🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|Umbi-umbian dan Tanaman Jagung...
“Ah… akhirnya bisa naik juga! Kakak, tangkap ini!"
Disana, suara tanaya terdengar lantang dari atas pohon, napasnya masih tersengal setelah beberapa kali berusaha memanjatnya.
Dahan pohon sampai bergetar di bawah kaki kecilnya, tapi matanya berbinar saat memetik buah mangga yang sudah matang sempurna, kulitnya mengilap keemasan di bawah langit mendung.
"Naya! Kearah sini! Biar aku yang tangkap!"
Liran berseru heboh dari bawah, tangannya terentang. Matanya mengikuti setiap gerakan Tanaya dengan kagum sekaligus cemas saat melihat gadis itu memanjat pohon sendirian begitu juga Yaren yang tak bisa berkata apa-apa melihat Tanaya.
Plukk! Plukk!
Buah mangga seketika jatuh berguguran, beberapa ada yang jatuh ke tanah, sebagian berhasil ditangkap Liran dengan cekatan, sementara Yaren dengan cepat menaruhnya ke dalam keranjang.
“Adik, sudah cukup! Jangan terlalu banyak. Hari ini mau hujan, sebaiknya kita turun sebelum basah,” seru Yaren, dadanya sedikit gelisah menatap adiknya yang bergerak lincah tanpa takut jatuh.
Tanaya yang mendengar itu, menatap ke arah awan. Benar saja, mendung tebal mulai menggulung di balik bukit. Ia hendak turun, tapi menatap ke bawah membuat jantungnya hampir melompat. Namun, aroma manis mangga matang itu terlalu menggoda untuk dilewatkan. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu menatap kakaknya di bawah dengan mata menantang.
“Naya, ayo loncat biar aku—”
“Biar aku saja!”
Yaren menyingkirkan tangan Liran menjauh, ia menyerahkan keranjang penuh itu ke pemuda itu membuat Liran melongo.
Tanpa membuang waktu, Yaren merentangkan kedua tangannya ke atas, menatap Tanaya dengan penuh fokus.
“Ayo… lompatlah. Kakak akan menangkapmu—.”
Brukk!!
“NAYA!!”
Yaren seketika tersentak—kaget, tangannya refleks menahan tubuh adiknya yang tiba-tiba meluncur lebih cepat dari perkiraannya.
Sedangkan, Tanaya yang berada di gendongan Yaren dengan selamat hanya bisa tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Ia melihat wajah kakaknya yang ketakutan setengah mati.
“Hahaha… kak, wajahmu lucu sekali! Kau panik ya?” Tanaya tertawa riang, matanya berbinar-binar melihat ekspresi kakaknya.
Yaren hanya menatapnya datar, ia menahan napasnya yang masih tercekat.
“Jangan tertawa, Naya… itu sangat berbahaya! Kau bisa saja terluka parah jika jatuh.”tutur Yaren.
Tanaya menoleh sambil terkekeh.“Aku tahu… tapi aku ingin mencobanya, Kak. Lagipula… kau percayakan padaku, kan?”
Yaren menarik napasnya pelan, dadanya masih berdebar. Ia menatap Tanaya yang sudah berdiri di depannya, tangannya memegang keranjang penuh mangga.
Senyum adiknya itu… membuatnya lega, tapi juga… sedikit marah karena kepolosan Tanaya yang selalu membuatnya khawatir.
“Eemmm—!! Manis sekali! Kak, ayo coba ini!”
Tanaya menyeringai puas sambil menyodorkan potongan mangga yang sudah ia kupas rapi. Daging buahnya berwarna kuning keemasan, mengilap oleh sari manisnya.
Yaren dan Liran refleks saling pandang.
“E-Em… Naya?”Liran menelan ludah lebih dulu.“Apa ini benar-benar aman?”
Ia melirik buah itu dengan ragu. Selama ini ia sering melihat pohon ini, tapi warna buahnya yang kekuningan selalu membuatnya takut—tak sedikit tanaman di hutan yang tampak menggoda tapi beracun.
“Aman,” jawab Tanaya mantap. “Aku janji, kalian akan baik-baik saja setelah makan ini. Ayo kak… coba saja.”ia menyodorkan nya kearah Yaren terlebih dahulu.
