang dingin. Sebuah kunci fisik yang dibungkus plastik kedap udara.
Tapi ada satu hal lagi di sana, sebuah foto tua.
Foto itu menunjukkan tiga orang yang masih sangat muda, mungkin masih mahasiswa. Ada Panji, Renata, dan... seorang pria yang wajahnya sangat familiar bagi Elena.
"Mas Budi?" bisik Elena kaget.
Budi adalah mantan rekan kerja almarhum suaminya. Dia seorang ahli kriptografi yang dulu tiba-tiba menghilang setelah kematian suami Elena. Kenapa dia ada di foto ini bersama Aa Panji dan Renata? Apakah Budi adalah teman lama yang dimaksud?
Tiba-tiba, suara langkah sepatu boots bergema di lantai beton pabrik. Heru sudah masuk.
"Elena... aku tahu kamu ada di sini. Serahkan bukunya, dan aku akan membuat kematianmu terlihat seperti kecelakaan kerja," suara Heru menggema, penuh intimidasi.
Elena menyembunyikan kunci dan foto itu di saku jaketnya. Dia harus keluar dari sini, tapi pintu keluar utama pasti sudah dijaga. Dia merangkak di bawah mesin-mesin, mencoba mencari jalan lain.
"Apa kamu tahu, Elena? Panji itu terlalu lemah. Dia pikir dia bisa menjalankan kerajaan bisnis dengan kejujuran? Di dunia ini, yang menang adalah yang punya data paling kotor. Dan buku Renata itu... itu adalah daftar dosa semua orang besar di negeri ini," Heru terus bicara, mencoba memancing Elena keluar.
Elena sampai di dekat pintu pemuatan barang. Sial, pintunya dirantai dari luar. Dia terpojok.
"Kena kamu, Elena!" Heru muncul dari balik tumpukan kain, pistolnya terarah tepat ke dahi Elena.
Elena mengangkat tangan, buku catatan Renata ada di tangan kirinya. "Siapa orang ketiga itu, Heru? Siapa yang menyuruhmu?"
Heru tertawa. "Kamu tidak perlu siapa tahu nama Tuhan sebelum kamu bertemu dengannya."
Saat Heru hendak menarik pelatuk, sebuah bayangan melompat dari kegelapan di atas rak-rak tinggi. Bayangan itu menabrak Heru hingga terjatuh, membuat pistolnya terlempar ke bawah mesin.
Elena terkejut. Itu bukan polisi. Itu adalah pria dengan hoodie hitam yang wajahnya tertutup masker.
"Cepat, lari, Elena! Pergi ke alamat di balik foto itu!" teriak pria itu. Suaranya... Elena mengenalnya. “Itu suara Mas Budi?”
Elena tidak membuang waktu. Dia berlari keluar melalui jendela kecil yang pecah, meninggalkan Budi dan Heru yang sedang bergumul hebat di lantai pabrik.
Elena sampai di pinggir jalan raya, dia menyetop taksi sembarangan. Tangannya gemetar saat dia mengeluarkan foto itu. Di baliknya, tertulis sebuah alamat di daerah terpencil di Bogor.
Jl. Kenari No. 12, Cisarua. Rumah Pohon.
Selama perjalanan, pikiran Elena kacau. Mas Budi masih hidup? Dan dia melindungi Elena? Berarti selama ini Mas Budi mengawasi Panji dari jauh.
Sesampainya di alamat tersebut, Elena menemukan sebuah vila tua yang tersembunyi di balik pepohonan lebat. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambutnya. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Renata, tapi lebih tua.
"Kamu Elena, kan? Budi sudah mengirim pesan," kata wanita itu. "Masuklah, Elena! Waktumu tidak banyak." Perempuan itu berucap.
Wanita itu membawa Elena ke sebuah ruang kerja bawah tanah yang dipenuhi monitor komputer. "Namaku Sari, aku kakak kandung Renata yang dianggap sudah meninggal oleh Ratu."
Elena terperangah. "Meninggal? Tapi..."
"Ratu dan ibunya melenyapkan siapa pun yang mencoba menghalangi mereka. Renata menyelamatkan aku dengan menyembunyikan aku di sini. Dan di sini jugalah, Renata menyimpan wasiat asli dari Panji yang sebenarnya."
Sari menyalakan layar monitor utama. "Wasiat yang kamu lihat di rumah sakit itu benar-benar palsu. Panji nggak pernah menulis wasiat tunggal untukmu. Dia menulis wasiat yang dibagi tiga, untukmu, untuk karyawan Asmara Cafe, dan untuk sebuah yayasan yang dirikan oleh Renata."
"Lalu, kenapa Ratu membuat wasiat palsu atas namaku?" tanya Elena bingung.
Sari menatap Elena dengan iba. "Karena dengan menjadikanmu pewaris tunggal, Ratu bisa mengaktifkan klausul kematian berencana. Jika kamu terbukti menjadi tersangka terhadap pembunuhan Panji, seluruh aset otomatis jatuh ke tangan wali perusahaan yang sudah ditunjuk oleh Dewan Komisaris sebelumnya. Dan kamu tahu siapa wali perusahaan itu, Elena?"
"Apakah Bapak Handoyo?" tebak Elena.
"Bukan, bukan dia. Tapi, ibu kandung Ratu Widaningsih Asmara"
Elena lemas. Ini adalah jebakan sempurna. Ratu tidak butuh Elena menang, tapi dia butuh Elena terlihat seperti pembunuh yang rakus agar harta itu jatuh ke tangan ibunya secara legal.
Tiba-tiba, monitor di ruangan itu berkedip-kedip merah.
"Sistem keamanan kita ditembus, Elena!" seru Sari panik.
Layar monitor menampilkan kamera CCTV di luar vila. Beberapa mobil hitam masuk ke halaman. Heru ada di sana, dan dia membawa seseorang yang membuat jantung Elena berhenti berdetak.
Di layar monitor, terlihat Heru menyeret Panji yang masih dalam kondisi lemah, penuh perban, dan tidak sadarkan diri. Heru menodongkan pistol ke kepala Panji tepat di depan kamera.
"Elena! Aku tahu kamu ada di dalam!" suara Heru terdengar dari pengeras suara di luar. "Keluar sekarang dan bawa buku itu, atau aku akan meledakkan otak owner cafe kesayanganmu ini di depan pintu rumah ini! Aku beri waktu kamu tiga puluh detik dari sekarang!"
Elena menatap Sari, lalu menatap Panji yang nyawanya di ujung tanduk. Dia memegang buku catatan Renata dan kunci cadangan itu. Jika dia keluar, mereka semua akan mati. Jika dia diam, Panji yang akan mati.
"Buka pintunya," bisik Elena dengan tatapan mata yang berubah menjadi dingin dan penuh tekad.