Yaren menghela napasnya pelan, lalu mengambil potongan mangga itu. Ia mencium aromanya singkat—harumnya lembut, segar. Dan dengan hati-hati, ia pun menggigit sedikit.
Detik berikutnya, alisnya langsung terangkat.
“…Manis.”
Liran yang melihat reaksi Yaren langsung ikut mengambil bagian lain. Begitu buah itu menyentuh lidahnya, matanya langsung membulat sempurna.
“Wah—!”Ia sampai berhenti mengunyah sejenak.“Ini… lembut… dan manis sekali?!”
Tanaya terkekeh kecil, wajahnya berbinar puas.“Enak, kan?”
Ia kembali memotong mangga lain dan membaginya tanpa ragu. Yaren dan Liran kali ini tak menolak—mereka makan dengan lebih lahap, seolah baru saja menemukan harta karun tersembunyi.
Yaren menatap pohon mangga di hadapannya dengan pandangan berbeda. Selama ini ia selalu melewatinya begitu saja, takut mengambil risiko. Padahal… buah ini bisa menjadi sumber makanan penting, bahkan cadangan saat makanan menipis di musim dingin .
“Wah, Naya!"
Liran tersenyum lebar sambil masih mengunyah, “kau benar-benar luar biasa. Bisa memanjat pohon, memilih tanaman, sekarang ini lagi… Aku tak menyangka gadis seperti mu sepintar ini soal menemukan makanan.”
Tanaya menggaruk pipinya malu-malu.“Hehe… aku cuma penasaran. Aku pikir, kalau alam menumbuhkannya sebanyak ini, pasti ada alasannya bukan?"
Tanaya perlahan mendekat“Lain kali kita pergi ke bukit ini lagi yuk… tapi jangan bilang siapa-siapa, ya."bisiknya lirih, matanya menatap Liran penuh rahasia.
Liran yang melihat itu terkekeh kecil, dan mengangguk mengiyakan. Ia kembali mengunyah mangga di tangannya.
"Aman… aku bisa menjaga rahasiamu.”ucapnya dengan nada sombong.
Yaren yang masih mengunyah melirik adiknya, ia tersenyum tipis—senyum yang jarang muncul, tapi penuh pengakuan.
Kini, bukan hanya perut mereka yang terisi.
Ada pengetahuan baru yang diam-diam tumbuh… dan kepercayaan yang semakin kuat pada gadis kecil bernama Tanaya.
“Ah—kak! Hujan!”
Tanaya refleks memeluk tas kulitnya yang sudah menggembung oleh isi. Ia mendongak ke langit, melihat rintik-rintik air mulai jatuh satu per satu, membasahi rambut dan bahunya.
Yaren tanpa ragu langsung menggenggam tangan Tanaya. Tangan satunya memegang erat keranjang yang berisi mangga dan beberapa jagung yang di temukan Tanaya agar tak jatuh saat berlari.
“Ayo cepat. Di sana ada lubang, kita berteduh sebentar,” ucapnya tegas, tatapannya sigap menyapu sekitar, memastikan tak ada bahaya.
Tanaya dan Liran segera mengikuti. Mereka berlari menembus rerumputan yang mulai basah, membuat kaki mereka beberapa kali terpeleset di tanah licin.
Suara hujan kian rapat, bercampur dengan napas mereka yang memburu, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah lubang alami di sisi bukit—cukup dalam untuk melindungi dari hujan, dan cukup sempit untuk terasa hangat.
“Hah… ah, tanamanku!”
Tanaya langsung berlutut dan membuka tasnya cepat-cepat. Ia memeriksa isinya dengan cermat, seolah memastikan tak ada Tamanan nya yang rusak.
Di dalamnya sudah ada tanaman cabai purba, wortel, bawang purba, jahe, kunyit, lengkuas serta beberapa akar buah beri yang ia temukan masih berlumur tanah.
Tas kulit nya sampai membesar tak wajar, jahitannya meregang, dan beratnya hampir membuat bahu Tanaya pegal. Ia menghela napas kecil, lalu tersenyum tipis.
Sepertinya dia harus membuat tas baru lagi, yang lebih besar… dan lebih kuat. Kalau tidak, tas ini bisa jebol sebelum mereka pulang.
Di luar, hujan turun semakin deras. Di dalam lubang itu, mereka bertiga bernaung—dikelilingi bau tanah basah, suara rintik hujan, dan hasil perjalanan pertama Tanaya yang penuh temuan baru.
Tanaya perlahan menaruh tasnya di tanah lalu duduk sambil menghela napasnya panjang.
“Hh… untung ada tempat ini. Hujannya cukup deras, gimana kita bisa pulang nanti”gumamnya sambil menatap rintik-rintik yang turun dari daun-daun pohon.
Liran ikut duduk di dekatnya, ia menatap Yaren yang berdiri di mulut lubang, seolah menjaga wilayah.
“Musim dingin sudah dekat. Tidak aneh kalau hujan datang lebih cepat,” katanya, sambil mengibaskan ranting yang menempel di lengannya.
“Kak… ini lubang apa?”
Tanaya berahli menatap lubang yang tampak gelap dan sedikit menyeramkan di sekitar nya dengan bau aneh yang sedikit menyengat.
“Lubang beruang..."
Yaren menjawab nya singkat. Ia menunduk, fokus mengumpulkan batu-batu dan mencoba menyalakan api.
Tanaya dan Liran sontak menoleh, terkejut.
“Hey… Yaren, Apa kau serius? Bagaimana kalau beruang itu tiba-tiba kembali?”
Liran sontak panik, wajahnya memerah—ya, dia memang tipikal penakut.
Yaren menghela napasnya, matanya tetap fokus memukul beberapa batu-batu hingga percikan api kecil mulai muncul. Perlahan, api itu membesar, menghangatkan udara dingin di sekitar mereka.
"Tenang… aku melihatnya tadi di kaki bukit. Dia sudah mati… jadi dia tidak akan kesini," kata Yaren lalu menoleh ke arah Tanaya.
Tanaya sedikit menelan ludahnya melihat tatapan kakanya, hatinya tanpa sadar berdebar. Yaren perlahan mendekat lalu tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Tanaya dengan mudah ke pangkuannya dan memeluknya dari belakang.
Perlakuan itu sontak membuat Tanaya tersentak sesaat dengan pipi memerah.
"Apa sudah hangat?" tanya Yaren lembut.
Ia menggenggam tangan Tanaya dan menggosok perlahan. Ia sama sekali tidak menyadari keterkejutan dan sedikit kegugupan yang terpancar di wajah adiknya itu.
Tanaya mengangguk lirih, matanya menatap api yang mulai menari di tengah lubang, napasnya berirama dengan hangatnya api, mencoba menenangkan diri.
Suara hujan di luar dan aroma tanah basah menambah ketegangan sekaligus rasa nyaman. Hanya Yaren yang bisa membuatnya merasa aman di tengah kegelapan dan hujan itu.
Liran yang melihat itu mendengus gusar"Hey Yaren.. aku juga disini kedinginan, apa kau tidak ingin memelukku juga?"tanyanya hanya niat menggoda.
Yaren yang mendengar itu hanya menatapi nya sekilas dan kembali fokus pada adiknya. Sedangkan Tanaya terkikik geli melihat tingkah Liran.
...>>>>...
Hujan akhirnya mereda, menyisakan kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Tanah masih basah dan licin saat Tanaya, Yaren, dan Liran menuruni bukit dengan langkah cepat, berniat segera kembali ke suku sebelum langit kembali murka.
Ranting basah patah di bawah kaki mereka. Udara dingin menusuk kulit. Tapi tiba-tiba Tanaya berhenti sejenak saat pandangannya menangkap sesuatu di kejauhan—sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Kak, tunggu!”
Yaren dan Liran sontak berhenti bersamaan. Tepat saat itu, guntur menggelegar lagi di atas kepala mereka, kali ini lebih dekat, membuat udara terasa bergetar.
“Ada apa?” tanya Liran.
Ia refleks menggenggam pisau lebih erat sambil membantu membawa tas Tanaya. Sementara Yaren sudah bersikap waspada, matanya menyapu sekitar, takut jika adiknya melihat sesuatu yang berbahaya.
Tanpa menjawab, Tanaya tiba-tiba berlari ke arah yang ia pandangi. Yaren dan Liran panik dan langsung mengejarnya.
“Naya! Ada apa?! Apa yang kau lakukan!” seru Yaren saat melihat adiknya berjongkok di tanah.
Tanaya menatap tanaman di depannya dengan mata membulat penuh pengenalan. Daunnya lebar berbentuk hati, menjalar rendah di tanah dengan batang hijau keunguan yang merambat. Di sela-sela tanah lembap, tampak tonjolan akar besar yang menekan permukaan bumi—seolah berusaha keluar.
Jantung Tanaya berdebar.
“Ini…”bisiknya.“Tanaman Ubi…”
Ya!! Ia mengenalinya. Tanaman ubi biasanya punya daun kasar dengan urat yang jelas, batangnya lentur namun kuat, dan akarnya—jika ditarik biasanya besar, padat, dan mengenyangkan. Persis seperti yang ia cari sejak lama.
Tanpa berpikir panjang, Tanaya langsung menarik batangnya. Namun tanahnya sangat keras membuat tarikannya sia-sia dan lengannya sampai bergetar menahan sakit.
“Adik, berhenti,” Yaren mendekat cepat. Ia berjongkok di samping adiknya. “Biar kakak saja.”
Ia segera memegang batang tanaman itu dengan kuat, menancapkan kakinya ke tanah, lalu menarik perlahan namun mantap—menggunakan tenaga yang sudah terlatih.
Tanaya mundur sedikit, ia menatap penuh harap.
Dan tanah pun mulai retak.
Krek—bruk!
Tanah seketika terbelah, dan sesuatu yang besar ikut terangkat dari perut bumi.
Umbi raksasa...
Dengan akar memanjang dan bercabang—bukan satu, tapi beberapa buah sekaligus, saling bertaut seperti jari-jari besar berwarna cokelat tanah. Permukaannya kasar, tebal, dan tampak keras, masih berlapis lumpur basah.
“Wah…” Tanaya berbisik, nyaris tak percaya.“Banyak… dan besar sekali…”
Ia langsung berjongkok, membersihkan sedikit tanah basah dengan tangannya, jari-jarinya sampai gemetar oleh antusias. Semakin dibersihkan, semakin terlihat jelas: umbi-umbi itu padat, berat, dan sehat—jelas tumbuh lama di dalam tanah.
Yaren mengernyit. Sedangkan Liran ikut mendekat, wajahnya penuh ragu. Ia mengetuk permukaan umbi dengan ujung pisau kecilnya.
Tok... Tok...
Bunyi tumpul pun terdengar.
“Ini keras sekali" Liran skeptis.“Kelihatannya seperti kotoran gajah yang tumbuh.”
Tanaya menggeleng cepat, wajahnya justru semakin bersinar.
“Bukan kotoran. Tapi ini makanan yang bisa dimakan.”Ia menatap mereka penuh keyakinan.“Dan mengenyangkan.”
Yaren menaikan alisnya.“Kau yakin, adik?”
Tanaya mengangguk mantap.“Sangat yakin, kak.”
Ia tersenyum lebar.“Kalau ini dimasak… direbus atau dipanggang… rasanya akan lembut di dalamnya. Ini bisa jadi pengganti makanan pokok.”
Liran menatap umbi itu lagi, lalu Tanaya.“Makanan? Kau benar-benar yakin ini bukan kotoran binatang kan? Aku tidak ingin makan kotoran."
Liran refleks menutup bibirnya dengan ekspresi jijik membuat Tanaya terkekeh kecil melihat nya.
“Kalau kotoran, aku tidak akan seberani ini, Liran.”titahnya.
Ia memeluk umbi terbesar dengan kedua tangan—jelas terlalu besar untuk lengannya.
“Lihat ukurannya. Ini bisa kita simpan lama. Sangat cocok untuk musim dingin.”
Yaren terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk pelan. Ia selalu mempercayai semua yang adiknya katakan.
“…Kalau begitu, kita bawa saja. Sebaiknya cepat sebelum hujan kembali turun semakin deras.”
Guntur kembali menggelegar di kejauhan, seolah mengingatkan waktu mereka.
Tanaya menatap langit-langit, lalu kembali ke umbi-umbi itu dan beberapa tanaman yang sudah ia temukan dengan senyum puas. Di matanya, ini bukan sekadar tanaman—
Tapi harapan.
Mungkin sebentar lagi, ia akan memasak sesuatu yang unik malam ini.
...>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh